Aku masih terdiam menatap gerimis dari balik jendela ruang tengah. Jemari menyentuh kaca yang terasa dingin. Masih terlalu pagi ketika hujan mulai menderas membuatku membentuk pola-pola abstrak di sana.“Kasihan, kurang kerjaan banget, mbakku!” Suara barinton dari belakang menyentakku berbalik.Melihat Zein dengan almamater kuning tengah berdiri sembari menyomot pisang goreng membuat alisku mengernyit.“Kamu bolos apa gimana?” Anak ini suka sekali muncul di rumah abangnya macam hantu, pulang pun kadang langsung menghilang. Tahu-tahunya kirim pesan sudah sampai di rumah mamanya.Pemuda itu menyugar rambut yang agak basah—mungkin terguyur hujan di luar—setelah memasukkan potongan terakhir pisang goreng.“Dosenku mendadak enggak masuk.”Aku memgekorinya dari belakang ketika pemuda yang ternyata tinggi banget itu—kenapa aku baru sadar Zein setinggi itu coba, sampai aku hanya sampai di bahunya—berjalan menuju dapur.“Kok, bisa?”Zein mengangkat bahunya sembari duduk di meja makan dan kemba
“Coba ke toko yang itu, yuk!” Zein pasrah, ya, emang harus pasrah. Dari tadi lengan bajunya kutarik sana-sini. Mulai dari tokoh sepatu, pakaian, sampai kini jam tangan sudah kami masuki. Namun, belum ada sesuatu yang benar-benar bisa menarik perhatianku. Aku pikir, Pak Zaid terlalu berduit buat beli semua barang-barang itu. Jadi bingung sendiri aku membelikan kado apa kira-kira yang bagus untuknya. “Mbak, sebenernya nyari apaan, sih?!” Suara ketus dari pemuda si sebelahku kubalas delikan balik. “Diem aja kenapa, sih?! Kok, bawal banget!” semprotku jengkel juga lama-lama. “Ya, aku capek loh, Mbak doseret-seret dari tadi!” keluhnya yang tiba-tiba bikin telinga panas. “Oh, jadi enggak ikhlas bantuin mbak? Ya, udah gih, pulang aja. Mbak bisa naik taksi kok, pulangnya!” suruhku sambil lalu memasuki tokoh tas. Barangkali bisa menemukan sesuatu buat, Pak Zaid. Tas pria atau dompet, mungkin? “Kalo emang enggak niat, ngapain sih, pake nawarin diri segala.” Aku masih mendumel kecil ketika
Aku dibuat tersentak ketika tiba-tiba Eyang menarik lengan dan menyeretku ke pintu utama. Jantung bertalu memeluk perut dengan satu tanganku merasakan amarah Eyang yang tidak main-main. Wanita itu serius mengusir. Eyang menghempaskan genggamannya hingga aku terhuyung nyaris menabrak kusen pintu. Sebelum apa yang ada di kepalaku itu terjadi, sebuah tangan lebih dulu menarik lengan hingga aku berakhir di dada seseorang. “Mas,” bisikku ketika mendongak, wajah tegas Pak Zaid yang terlihat. Dada lelaki itu terdengar sama bergemuruhnya denganku. Jantung yang bertalu beserta dada yang naik turun menandakan pria itu sedang dikuasai amarah. “Zareen, ART Zaid, Eyang, Ma! Zaid yang gaji dia, jadi aku yang putuskan harus memecat atau mempekerjakannya!” Masih dengan lengan digenggam, Pak Zaid menarikku pelan ke balik punggungnya. Seolah menandakan dia sedang pasang badan. Untuk adegan satu ini, bisakah aku bahagia sejenak? Di balik punggung itu, aku tersenyum tipis menatap bahu lebarnya. “E
“Itu makanannya udah ditata di meja belum? Minuman yang di sudut sana, kok, masih sedikit, enggak imbang sama meja yang sana?”Bu Mareta dengan kuku diberi kutek warna ungu mulai lagi menunjuk sana-sini. Memastikan semuanya sempurna. Berjalan sesuai ekspetasi sang Nyonya.Sejak pagi rumah sudah heboh. Ketenangan yang terasa tadi pagi usai setelah sarapan dan Pak Zaidan berangkat ke kantor. Tiga puluh menit setelahnya, orang dari jasa Dekorasi datang ke rumah. Menyulap rumah besar ini bak hotel bintang lima. Mulai dari pelataran, halaman belakang, hingga di ruang tamu dan teras pun tak luput dari tangan-tangan ahli itu.“Kamu!” Aku terlonjak, kaget luar biasa mendengar suara teriakan Ibu Mareta seolah ingin memecahkan gendang tingaku.Wajah wanita dengan pirang baru itu—warna blonde terang—merengut garang. Bibir semerah anggur yang nyatanya terlihat macam bibir vampir, mulai mengamuk. Aku sanksi kalau setelah ini, tidak kena gigit sama Ibu Mareta. Atau dimakan?“Malah bengong!" Eh?“
Senyumku terpatri menatap kotak kado kecil dengan pita biru di atasnya. Mungkin, memang hadiahku tidak mahal. Tidak sebesar hadiah milik Zein yang baru tiba tadi di ruang tamu.Sebuah kotak kado dengan ukuran melebihi tinggi Zein sendiri. Entah apa isi di dalamnya. Namun, aku tidak ingin minder dengan itu.Bahkan tidak untuk ratusan kado yang mungkin saja isinya barang-barang mahal berkelas semua. Aku cukup percaya diri dengan kadoku yang kecil ini. Meski sempat ragu, harus menimbang dengan keras. Akhirnya, aku memutuskan untuk memberikannya. Nanti akan aku minta Pak Zaid membukanya ketika dia sudah berada di kantor besok.Sekali lagi, aku meneliti penampilanku malam ini. Dengan sebuah gamis berwarna ungu, pada bagian bahu hingga pinggang ada sentuhan slayer dan sedikit membentuk pada bagian itu hingga membuatku tidak terlalu tampak gendut.Iya, aku akui aku memang bukan wanita dengan anugerah tubuh langsing semampai. Bahkan karena proprsi tubuh yang sedikit berisi itu, aku menjadi b
“Tidak! Terima kasih,” tolakku tanpa pikir dua kali. Pria Chinese dengan mata sipitnya hanya tersenyum. Tak lagi memaksa.“Yah, jadi aku ditolak lagi, nih. Okelah, Nona, kali ini mungkin kamu menolakku, tapi mungkin di lain waktu kamu sendiri yang akan datang padaku.” Senyumnya, percaya diri sekali.Aku balas tersenyum. “Semoga Anda enggak kecewa dengan harapan Anda sendiri, ya.”Si 'tukang katering' itu malah terbahak. Mengundang banyak pasang mata. Termasuk Zein yang akhirnya mendekat.“Sayang, enggak mau berdansa?” Mataku nyaris copot melotot pada Zein. Pemuda yang sudah mengulurkan tangan kanannya itu, melirik sekilas pada pria Chinese di depanku.“Oh, punya orang, toh. Haha, maaf, maaf.” Gilang terbahak sembari mengangkat kedua tangan ke udara. “Maaf, Bung, enggak bermaksud ganggu. Kenalkan, saya Gilang, Zhan Gilang!”Zein menerima uluran tangan Gilang setelah sempat mendengkus keras. Lagi-lagi Gilang tertawa, kemudian berucap untuk terakhir kali sebelum pergi menjauh. “Jaga g
“Enggak, Mau, Zaid, maunya disuapin.”Rengekan manja menggelitik indra pendengaranku. “Hmm.”Sebenarnya aku tidak ada niatan untuk melirik, tapi mata ini entah kenapa sampai juga pada meja makan yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku yang sedang mengepel bagian dapur, harus buru-buru menyelesaikan pekerjaan. Kalau tidak, siap-siap saja hati kian panas.Perempuan mana coba yang tidak panas hati melihat suami tengah suap-suapan dengan wanita lain? Ya, meski Andine juga istri Pak Zaidan, tapi kan ....Ah, sudahlah.“Zareen!” Mendengar nama dipanggil, aku sontak mendongak. “Sini!”Ayunan tangan Andine memanggilku mendekat. Terpaksa pel dan ember kutinggalkan sejenak.“Kenapa, Mbak? Perlu sesuatu?” tanyaku, berusaha sekuat mungkin menahan diri agar tidak melirik ke samping Andine duduk.“Gini, Reen. Nanti agak sorean, aku mau belanja keperluan bayi, kemungkinan belanjaanku enggak sedikit. Jadi aku butuh bantuan kamu. Bisa, kan?” Wanita berjilbab segitiga krem itu te
Selesai Zuhur, tepatnya tepat di jam satu, Andine mengajakku ke mall. Ajakan yang saat ini sedang kusesali.“Maaf, Mbak, apa ini enggak kebanyakan, ya?" Tanganku sudah pegal rasanya menenteng tas belanjaan yang sudah penuh di kanan dan kiri.Sementara, wanita berjilbab putih dengan kardigan biru disertai baju dan celana kulot berwana putih, malah masih tampak semangat ke sana ke mari. Dari toko satu ke toko lainnya. Entah untuk mencari satu benda saja atau bahkan keluar tanpa membeli apa pun.Apa di kehamilannya yang sekarang, dia tidak merasakan lelah?Kakiku bahkan terasa pegal, beberapa kali rasanya aku ingin duduk sejenak. “Sabar ya, Reen. Dikit lagi, aku masih cari sepatu yang cocok.” Senyumnya memang meneduhkan, tapi tidak dengan tingkahnya untuk kali ini.Dengan riang dia memasuki toko sepatu yang lain lagi. Aku bahkan tidak mengerti dengan ucapannya barusan. Bagaimana dia bisa tahu kalau anaknya nanti cocok dengan sepatu yang dipilihnya atau tidak? Sementara, sang jabang bay