Malam ini, adalah malam di mana Aminarsih benar-benar bahagia yang luar biasa. Bisa tidur di kasur super empuk dengan kipas angin yang menyala di tembok. Kasurnya bahkan sudah dilapisi seprei bermotif kucing, harum, dan juga bersih. Amira terlelap sangat nyenyak dengan begitu nyamannya, sedangkan dirinya masih memikirkan bagaimana Emir bisa membuat semua barang baru dan bagus ada di dalam kontrakannya. Besok akan ia tanyakan pada Pak Jum.
"Semenjak kamu lahir, kehidupan kita menjadi lebih baik. Ibu jadi banyak bertemu orang-orang baik. Terimakasih sudah mau menjadi anak Ibu," bisik Ami di telinga Amira, lalu mengecupnya pelan. KlikLampu tidur model bulan sabit besar, ia nyalakan."Terimakasih Papa Emir."Ami mengirimkan pesan pada Emir dengan kalimat yang sama.****Emir baru saja selesai mandi, tubuhnya lebih segar setelah diguyur air dingin. Emir mengoleskan minyak kayu putih di seluBu Farida di bawa ke ruangannya oleh Emir. Wanita paruh baya itu pingsan, setelah mendengar anak kecil cantik memanggil anaknya dengan sebutan 'papa'. Tubuhnya lemas tak bertulang, menerima kenyataan yang belum ia cek kebenarannya.Ami hanya bisa berdiri sambil gemetaran di depan pintu kantor Bu Farida, sambil memegangi tangan Amira. Ia lupa, jika kemarin Suraya mengatakan warung soto Bu Farida adalah milik ibunya, warung soto tempat dirinya menitipkan peyek selama hampir dua tahun ini."Jangan pulang dulu ya, nanti saya antar," kata Emir pada Ami, ketika selesai membaringkan mamanya di kasur dalam ruangan."Iya, Mas." Ami mengangguk paham."Ayo, masuk. Kita jelaskan pada mama saya." Emir sudah menggendong Amira masuk ke dalam ruangan kantor."Eko, buatkan dua mangkuk soto dengan nasinya untuk saudara saya ini ya.""Baik, Mas." Lelaki bernama Eko, salah satu karyawan Bu Farida yang baru saja membawakan teh untuk
"Mas Emir!""Farah, hei bangun! Ada apa?" Daniel membangunkan Farah yang berteriak memanggil nama suaminya. Keringat bermunculan dari dahinya yang putih bersih. Tubuhnya masih berselimutkan kain tebal yang hangat, tanpa sehelai benang pun."Mas Emir, cepat! Kamu harus segera pergi, cepat!""Mana?" Daniel kebingungan."Aku mimpi Mas Emir ke sini," ujar Farah ketakutan."Gak mungkin, Far. Kenapa kamu baru cerita?""Aku lupa. Cepat, pokoknya kamu harus sembunyi.""Ck, kamu tahu dari mana, Sayang?""Udah, pokoknya kamu harus pergi, karena suamiku menuju ke sini, cepat Daniel!" Farah ketakutan.TeetTeet"Itu Emir, cepat Daniel. Kamu sembunyi, udah ga bisa kabur."Daniel memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai dengan wajah pucat, persis seperti Farah yang kini gemetar dan pucat.TeetBeepBeep
Berhenti, biar saya yang bawa Amira. Saya papanya," ujar Emir penuh percaya diri, sambil merebut Amira dari gendongan Kamal. Namun susah, karena Kamal menahan erat tubuh Amira."Saya aja!""Udah, saya saja.""Emang kamu siapa?" tanya Emir tak sabar."Saya calon suami Mbak Aminarsih," ucap Kamal begitu percaya diri"Mimpi," timpal Emir yang berhasil merebut Amira dari gendongan Kamal, lekas ia masuk ke dalam mobil."Ayo, Ami. Jangan bengong!" titah Emir."Iya, Mas. Maaf, Kamal." Ami pun masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah Emir.Mobil berlalu dan Kamal hanya tertunduk lesu. Tidak, ia tidak boleh patah semangat. Besok, ia akan melamar Aminarsih menjadi istrinya, sebelum lelaki lain mendahuluinya."Siapa lelaki tadi?""Itu namanya Kamal, Mas.""Oh, dia karyawan di warung soto Mama saya.""Iya.""Saya tidak suka kamu berdekatan dengan lel
Emir baru saja selesai mandi dan kini sudah bersiap untuk tidur. Lama ia memandangi langit kamar, kemudian tertawa kecil. "Ami, Ami ... Lucu sekali," gumamnya tatkala mengingat saat dia meminta Ami menjadi istrinya, tubuhnya malah di dorong keluar rumah, lalu ditutup pintunya. Wanita itu tidak menjawab iya atau pun tidak. Apakah tandanya iya? "Duh, ini yang dinamakan jatuh cinta bukan sih?" Emir membolak-balik tubuhnya agar segera terpejam, namun tidak juga bisa.Cuaca di luar tiba-tiba hujan sangat deras disertai angin. Kilat dan petir saling berlomba memperlihatkan kekuatannya, mengobrak-abrik hati manusia hingga merasa takut akan gelegarnya. Emir yang masih belum bisa tertidur, memilih membuat susu di dapur, lalu membawanya kembali ke kamar. Setelah menenggaknya habis, barulah Emir merasa kantuk yang sangat luar biasa.Duaar!"Allahu Akbar!" pekik Emir tersentak dari tidurnya. Dilihatnya jam weker yang ada di atas meja kecil, sudah
"Permisi, Mbak. Saya wali dari Aminarsih, warga RT 06, izin saya bawa ke rumah ibu saya," ujar Emir meminta izin pada petugas pendataan warga korban banjir."Benar begitu, Mbak Ami?" tanya petugas pendataan. Ami hanya mengangguk. Jujur sebenarnya ia sungkan untuk ikut ke rumah ibu dari Emir, tetapi untuk tinggal di tenda pengungsian sepertinya tidak mungkin, karena sekarang saja tubuhnya serasa demam. Jika memaksakan tak menuruti mau Emir, bisa-bisa ia sakit di tenda pengungsi dan tak ada yang mengurusnyandan juga Amira."Baiklah, silahkan tinggalkan fotokopy KTP."Emir mengeluarkan fotokopy KTP yang selalu ia sediakan di dompetnya. Setelah memberikan kertas tersebut, Emir menggendong Amira menuju mobil, sedangkan Ami merasa kepalanya mulai berputar."Ami, ya Allah!" Emir mengecek suhu tubuh Ami dengan punggung tangannya dan suhunya panas."Ayo masuk dulu!" Emir membukakan pintu belakang untuk Ami, dan pintu depan untuk Amira, l
Bugh"Aauu ...." Emir tersentak saat Ami memukul lengannya."A-Ami, i-itu tadi, gak sengaja, itu Amira pelakunya!" adu Emir sambil menoleh pada Amira yang menyeringai lebar di samping mereka."Tidak sengaja, tapi kenapa tidak segera dilepas," omel Ami dengan memalingkan wajahnya yang merona."Gak bisa terlepas, beneran. Kayak ada lemnya," terang Emir dengan wajah serius."Huh, mana ada seperti itu. Udah, sini mangkuknya! Saya makan sendiri saja, untung mangkuknya tidak jatuh," omel Ami pada Emir, lelaki itu hanya menyeringai sambil mengedipkan mata pada Amira.Pintu dibuka, ada Bu Farida di depan pintu melihat keadaan Ami. "Sudah enakan, Mi?" tegur Bu Farida."Sudah, Oma. Sudah ditium Papa, bibil Ibu. Ccuupcup," jawab Amira sambil memajukan bibirnya."Wah, masa sih? Beneran itu, Mir?""Itu, Ma. Tidak sengaja, Amira naik ke punggung saya tiba-tiba, jadi hilang kesei
Ami kini berdua saja dengan Amira di rumah Bu Farida. Karena kondisi tubuhnya sudah lumayan enakan, Ami memilih menyapu rumah dan mengepel lantai. Setelah mengepel, Ami melanjutkan menyapu halaman, lalu menyiram tanaman. Ditemani oleh Amira yang dengan senangnya berlarian ke sana-kemari.Ami memandang lekat pohon apel milik Bu Farida, seketika bulu kuduknya merinding. Pohon yang sama persis, dengan buah apel berwarna merah. Ami memberanikan diri menyiram sedikit akarnya, sambil berbisik, "izin saya siram ya, saya Aminarsih. Apa kamu kenal saya?" tak ada angin tak ada hujan pohon apel itu bergerak dengan sendirinya. Ami tersenyum, lalu pindah menyiram ke pohon yang lain.Rumah Bu Farida termasuk rumah kuno kalau menurut Ami, karena bangunannya mirip rumah pada jaman belanda, ditambah lagi cat rumah berwarna putih, dengam jendela model lama. Tiang rumah yang berada di teras rumah dan dijadikan tempat bergelayut Amira, semakin menambah kesan, rum
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi Emir atau pun Bu Farida belum juga pulang. Aminarsih masih setia menunggu pemilil rumah pulang. Ditemani Amira yang sudah terlelap dengan televisi yang menyala. Di luar, hujan mulai turun sangat deras. Ami bolak-balik melihat ke arah jendela, berharap Emir segera pulang."Hhoooaaam ....'" berkali-kali Aminarsih menguap, hampir saja tak kuat menahan kantuk. Ami memutuskan untuk bangun, lalu menggendong Amira masuk ke dalam kamar. Setelah mematikan lampu utama lalu menyalakan lampu tidur, Ami kembali berjalan keluar, duduk di sofa depan TV, sambil menunggu Emir pulang.Suara kunci pintu diputar sempat mengganggu tidur Ami, tetapi karena sangat mengantuk, kembali melanjutkan tidurnya."Ada yang nungguin saya pulang kayaknya," gumam Emir yang kini sudah berdiri di depan Ami bersama sang mama."Awas jatuh cinta," sindir Bu Farida sambil tersenyum tipis pada Emir.