POV Anto"Terimakasih."Ucapan lembut itu menyadarkanku dari pemikiran yang berkelana. Aku merasa kehilangan saat Marni mengurai pelukan dan langsung memberi jarak di antara kami. Lantas, apa yang aku harapkan? Apakah sebuah kemesraan singkat dari Marni di pagi hari? Rasanya Marni tak semenarik itu, tapi kenapa aku malah kecewa?"Bagaimana keadaanmu?" Kurasakan suara agak tersendat di tenggorokan. Yang kulihat, dia terlihat sehat dan bersemangat, seolah tak melewati masa demam yang amat parah."Aku sudah merasa lebih baik. Oh ya, Mas sarapan dulu, Leni sudah buatkan nasi goreng."Aku terdiam, jangan tanya betapa laparnya perutku di pagi ini, tidak makan malam dan menahan diri untuk tak makan apa pun di rumah ini amat menyiksa."Siapa yang memasak?" Aku memastikan pendengaranku."Leni." Marni melipat selimut yang kami gunakan semalam. Ah, tidur dengan Marni yang bergelung di pelukanku ternyata sangat nyaman. Sebentar, apa yang aku pikirkan? Sial, semua gara-gara wangi lavender itu."Ak
"Pak Wirman?" sapa Marni. "Masuk, Pak."Pria itu mengangguk padaku, kubalas dengan senyum tipis."Apa kabar, Pak? Lama tak berjumpa.""Iya, bapak ke sini karena tau dari Leni bahwa kau pulang ke rumah. Bagaimana kabarmu? Kau sehat?""Alhamdulillah, saya sehat, Pak. Kemaren sempat demam, tapi sekarang sudah sembuh.""Alhamdulillah, kalau begitu. Bapak ke sini, mau bercerita sama kamu, sebagai anak yang paling tua, tentu kau harus memantau kondisi kebun yang Bapak jaga, tak enak kalau dipercayakan begitu saja.""Iya, Pak. Jadi bagaimana?""Kebun yang di bagian Jurong, harus dibang, masa usia pohonnya sudah lebih dua puluh lima tahun, jadi sudah tak bisa berbuah lagi. Jadi bagaimana bagusnya?""Kalau begitu, tebang saja, Pak.""Iya, tapi Bapak sarankan, pergilah ke kebun sesekali, supaya kau juga tau, mana kebun ayahmu. Bapak sudah tua, takutnya di kemudian hari kalian kebingunan. Karena tak tak mana kebun orang tuamu, mana kebun orang lain, kalian bisa ditipu."Marni mengangguk, sedangk
Pov Anto"Bagaimana keadaannya?" Ibu baru saja datang, wajah amat cemas juga terlihat di wajah wanita yang melahirkanku itu."Dia masih di ruang operasi." Aku tertunduk. Tak menunggu lama, Marni dipindahkan ke ruang operasi, aku bahkan tak sempat mengabari adik-adik Marni. "Apa yang terjadi?" Ibu menatapku serius, sangat sukar untuk menceritakan pengalaman buruk itu pada ibu, saat kutelpon tadi, aku tak menjelaskan apa-apa. Aku hanya mengatakan Marni kecelakaan dan masuk rumah sakit."Semua terjadi begitu saja, dia mendorongku agar selamat dari timpaan pohon itu, tapi malah mengenai dirinya sendiri." Masih terbayang olehku bagaimana tak berdayanya Marni saat tersungkur, belum lagi darah yang keluar amat banyak.Ibu menghela nafas berat."Dia terlalu ceroboh." Wajah ibu sendu, ibu adalah orang yang paling peduli pada Marni selama ini, walaupun di awal pernikahan ibu tak menyukai Marni, namun dia berusaha menerimanya. Berbeda denganku. Yang masih menganggap Marni bagaikan orang asing.
Selama ini, aku tak suka Marni berada terlalu dekat denganku di tempat umum. Aku merasa tak percaya diri jika membawanya, aku lebih suka melakukan semua kegiatan sendiri tanpa melibatkan Marni. Pergi ke kafe sendiri, malam mingguan sendiri, bahkan nonton ke bioskop sendiri. Aku bahkan tak tertarik mengenalkan Marni pada siapapun.Aku tersenyum miris, jika boleh memilih, sekarang aku lebih memilih diganggu olehnya, memilih untuk mendengar ocehannya yang sering tak nyambung, dari pada melihat dia menutup matanya seperti itu.Mulut berisiknya terkatup, matanya yang biasa menatap bodoh terpejam, dia bahkan tak bisa menggerakkan jarinya yang kecil untuk sekadar memberi harapan pada kami, bahwa dia akan kembali sadar seperti sedia kala.Sesampai di rumah, kubuka pintu. Hening, tak ada cengiran bodoh Marni yang biasa membukakan pintu dan setelah itu menawarkan kopi. Tak ada langkah tergesa-gesanya yang kadang sering menabrak benda yang dilewatinya.Rumah amat rapi, bersih, persis seperti yan
POV AntoJika sulit menghadapi Marni yang dulu, lebih sulit menghadapi Marni yang sekarang. Aku bahkan merasa kembali ke titik nol dan akan berjuang sekali lagi. Banyak hal yang tak terduga terjadi, bahkan Marni meminta guling kesayangannya untuk tidur. Saat kubertanya pada Leni, guling itu sudah dibuang oleh Marni sendiri beberapa waktu yang lalu, karena bau dan sangat kotor.Dengan sabar, aku selalu mengingatkannya, bahwa dia bukan lagi Marni yang dulu, akan tetapi dasarnya kerasa kepala, dia tetap saja tak percaya."Suami?" tanya dia lagi, bahkan pertanyaan itu diucapkan dengan nada geli, seakan-akan aku tengah melucu. Dia bahkan memindaiku dari atas sampai bawah, seakan tengah menilai. Tak apa, mudah-mudahan dia jatuh cinta sekali lagi."Ya, aku suamimu," sahutku meyakinkannya. Tak ada binar hangat di mata Marni. Dia menatapku seakan tak pernah memilki rasa apa-apa. Dia memberi jarak dan memperlakukanku bagaikan orang asing."Aku masih SMP," sahutnya kemudian.Aku melongo tak berd
"Jadi, bagaimana selanjutnya?" tanya Ibu padaku, Marni tengah tidur setelah makan dan minum obat. Ini hari ke tiga setelah dia sadar, kondisinya semakin membaik, kecuali ingatannya. Dokter mengatakan, besok dia sudah diperbolehkan pulang. Tapi sekali dua Minggu, dia harus dibawa cek rutin ke rumah sakit."Kata dokter, dia tak boleh dipaksa untuk mengingat, biarkan semua terjadi secara alami.""Ya, bahkan dia lupa dengan Ayah, padahal waktu dia SMP, kami sempat beberapa kali bertemu."Waktu itu Ayah masih muda, masih gagah, sekarang sudah tua. Rambut putih dan kulit keriput, mana dia ingat?" sahut Ibu cepat, Ayahku hanya melirik Ibu sekilas kemudian kembali memandang ke arahku. Dia tak tertarik untuk berdebat."Setelah ini, kau akan mendapatkan kejutan yang sangat banyak, tak tertutup kemungkinan dia akan jorok kembali. Ibu tak menduga, ujian ini akan menimpa kita, padahal Ibu sudah sangat senang dengan perubahan yang ada pada Marni."Aku membenarkan ucapan Ibu, dia akan hidup dengan
POV AntoJangan tanyakan berapa jam kami tertidur. Dari jam dua siang sampai sampai jam tujuh malam. Kamar gelap menyadarkanku, aku telah tidur amat lama. Aku yang lebih dulu terbangun, menyalakan saklar lampu sehingga cahaya lampu mengusik Marni. Sejenak kuamati wajah itu, wajah tenang Marni yang membuatku tersenyum kecil.Kudekati dia, meletakkan tanganku di lengannya yang lembut. Kemudian kugoyangkan sedikit untuk membangunkannya."Marni, ayo bangun! Sudah jam tujuh malam."Marni perlahan membuka matanya. Lalu memejamkannya kembali."Aku masih mengantuk, Om.""Kita sudah tidur lima jam. Ayo bangun, mandi dan makan malam."Walaupun terkesan enggan, Marni bangkit. Matanya yang sayu menatapku. Entah kenapa, ada desir halus yang tak biasa saat ini. Padahal Marni tak berniat apa-apa, tak berniat menggodaku sama sekali. Wajahnya pun sembab karena kebanyakan tidur, tapi kenapa dia malah terlihat menarik? Entahlah. Aku rasa aku sudah tak waras karena jatuh pada pesona Marni."Ayo, mandi!"
"Kapan nikah, Don?" "Wah, pertanyaan itu lagi.""Ya, karena usiamu sudah matang.""Aku sudah bilang sama Abang, aku suka yang unik." Doni melirik Marni sekilas. Marni sepertinya masih menunggu apa yang akan diceritakan Doni."Unik seperti apa?" Marni malah ikut campur. Doni tersenyum lagi."Seperti kakak ipar," sahutnya. Marni tersenyum merasa tersanjung, aku malah semakin muak."Maaf, Don. Dia tidak boleh terlambat tidur, dia harus banyak-banyak istirahat. Aku tidak maksud mengusir, ya. Tapi begitu pesan dokter." Doni masih santai saja dengan kalimat mengusirku itu. Dia tak terlihat tersinggung sedangkan Marni seakan tak rela melihat Doni bangkit dari duduknya dan pamit pada kami.Setelah deru motor besar Doni meninggalkan pekarangan kami, baru aku bisa bernafas lega. Akhirnya bisa berdua dengan Marni tanpa diganggu Doni."Wah, sepertinya kau senang sekali dengan kedatangan dia." Aku duduk kembali, Marni dengan jilbab instan bewarna hitam itu malah tak peka dengan sindiran itu. Ma