“Kamu sedang apa?” tanya Raffael yang melihat Ana sedang duduk di kursi taman belakang rumahnya, di pangkuan wanita itu ada sepiring buah-buahan yang telah di siram bumbu.
Raffael tahu mungkin saja Ana tengah ngidam makanan itu, tapi haruskah malam hari begini.Ana hanya menatap Raffael sejenak dan menggeser duduknya, untuk memberi tempat pada sang suami, tapi laki-laki itu diam saja dia hanya berdiri mengamati Ana.“Ini namanya rujak, kamu mau/” tawar Ana, saat tatapan Raffael jatuh ke piringnya.“Aku tidak seudik itu, tentu saja aku tahu makanan apa itu.”Ana hanya mengangguk dan meneruskan makannya, tidak dipedulikannya lagi Raffael yang masih lekat menatapnya.“Naskah apa yang kamu bicarakan tadi?” tanya Raffael akhirnya.Ana memang tadi sempat menanyakan naskahnya yang hilang pada Bella, tapi diluar dugaan wanita itu malah marah kepadanya, dan jika wanita itu marah Raffael tentu saja akan marah juga kepadanya“Tunggu, Mbak mau kemana, bapak sedang ada meeting dengan klien!” seru sekretaris Raffael yang tergopoh-gopoh menahan Bella. Tapi laki-laki itu kalah cepat dengan Bella yang langsung menerjang masuk ke ruang kerja Raffael. Tiga orang laki-kaki yang ada di sana sangat terkejut dengan kehadiaran sang bintang yang sudah berderai air mata, mereka memandang Raffael dengan penuh selidik, yang membuat laki-laki itu menghela napas gusar, baru kemarin istri dan orang tuanya mengumumkan kehamilan Ana dan sekarang Bella masuk dengan wajah yang berderai air mata, yang mereka pikirkan hanya satu ‘affair’ “Ehm mohon maaf sepertinya saya ada masalah yang mendesak,” kata Raffael pada dua orang tamunya, dia sungguh malu dengan tingkah laku Bella, tapi melihat sang istri juga berderai air mata, hatinya tidak tega juga, pasti ada hal yang sangat mendesak yang terjadi tidak biasanya Bella berbuat seperti ini. Dua tamu Raffael langsung beranjak berdiri, sedikit mereka melirik Bella saat melewati wanit
Ana kembali masuk ke dalam kamarnya dengan hati yang gamang, dia tak tahu sebenarnya di mana salahnya, dan kenapa dia yang harus mendapat hukuman. Searang Apa yang harus dia lakukan, Ana memang bukan orang yang merasa kalau ponsel adalah bagian hidupnya sehingga kemana-mana harus dia bawa serta, tapi tetap saja, dia butuh benda itu untuk menghubungi orang-orang terdekatnya. Ana segera bangkit berdiri begitu ingat kalau neneknya menghubungi tadi, tapi masalahnya dia sama sekali tak ingat nomer telepon neneknya. Bergegas Ana ke kamar Raffael dan mengetuk pintu kamar suaminya itu. “Raf... Raffael buka pintunya sebentar. Raf... tolonglah sebentar saja.” Ana terus mengetuk pintu itu bahkan air matany sudah mengalir, dari luar kamar ini dia bisa mendengar ponselnya berbunyi lagi, mungkinkah dari neneknya lagi? Apa terjadi sesuatu dengan neneknya? Tidak biasanya dia menelpon jam segini dan terus menerus. Tak sabar dengan Raffael yang tidak juga membuka pintu untuknya, Ana kembali meng
Bagi Ana nenek adalah segalanya, wanita yang dengan tulus menyayanginya dan selalu membelanya dulu, bahkan saat dia dikatakan adalah anak pembawa sial yang menyebabkan orang tuanya meninggal dalam waktu yang bersamaan, sehingga tidak ada seorang pun dari keluarga ayahnya yang mau mengasuhnya, padahal keluarga sang ayah tergolong orang yang mampu. Hanya nenek, ibu dari almarhum ibunya ini yang dengan tulus merawatnya, meski dalam keadaan serba kekurangan sekali pun. Dan sekarang mendapati sang nenek yang sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja membuatnya cemas luar biasa. Dalam perjalanan tadi dia sudah mencoba pura-pura untuk kuat karena tahu tidak ada seorang pun tempatnya untuk bersandar, tapi sekarang dengan adanya Adam yang sudah seperti kakaknya sendiri, membuat kondisinya yang rapuh itu hadir lagi, apalagi dengan kata-kata lembut menenangkan Adam. “Menangislah siapa tahu dengan menangis kamu bisa sedikit lega, nenekmu masih ditangani di dalam jadi masih ada waktu.” Ad
Villa mewah yang biasanya tampang sepi dan tenang itu, hari ini terlihat sangat ramai, berbagai kesibukan ada di sana, mulai dari pemasangan hiasan dinding, juga berbagai menu makanan yang disiapkan. Dari banyaknya makanan juga luasnya tempat pesta, tentu saja ini bukan pesta biasa, terlihat juga banyak laki-laki berbadan tegap yang berdiri berjajar di sepanjang pintu masuk tentu para tamu bukan dari kalangan biasa. “Luar biasa, pasti pestanya nanti lebih besar dari acara ulang tahun stasiun televisi, padahal ini hanya syukuran untuk drama terbaru saja, XAM memang luar biasa mendukung artis-artisnya,” kata salah seorang panitia yang menyiapkan acara ini. “Bukan artis-artisnya, tapi ini memang khusus ditujukan untuk Isabella.” “Isabella, artis pendatang baru yang kabarnya banyak menerima job akhir-akhir ini?” tanya yang lain. “Iya, wah beruntung sekali wanita itu bisa dekat dengan pewaris XAM, dengan modal wajahnya yang cantik dia bis
“Dia benar-benar tidak datang,” gumam Ana pada dirinya sendiri. Kini dia hanya duduk seorang diri memandangi kesibukan orang-orang di rumah neneknya ini, Adam juga sibuk mengurus semua prosesi pemakanan sang nenek sedangkan mbak Sri sibuk di dapur untuk membuat makanan untuk orang-orang yang nanti akan mendo’akan almarhumah, hanya Ana yang duduk seorang diri tanpa tahu harus melakukan apa. Tubuhnya seolah tak memiliki kekuatan Lagi, bahkan untuk berdiri dan membantu semuanya, bahkan otak pintarnya pun ikut hilang tertelan kesedihan yang mendalam. Tak ada sosok suami atau pun saudara yang menemaninya di sini untuk berbagi suka dan duka, di saat seperti ini Ana sadar kalau ternyata kehidupan gemerlap yang dia miliki selama ini hanya mimpi sana, dan tanpa sang nenek semuanya juga tak akan lagi sama. “Suaminya Ana kok belum kelihatan ya, tadi aku juga lihat mobil bagus ku kira itu suaminya ternyata hanya sopirnya.” “Iya padahal kemarin
Pesta perayaan drama terbaru dengan Bella sebagai bintang utamanya berlangsung meriah, bahkan semua televisi, radio dan juga media online sibuk memberitakannya. Banyak dari mereka yang menanyakan keberadaan Ana, karena sepanjang acara Bela selalu menempel pada Raffael, tapi sepertinya kekuasaan Raffael lagi-lagi bekerja dengan rapi, dia berhasil menutupi status mereka yang sebenarnya. Adam tidak ingin Ana sampai tahu masalah ini, setidaknya untuk saat ini saat dia berada pada titik terendah dalam hidupnya. Sampai di rumah Adam segera mengajak mbak Sri untuk bicara. “Mbak sudah lihat berita di televisi?” tanya Adam lirih, khawatir tiba-tiba Ana muncul dan memergoki mereka berdua. Sikap mereka memang sangat mencurigakan seperti pasangan selingkuh yang bertemu di luar rumah secara diam-diam, tapi tentu saja Adam tidak punya cara lain, mau bicara di mana coba selain di rumah Ana. Mau bicara di cafe seperti biasanya juga jarak cafe dari
“Aku baru juga baru tahu ibu, tadi pak Mamad yang menghubungiku, kemarin memang ada nomer asing dan menelponku tapi sudah terlalu malam untuk menjawabnya.” Sandra Alexander begitu geram dengan jawaban putranya, jika saja Raffael ada di depannya pasti sudah dia pukul anak itu., tapi dia ingin tahu apa tanggapan Raffael untuk hal ini, benarkah putra kebanggaannya itu begitu tega melakukan ini pada istrinya. “Lalu?” “Maaf Ibu, aku ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal, lagi pula Ana di sana pasti baik-baik saja.” Sang ibu hanya diam dia begitu kecewa dengan apa yang dikatakan Raffael, dia tahu bagaimana usaha Ana untuk mendapatkan perhatian dari suaminya itu, tapi Raffael tetap saja dingin, bahkan dalam fase tersulit hidup Ana sekalipun Raffael sama sekali tak tersentuh. Sandra menatap sofa tempat Ana duduk seorang diri di sana, wanita itu begiu rapuh dan tak memiliki sandaran, tapi dia juga rasanya tak berdaya untuk terus memaksa ana
Ana baru pulang ke rumah Raffael satu minggu kemudian, selama itu juga tak sekalipun laki-laki itu berkunjung ke sana, jangankan berkunjung, menelpon atau mengirim pesan saja tidak dia lakukan. “Tuan menunggu anda di ruang kerjanya, Mbak,” kata bibi saat siang itu Ana baru saja turun dari mobil. Ana terdiam, dia tapi dia lalu mengangguk. “Iya, bi tolong bawakan barang-barangku di bagasi ke dalam.” Ana sudah akan mengetuk pintu ruang kerja Raffael tapi pintu itu sudah terbuka sebelum Ana melakukannya dan ternyata Raffael sendrii yang membukanya. Mereka bertatapan dalama kebisuan, Ana tak tahu apa yang ingin dibicarakan Raffael sehingga dia harus dipanggil kemari tanpa memberinya kesempatan untuk beristirahat sejenak. “Bolehkah aku duduk, kakiku pegal jika harus berdiri terus.” Raffael seolah tersadar kalau dia masih menutupi pintu ruang kerja ini dengan tubuh besarnya. “Maaf, kamu bisa mencari tempat duduk yang pa