“Venus?” Steven memegang kedua sisi lengan Venus yang membuatnya tersentak kaget. Venus menoleh pada Steven yang menatapnya cemas lalu berbalik dan langsung memeluknya.“Ada apa, Venus? Apa kamu baik-baik saja?” tanya Steven mengusap punggung Venus yang memeluknya erat. Angin sepoi dari balkon di sore hari menjelang mata hari tenggelam memberikan kesan hangat dan romantis bagi keduanya.Perlahan Steven melepaskan Venus dari pelukannya lalu ia menoleh menatap Venus yang memegang sebelah pipinya.“Aku melihat lagi masa laluku, Steve.” Mata Steven membesar lagi. Ia kembali memeluk Venus yang juga mengeratkan pelukannya.Apartemen mewah itu pernah menjadi tempat yang membuat Steven alias Dion ditinggalkan oleh Venus karena Gareth kembali membuat masalah. Akankah tempat yang dihindari oleh Dion tersebut bisa menjadi titik balik hubungan keduanya dan bahkan menjadi tempat Venus mengingat semuanya?Venus kembali mendapatkan semangatnya lagi. Awalnya ia pesimis dengan kembali ke apartemen lam
Rex Milan menyuap Andrew Miller untuk membantunya menangkap Steven Alexander. Andrew yang memang seorang polisi licik, menerima uang tersebut dan menjadikannya barang bukti.“Aku ingin kamu menangkapnya dan memenjarakannya. Dia sudah berani merayu dan menggoda istriku!” ujar Rex Milan menggeram marah. Andrew Miller mengangguk sambil menghitung cepat segepok uang yang diberikan oleh Rex Milan.“Apa uang ini hasil dari merampok atau menjual obat-obatan terlarang?” tanya Andrew iseng.“Tentu saja bukan. Itu uangku! Aku seorang CEO!” pungkas Rex Milan dengan kening mengernyit tak suka. Andrew mengangguk lagi lalu memasukkan uang itu ke dalam amplop semula dan ke dalam jaketnya.“Jika kamu berhasil menangkap dia, aku akan memberikanmu lagi ... lima ribu dolar!” imbuh Rex Milan lagi.“Oke, aku akan mencari keberadaannya.” Andrew menjanjikan. Rex Milan pun mengangguk setuju. Ia keluar dari rumah tersebut tak lama kemudian. Tanpa kecurigaan dari siapa pun, Andrew masuk ke dalam mobilnya lalu
Cindy benar-benar kaget sampai nyaris tidak bernapas kala dipeluk Sebastian dari belakang. Bahkan dengan lembutnya, Sebastian berbisik di telinganya.“Oh, aku kangen banget sama kamu, Sayang.”“Pak─” Cindy serta merta melepaskan diri dari dekapan Sebastian lalu berbalik dengan wajah pucat basi. Sebastian ikut kaget tapi tak lama ia tersenyum.“Kok kamu kaget?” Sebastian balik bertanya.“Ngapain Bapak meluk saya seperti itu?” tukas Cindy dengan sikap penuh kecemasan. Sebastian terdiam sesaat lalu tersenyum lebih lebar.“Karena aku kangen sama kamu. Kamu enggak ya?” Cindy jadi bengong kebingungan. Rasanya ia baru selesai cuti selama beberapa hari dan Sebastian sudah benar-benar berubah.“Pak Seb, ini ....” tangan Sebastian mengambil sebelah tangan Cindy lalu menggenggamnya.“Aku datang ke kampus kamu. Aku juga cari kamu di asrama tapi ternyata kamu uda pindah. Aku kangen ingin ketemu kamu, kangen kopi buatan kamu. Aku kangen sama kamu.” Sebastian kembali mengulang kalimatnya seperti ora
Dion mengerjap-ngerjapkan matanya menyesuaikan mata dengan terangnya sekitar. Hari sudah pagi dan Dion harus segera bangun. Bunyi ponsel tiba-tiba membuat ia mengernyit.“Uh, siapa yang menelepon?” Dion meraih ponselnya lalu mengernyit.“Iya, Dek?”“Mas, tolong aku, Mas!” Cindy terdengar begitu ketakutan seketika membuat Dion langsung panik.“Kamu kenapa, Cindy? Apa yang terjadi?”“Mas, aku gak mau lagi ada di sini. Pak Sebastian ... aku harus bagaimana, Mas?”“Tenang dulu. kamu bernapas pelan-pelan dan jangan panik,” ujar Dion membujuk. Cindy terdengar sesenggukan di ujung telepon dan Dion bergegas bersiap untuk pergi.“Kamu di mana sekarang?” tanya Dion lagi mencari jaketnya.“Di toilet, Mas.”“Ya sudah. Mas ke sana sekarang. Kamu jangan keluar sampai Mas di sana, oke?” imbuh Dion lagi.“Baik, Mas.” Dion menghidupkan pelacak di ponselnya untuk terus bisa mengawasi Cindy. Ia benar-benar cemas dengan keadaan Cindy. Dion pun mengenakan masker di mulutnya dengan jaket palka yang memilik
Beberapa saat sebelumnya ...“Peter!” Jasman memanggil Peter dengan suara tertahan. Peter sedang sangat sibuk melayani pembeli dan nyaris tidak mendengar panggilan Jasman. Peter lalu berjalan keluar dari kafe tempat Jasman menunggu.“Ngapain lo di sini?” tanya Peter dengan kening mengernyit.“Ganti pakaian lo. Kita ke atas, ke ruangannya Dek Cindy.” Peter langsung curiga dan cemas.“Mau ngapain?” pekiknya tertahan.“Buat ngebersihin barang bukti. Cepetan!” Jasman mendorong Peter untuk mengganti pakaiannya segera. Peter tidak sempat bertanya apa-apa. Peter pun berlari ke ruang ganti di dalam kafe dan mengganti pakaiannya. Sebuah seragam petugas kebersihan sama seperti yang dikenakan oleh Jasman juga dikenakan oleh Peter. Ia bergegas keluar dari jalur darurat dan bertemu Jasman di pintu samping.Keduanya memakai topi dan mendorong kereta berisi alat-alat kebersihan. Tidak lupa Jasman dan Peter memakai tanda pengenal palsu. Mereka masuk ke dalam lift dan keluar di lantai atas.“Kita puny
“Kenapa dia belum kembali, Em?” cecar Venus dengan rasa cemas mencari Dion. Emerson hanya bisa menyengir aneh lalu terkekeh.“Maaf, Nyonya. Steven tidak mengatakan apa pun soal tujuannya. Dia hanya bilang jika dia harus mengerjakan sesuatu di luar dan aku diminta datang kemari,” jawab Emerson lagi.“Tapi ini sudah hampir sore!” Venus separuh merengek. Emerson hanya bisa meringis saja tanpa bisa berbuat apa pun. Venus yang mengambek kemudian masuk ke kamarnya. Sedangkan Emerson hanya bisa manyun. Ia tidak tahu harus berbuat apa.“Ah, semua jadi serba salah. Mereka seperti orang sedang jatuh cinta dan aku adalah nyamuknya,” gerutu Emerson lalu cemberut. Ia duduk di salah satu sofa dan mulai melihat ke sekitarnya.“Sebenarnya Nyonya Venus itu kaya raya, lalu untuk apa dia bertahan dengan Rex Milan Wilson jika ia bisa punya rumah sendiri?” ujar Emerson bermonolog.Tak lama kemudian, pintu depan terbuka dan Steven pun masuk. Ia membawa sebuah paper bag bersamanya.“Oh Steve. Dari mana saja
Steven membeku kala melihat tangan Venus menarik ujung kulit sintetis dari topeng yang dikenakan olehnya. Sebelum ia menarik lebih jauh, Steven langsung memegang tangan Venus.“Ah, apa yang kamu lakukan?”“Ini ...”“Jangan. Itu kulit bekas operasi. Itu ...” Steven mengelak.“Apa sakit? maaf, aku tidak tahu. Habis kelihatan seperti karet atau ...”“Tidak apa-apa. Habiskan saja makanannya.” Steven langsung mengelak. Ia tersenyum pada Venus disertai degup jantung yang nyaris meledak. Venus pun tersenyum lalu menghabiskan kembali makanannya.Venus sedikit melirik pada Steven. Ia merasa jika yang ditariknya tadi bukanlah kulit melainkan memang karet. Namun, Venus tidak mau mempermasalahkannya dulu.Selesai makan, Venus mengajak Steven berbicara berdua di kamar. Ia ingin membicarakan soal perceraiannya dan Rex Milan. Steven menanggapinya dengan baik terutama saat ia diminta mencarikan pengacara.“Aku punya kenalan teman seorang pengacara. Mungkin kamu juga mengenalnya?” ujar Steven menawark
Cindy beberapa kali terus memperhatikan ponselnya yang bergetar. Sebastian menghubunginya tanpa henti selesai ia pergi begitu saja dari Moulson Enterprise. Dengan wajah murung, Cindy kembali mematikan ponselnya. Ibunya Dewi kemudian masuk ke kamar Cindy menghampiri putrinya. Cindy sudah tidak keluar kamar semenjak ia pulang.“Kamu kenapa toh, Nduk? Apa ada masalah?” tanya Budhe Dewi menegur Cindy. Cindy mengangkat pandangannya lalu menggeleng.“Gak ada, Ma. Aku ndak apa-apa.” Cindy menjawab dengan nada pelan.“Sedari pulang tadi, kamu ndak keluar kamar. Apa ada masalah sama kantor kamu? Kamu beneran sudah berhenti?” Cindy mengangguk pelan dan menunduk lagi.“Ada apa kok kamu malah berhenti?” Budhe Dewi bertanya dengan nada lembut.“Aku mau fokus kuliah saja, Ma.” Cindy beralasan. Budhe Dewi mengangguk lalu meluruskan pandangan.“Memang sebaiknya begitu. Kamu kan datang kemari untuk kuliah. Bukan Mama gak setuju kamu bekerja, tapi nanti kalau kuliahmu keteteran bagaimana? Mama sudah da