Kian terkejut bukan main. Ia melepaskan punggung Clara hingga sekretarisnya itu terjatuh ke lantai.“Auuww!” teriak Clara sambil mengernyit, mengusap pinggulnya.“Apa yang baru saja kamu lakukan?!” bentak Kian.Clara susah payah membalikkan badannya, berlutut, lalu berdiri. Ia tampak kesakitan, wajahnya kemerahan, dan matanya berair.“Maaf, Pak,” ucapnya dengan suara tercekat.Kian merasa sepertinya ada yang tidak beres dengan Clara. “Apa kamu baik-baik saja, Clara?”“Punggung saya sakit sekali, Pak,” ucapnya sambil memejamkan mata.Kian mendecak kesal. “Aku harus membawamu ke rumah sakit.”Tanpa banyak bicara lagi, Kian pun menelepon karyawannya dan meminta tolong untuk membantu memapah Clara menuju ke mobil. Kian yang menyetir mobilnya.Tidak jauh dari The Prince terdapat rumah sakit. Salah satu karyawannya, Ardi ikut ke rumah sakit. Ia menolong memapah Clara dan membawanya masuk ke IGD. Clara masih terus meringis, wajahnya menjadi pucat dan dahinya berkeringat.Tak berapa lama kemu
Ketika rasa kesal dan menyesal menjadi satu, maka rasanya hati pun menjadi tidak tenang. Kian mencoba untuk menenangkan dirinya begitu mendengar jika Erwin yang menemani Laureta menonton pertunjukkan putri duyung.“Kamu tampak seperti yang kesal padaku,” ujar Laureta.Kian membuka matanya dan menatap Laureta yang seperti hendak menangis. “Tentu saja aku kesal!”“Aku yang seharusnya marah padamu!” seru Laureta. “Kamu sudah berjanji akan menonton pertunjukkan putri duyung denganku! Kamu bilang kamu selesai bekerja jam lima. Mana? Aku menunggumu cukup lama. Aku berdiri terus di dekat pintu masuk, tapi kamu tidak muncul juga! Di mana kamu tadi? Kamu tidak bilang di mana ruangan meeting-mu. Kamu benar-benar meeting atau tidak pun aku tidak tahu!”“Aku benar-benar meeting, Laura!” timpal Kian yang tidak ingin dituduh sembarangan.“Lalu kenapa lama sekali meeting-nya?” Setetes air mata meluncur di pipi Laureta.“Aku bukannya sengaja berlama-lama ….”“Kamu membuatku membiarkan Erwin yang mene
Perasaan Kian jauh lebih lega begitu mereka berciuman. Terlebih, Laureta telah menyatakan cintanya. Ia langsung merasa hatinya berbunga-bunga.Malam itu, mereka makan malam seafood seperti yang Kian janjikan. Tidak perlu menunggu lama, masakan itu langsung datang dengan cepat.“Omong-omong, tempat apa ini sebenarnya?” tanya Laureta sambil mengunyah makanan.“Aku membangun tempat ini khusus untuk ruang pribadi. Misalkan ada keluarga yang ingin merayakan pesta, bisa di sini. Aku melengkapi ruangan ini dengan televisi dan ada juga sound system untuk karaoke. Kamu mau menyanyi, Laura?”Laureta terkekeh. “Tidak. Aku tidak bisa menyanyi.”“Oh ya? Aku pikir suaramu pasti bagus kalau menyanyi.”“Ah jangan! Lebih baik simpan saja itu mic-nya. Jika aku bernyanyi, aku hanya akan merusak suasana.” Laureta terkekeh. “Aku lebih suka menari daripada menyanyi.”Kian tersenyum penuh arti. “Selama ini, aku hanya tahu kamu sebagai seorang instruktur senam, tapi tidak pernah sekalipun melihatmu memimpin
Ponsel Laureta berbunyi. Ia melihat nama Marisa tertera di sana.“Halo, Kak Marisa.”“Halo, Tata. Apa kamu sedang sibuk?” tanya Marisa.“Tidak, Kak,” jawab Laureta. Sudah lebih dari dua minggu ini, ia tidak pernah menjadi instruktur zumba lagi. Ia telah menyerahkan segalanya pada Reksi. “Ada apa?”“Helga meneleponku dan mengajakku untuk fitnes bersama,” kata Marisa.“Oke. Lalu?” ucap Laureta hati-hati.“Dia menyebut namamu,” ujar Marisa, membuat Laureta melebarkan matanya. “Katanya, dia sudah berjanji untuk fitnes bersamamu. Apa dia meneleponmu?”“Tidak. Uhm, jadi aku harus ikut?”Marisa terkekeh. “Terserah padamu. Kalau kamu sibuk, aku tidak akan memaksa.”Laureta berpikir sejenak. Ia teringat saat minggu lalu ia bertemu dengan Helga, keadaan cukup kacau. Namun, Kian pernah menyuruhnya untuk menghadapi Helga. Jadi, untuk apa ia menghindar?“Tidak masalah. Aku akan datang. Kapan kita bertemu?” tanya Laureta.“Rencananya besok pagi. Kita akan berangkat bersama,” kata Marisa.“Oke, samp
Kian hanya tersenyum. “Tunggu sebentar. Aku mau menandatangi beberapa dokumen, setelah itu kita berangkat.”“Oke.”Kian langsung bergegas kembali ke kursinya dan menekuni beberapa dokumen sambil melihat layar laptop sesekali. Laureta duduk di sofa sambil menghirup aroma kopi yang kuat. Ia menoleh ke arah mesin kopi yang ada di sana.“Kamu suka membuat kopi sendiri?” tanya Laureta.“Ya. Clara yang membuatkan kopi untukku.”Laureta menghampiri mesin kopi itu dan melihat sebuah toples kaca yang berisi bungkus kopi warna hitam dengan logo dan merk kopi yang tertera di sana. Ia melihat tulisannya. “Kopi Aceh Gayo. Waw!”Ia membuka toples itu dan menghirup aromanya yang wangi sekali. Ditaruhnya kembali toples itu di meja.“Aku tidak tahu kalau kamu suka minum kopi Aceh,” ujar Laureta.“Ah ya,” jawab Kian sambil lalu.“Jadi, Clara yang selalu membuatkan kopi untukmu? Ah, aku iri sekali. Seharusnya aku yang membuatkan kopi untukmu.”Kian sudah mematikan laptopnya dan menutupnya. Lalu ia mengh
Mata Laureta otomatis membelalak begitu mendengar pernyataan Kian. Ia tertawa histeris, lalu kembali menatap Kian tak percaya.“Kamu bercanda!” seru Laureta.“Untuk apa aku bercanda? Sungguh, Laura, aku membelikan motor itu untukmu, bukannya aku sengaja membeli motor itu untuk Clara. Dia memang sekretarisku yang terbaik, tapi aku tidak pernah berniat untuk memberinya motor karena tidak ada alasan khusus.”Laureta menggelengkan kepalanya. “Aku harap, kamu tidak berbohong padaku.”Kian mendecak kesal. “Kamu mempercayai kata-kata Clara begitu saja, tapi kamu tidak mempercayaiku. Kamu sudah krisis kepercayaan padaku ya?”“Tidak, tidak. Bukan begitu, Kian.” Laureta menggerakkan tangannya dengan cepat. “Hanya saja, aku terlalu mual mendengar cerita Clara. Aku percaya padamu, Kian. Sungguh, aku hanya memastikan saja. Dan yah, itu artinya Clara telah berbohong padaku. Dia sengaja memanas-manasiku supaya aku kesal padamu.”Kian menggelengkan kepalanya. “Untuk apa dia membohongimu?”“Itu karena
Hari itu juga, mobilnya sudah bisa dibawa pulang karena unitnya sudah siap. Sepertinya Kian sudah memprediksi jika Laureta akan memilih SUV itu dengan warna merah yang sesuai dengan karakter Laureta. Jadi, pihak delaer mobil pun telah mempersiapkan segalanya.Meski Laureta sudah tahu akan diberikan mobil, pihak dealer tetap menyiapkan pita yang sangat besar di mobil itu sebagai simbol kado. Laureta menutup mulutnya sambil menatap mobil itu dengan mata berbinar-binar.“Kamu suka?” tanya Kian.“Suka sekali!” pekik Laureta yang menahan diri untuk tidak menjerit.Laureta masuk ke dalam mobil, mencoba duduk di balik kemudi. Ia menggerak-gerakkan setirnya dan mencoba mendengar suara derum mobilnya yang terdengar sangat keren.Ia benar-benar terkesima. Senyumnya mengembang sembari tangan dan kakinya gemetar. Hari itu juga, Kian membawa mobil baru Laureta. Sementara mobilnya dijemput oleh supir untuk diantar pulang ke rumah.“Nanti plastiknya harus dilepas,” ujar Kian yang tampak risih meliha
Laureta mendengarkan dengan saksama. Ia mengunyah makanannya lebih santai. Berbeda dengan Kian yang memang sejak awal selalu bersikap santai dan anggun. Ia tak pernah terusik dengan keadaan di sekitarnya.“Apanya yang berubah?” tanya Laureta sambil mengunyah makanannya.“Kamu membuatku merasa dicintai,” ungkap Kian dengan suaranya yang dalam dan ngebass.Laureta terdiam sejenak sementara dalam hatinya ia semakin mengagumi pria tampan di hadapannya ini. Di usianya yang matang, Kian tampak sangat luar biasa dan percaya atau tidak, pria itu adalah suaminya.“Aku pikir,” lanjut Kian. “aku akan melewati hari-hariku dengan penuh tekanan. Aku berencana akan tidur terpisah denganmu, memperbanyak jam kerja. Aku akan membuat jadwal dengan dokter kandungan dan hanya akan melakukan hubungan denganmu saat kamu masa subur saja. Setelah kamu melahirkan, aku akan menunggu sampai anaknya berusia satu tahun, lalu kita akan berpisah.”Laureta tercengang mendengar pengakuan Kian. Terasa sekarang betapa d