PLAK
Suara tamparan itu menggema di koridor rumah sakit, untung saya ruang vvip itu tidak dilewati orang, sehingga peristiwa itu tidak ada saksi dari peristiwa itu.Jika tadi sang ayah yang menamparnya kini giliran sang ibu yang melakukannya, Raffael selalu merasa kedua orang tuanya terlalu membela Ana, sejak wanita itu masuk ke dalam kehidupan mereka.“Ibu, aku-““Ibu kecewa padamu, Raf, ibu pikir ibu sudah membesarkan anak yang baik dan bertanggung jawab, nyatanya dalam keadaan seperti ini juga kamu bertindak sangat tidak adil.”“Bu Bella juga sedang sakit, waktu itu sudah banyak orang yang membantu Ana, dia hanya pendarahan-“Sang ibu menatap nanar putranya, hanya pendarahan, tahukan putranya apa arti kata itu.Dengan tubuh yang lamas sang ibu melangkah mundur dengan muka pias, dia lalu mendudukkan dirinya di kursi tunggu di depan ruang rawat Ana ini.“Hanya pendarahan, ya,” kata sang ibu yang seperti o“Nyonya Anda tidak boleh bangun dari tempat tidur dulu, anda bisa pendarahan lagi,” cegah seorang suster saat Ana berkeras ingin tahu kondisi ibu mertuanya. Setelah Raffael memanggil dokter tadi, mereka memang memindahkan sang ibu ke ruangan yang lain untuk ditangani dan Ana tak mungkin bisa tenang tinggal di sini sendiri. Ana tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri yang telah membuat sang ibu seperti ini. “Tapi suster, saya juga tak bisa tenang saat mengetahui ibu mertua saya seperti itu,” kata Ana keras kepala. “Iya tapi kondisi anda dan janin dalam perut anda juga sedang tidak baik-baik saja,” diingatkan seperti itu Ana lalu terdiam, dia tentu saja tidak mau kehilangan bayinya. “Baiklah, suster, apa bisa saya minta tolong untuk melihat bagaimana kondisi ibu mertua saya sekarang, suami dan ayah mertua saya pasti sangat sibuk dan tak sempat kemari,” kata Ana akhirnya mengalah. Sang suster mengangguk menyanggupi perm
“Selamat sore Ana, wah wajahmu tampak mengerikan.” “Memang apa yang diharapkan dari wanita yang sedang sakit?” Laki-laki yang baru saja masuk ruang rawat Ana itu menatap Ana dengan senyum menggoda, tapi wanita itu bukannya tersenyum seperti biasa, dia malah terlihat sangat kesal. “Apa aku tadi menganggumu, kamu terlihat sangat kesal, aku mau menghibur juga rasanya akan hambar dan buang-buang energi saja, padahal aku tadi sudah susah payah mencarikan makanan yang kamu inginkan.” “Aku tidak kesal, memang penampakan wajahku seperti ini,” kata Ana kesal. “Astaga memangnya kamu itu hantu pake kata penampakan segala.” “Bukan, tapi aku bisa menjadi hantu kalau mas Adam terus menggodaku.” “Siapa juga yang menggoda istri orang, memang kamu kira aku laki-laki apaan.” Kini Ana yang tertawa karena berhasil membuat Adam kesal. “Mas Adam laki-laki terbaik yang pernah aku temui,” kata Ana. “Nah sekarang siapa yang menggoda.” “Astaga kenapa mas Adam
Ana menatap pintu ruang rawatnya dengan gelisah, semenjak tadi bibi belum juga kembali padahal wanita paruh baya itu berjanji akan kembali lagi ke sini setelah Raffael pergi, yah meski itu dikatakan dengan begitu lirih. “Anda terlihat gelisah, Bu,” kata perawat yang sore ini bertugas mengukur tensi dan suhu tubuhnya. “Saya hanya mengkhawatirkan bibi saya, apa dia tersesat, dari tadi belum kembali juga,” kata Ana. “Rumah sakit ini memang luas, tapi tetap saja banyak orang di sini yang bisa dia tanya.” Ana mengangguk dan membenarkan ucapan sang perawat, tapi tetap saja hatinya cemas, apalagi panggilannya juga tidak diangkat. “Apa perlu saya bantu dengan mengumumkannya?” tawar sang suster. Ana terdiam, usia bibi sudah sangat tua untuk tersesat dan tak bisa kembali, apalagi ruangan ini terlalu mencolok untuk tidak bisa ditemukan. “Tidak perlu, sus, mungkin suster benar saya terlalu khawatir.” Ana terus menco
“Aku lapar.” “Eh?” Raffael menatap Ana dengan pandangan tajam. Setelah pertengkaran dengan sang ibu tadi, Raffael terpaksa mengalah dan malam ini dia akan tidur di rumah ini, tepatnya di kamar dan ranjang yang sama dengan Ana di kamar masa bujangnya yang penuh dengan poster dan juga kaset CD berbagai film, tempat ini memang lebih menyerupai mini theater dari pada kamar tidur. “Sebenarnya aku tadi memanggil ayah juga untuk makan malam, chef di sini sudah membuat banyak masakan tadi,” kata Ana. “Biasanya di kulkas ibu banyak sekali bahan makaan,” kata Raffael. Ana menghela napas, bukankah itu artinya kode kalau laki-laki ini ingin makan masakan buatannya. “Apa tidak ingin melihat dulu masakan yang ada? tadi ada cumi goreng tepung, ayam saus inggris-“ “Apa gunanya kamu di sini kalau chef juga yang memasakkan aku makananan,” kata Raffael dengan datar. Ingin sekali Ana mencibir laki-laki di depannya ini, bilang saja kalau dia merindukan masakannya
Ana menatap Raffael dengan wajah ketakutan, apalagi dia bisa melihat kilat amarah di mata laki-laki itu. Ana bukan tak mengerti apa yang ingin di lakukan Raffaael, mereka memang sering melakukannya dan laki-laki itu sama sekali tak pernah lembut padanya, tapi Ana biasa terima, karena hatinya masih berharap untuk bisa menyenangkan suaminya tapi kali ini berbeda, tak ada harapan lagi untuk Ana meraih hati Raffael. Juga... ada bayi yang masih bergelung dalam rahimnya. Cepat Ana bangkit berdiri, dia harus keluar dari ruangan ini, dia tak mungkin berteriak minta tolong, karena selain ruangan ini kedap suara juga ini di rumah orang tua laki-laki itu, mereka memang sangat menyayangi Ana, tpi statusnya hingga saat ini masih istri sah Raffael. Ana bergerak cepat menuju pintu, tapi ternyata laki-laki tak membiarkannya begitu saja, seperti harimau yang ingin menerkam mangsanya secepat itu pula Raffael bergerak, tahu-tahu sekarang sudah ada di depan Ana.
“Kamu cantik, pintar, baik dan sangat mandiri, aku tidak tahu kenapa kamu bisa berakhir menjadi istri kedua laki-laki yang sama sekali tak mengharapkanmu?” Ana hanya bisa terdiam mendengar perkataan wanita di depannya ini, bukan maunya untuk menjadi wanita kedua, bukan inginnya malam itu terjebak dalam lembah dosa bersama Raffael, meski belakangan baru dia ketahui bahwa Raffael saat itu dalam pengaruh obat. Yah meskipun ini juga salahnya yang sempat terbuai oleh laki-laki yang dicintainya dan juga demi menyelamatkan karirnya. “Maaf,” gumam Ana pelan. Wanita itu menghela napas dengan dalam, wanita yang menurut Ana sangat berbeda dengan yang dia temui di rumah Raffael waktu itu yang diminta oleh ibu mertuanya untuk menjaganya untuk sementara waktu, tapi karena ada pekerjaan yang tidak bisa dihandle yang lain terpaksa dia ditarik kembali ke rumah utama. Mbak Reni, begitulah Ana memanggilnya, wanita yang hanya beberapa tahun lebi
Ada sedikit rasa bersalah di hati Raffael saat memperlakukan Ana seperti itu, apalagi istrinya itu baru saja keguguran dan masih dalam tahap pemulihan, tapi Raffael berusaha untuk menepis rasa itu. Ana memang pantas mendapatkannya, wanita itu sudah membuatnya terjepit, dan orang tuanya sekarang juga sama sekali tidak menganggap Bella sebagai menantunya, awalnya Raffael hanya berpikir itu hal yang biasa karena Ana bisa memenuhi keinginan orang tuanya, meski Bella sering protes, tapi dia berusaha menenangkan wanita yang dia cintai itu. Akan tetapi lambat laun dia juga merasa orang tuanya sangat tidak adil pada Bella, membuatnya menyalahkan Ana atas hal itu, puncaknya saat Ana keguguran dan Raffael tak bersama wanita itu, ayahnya begitu marah pada Bella yang membuat istrinya itu sedih. Pintu diketuk dengan pelan dan Bella melangkah masuk begitu pintu terbuka, membuat senyum Raffael menggembang.“Sayang kamu di sini, bagaimana syuting hari
“Saya kira anda akan datang bersama Anastasya, saya sudah lama tidak ngobrol dengannya,” sapaan tuan rumah di depan pintu masuk itu membuat Raffael dan Bella tak suka, meski sedapat mungkin kemarahan itu mereka sembunyikan dengan senyum menawan yang selalu bertengger di wajah ke duanya. Ada yang retak dan patah di dalam sana, bahkan tak ada orang lain yang tahu, kalau aoi itu mulai tersulut di hati Bella, bukan hanya orang tua Raffael yang mengagungkan wanita itu, tapi juga artis senior ini juga, Bella bahkan tak suka cara sang tuan rumah menyebut nama Ana, apalagi sang istri juga terlihat sangat antusias menanyakan tentang Ana. “Ana sedang tidak enak badan, karena itu saya datang mewakilinya, dia bilang tidak enak kalau tidak datang,” kata Raffael. “Ah, tuan Raffael bisa saja, saya sebenarnya yang tidak enak hati karena mengganggu waktu sibuk tuan, padahal ini hanya acara ulang tahun orang tua seperti saya.” “Saya malah terhormat bisa datan