Share

Namaku Marni

Pov Marni

Aku Marni, kakak dengen enam orang adik. Adikku tiga laki-laki dan tiga perempuan. Ayah telah meninggal sepuluh tahun yang lalu, saat dia tak mampu bertahan karena penyakit paru-parunya. Sedangkan ibu, menyusul lima tahun kemudian. Setelah kematian ayah, ibu seperti kehilangan semangat, mereka tak pernah berpisah, ke ladang sama ke ladang, di rumah pun seperti teman akrab.

Ibu yang awalnya sehat, mulai sakit-sakitan, badannya kurus dan susah makan. Hingga beberapa tahun kemudian ibu menyusul ayah.

Tak ada yang istimewa denganku, hari-hari kuhabiskan di rumah, berkutat dengan dapur, aku terbiasa memasak dalam porsi yang banyak, karena banyak mulut yang akan makan di rumah kami.

Kami punya ladang sawit, lumayan luas, hingga saat ayah ibu tiada pun, kami tak perlu memikirkan uang bulanan. Akan ada orang yang mengantar ke rumah uang hasil panen sawit kami.

Sejak kecil, ibu dan ayah tak pernah mengarahkan apa pun, semua terjadi secara alami. Beliau pergi pagi pulang petang. Yang jelas, kami diberi tanggung jawab masing-masing dan tak diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan yang bukan tanggung jawab kami.

Kami bahagia, walau pun banyak tetangga yang enggan ke rumah kami, atau saat kami menjadi gunjingan karena rumah yang berantakan. Kami biasa dijauhi orang, kami juga biasa melihat saat orang-orang menghindar ketika ibu membawa kami menghadiri pesta.

Kata ibu, jangan terlalu mendengarkan ucapan orang, yang penting kalian kakak beradik saling menyayangi. Jangan menyakiti satu sama lain, karena bagaimana pun, hanya saudara yang bisa diandalkan untuk masa depan.

Kami hampir tak pernah bertengkar, kami bertanggung jawab dengan tugas kami sendiri. Tanggung jawabku, memastikan ada nasi dan ada lauk untuk dimakan.

Ayah dan ibu lembut, tak pemarah, tak pernah memukul atau menghukum anaknya. Mungkin karena beliau merasa, kesempatan bersama anak-anaknya tidak lama, buktinya mereka meninggal di usia yang masih muda. Sebuah takdir yang tak terbayangkan sama sekali.

Umurku dua puluh enam tahun, tak punya teman, jarang keluar rumah. Bahan-bahan yang akan dimasak, akan diantar oleh langganan ibu dulu. Aku tak pernah ke pasar, bahkan dulu yang membelikan pakaian dalam kami adalah Ayah saat beliau ke pasar membeli beras berkarung-karung.

Katakan aku bodoh, iya. Aku terbiasa dikurung di rumah yang berukuran tiga belas kali dua puluh meter, temanku hanya adik-adikku. Kami akur dalam semua hal, sama kebiasaan dan sama selera.

Saat ibu pergi, saya itulah kami sangat terpukul. Bahkan adikku yang paling kecil, Usman, masih berumur sepuluh tahun. Dia sangat manja pada ibu, bahkan setiap malam menangis sambil memeluk baju ibu yang telah tiada. Dua bulan pertama kepergian ibu, adalah saat-saat yang sangat berat, kami saling memeluk untuk menguatkan. Berjanji akan selalu bersama di masa depan.

Ibu berpesan padaku, kehidupan tiada yang tahu. Saat ini kaya, besok bisa jadi miskin. Jika punya uang, bukan berarti harus berfoya-foya. Tetaplah menjadi dirimu seperti saat sebelum punya uang, karena bisa jadi, saat jatuh miskin, belum tentu ada orang yang akan meminjamkan beras.

Hidup kami sederhana, tidak kaya dan tidak miskin. Ibu dan Ayah mewariskan ladang sawit yang cukup luas. Namun, setelah Ibu dan Ayah tiada, hasilnya dibagi dengan pengelola. Sehingga uang yang sampai ke tangan kami, hanya cukup untuk biaya adik beradik, tak bisa lagi untuk ditabung. Leni lah yang memegang uang setelah aku menikah.

Ibu benar, takdir tak ada yang tau, termasuk menikahnya aku dengen anak Haji Mahmud, Mas Anto.

Aku hanya mengenal Mas Anto sekilas, saat masih kecil-kecil dulu. Haji Mahmud adalah toke sawit yang kaya, dia sering membeli hasil kebun Ayah, kadang-kadang kumelihat Mas Anto ikut mengantar ayahnya.

Sudah lama sekali, saat kami masih kecil-kecil.

Ah! Mas Anto, membayangkan dirinya aku tersipu. Terkadang masih bermimpi bisa menikah dengan orang yang selama ini menjadi idaman orang tua para gadis.

Dia laki-laki yang tampan, kulitnya bersih, pembawaannya tenang, yang paling mempesona adalah hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis. Tak ada kurangnya Mas Anto. Setiap berpapasan denganku, aku selalu menghirup wanginya yang berceceran.

Terkadang masih bermimpi, bisa menikah dengan Mas Anto, walaupun sampai saat ini, dia belum menunjukkan gelagat tertarik padaku. Mungkin benar ucapan Mas Anto, aku tak menarik, tak pantas mendapatkan laki-laki sepertinya

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status