"Kamu harus menikah dengan putra dari rekan bisnis saya, Ashilla."
Dengan entengnya pria tua itu berbicara. Wajahnya bahkan mendongak sebentar lalu kembali menikmati makan siangnya. "Langsung saja, intinya perusahaan sedang mengalami krisis dan butuh dana yang besar untuk bisa bertahan." Lagi, Haidar Raziqin, berbicara tanpa sedikitpun merasa sungkan atau tak enak hati.Pria yang darahnya mengalir dalam darahku, tapi tak pernah mengakuiku sebagai putrinya--mendadak langsung memerintah.
Di sisi lain, Utari, nyonya rumah ini menatapku sebentar lalu melenggang pergi setelah meletakkan segelas jus jeruk dan piring kosong di atas meja tepat di sebelah suaminya.
"Jadi, aku harus menikahinya agar perusahaan mendapat suntikan dana?"Pria tua di hadapanku itu mengangguk.Reflek ujung bibirku tertarik sinis.
Baru kemarin dia mengusirku saat aku datang untuk berpamitan ke Jepang. Tak lupa juga dia menegaskan untuk yang kesekian kalinya jika aku bukanlah anggota keluarganya jadi tak perlu datang lagi ke rumah mewahnya ini.
Tapi, belum 24 jam kini dia menjilat kembali ucapannya?
Luar biasa!
Satu langkah aku mendekati meja makan, "Untuk apa saya harus melakukannya?" "Sebagai baktimu padaku. Satu-satunya orang tua yang sekarang kamu miliki," ucapnya tanang.Bakti?Sontak aku tertawa geli, sangat tidak tahu malu. Benar kata orang-orang, rasa takut hidup miskin bisa membuat orang lupa dengan harga dirinya.
"Anda tidak membesarkan saya. Tidak juga merawat saya apalagi memberi kasih sayang. Lalu, bakti apa yang Anda maksudkan?"Wajahnya memerah dan matanya melotot tajam. "Hancurlah perusahaan Anda tapi saya tidak akan menghancurkan hidup saya dengan menikahi orang yang tidak saya kenal."Aku sudah menjawab permintaannya jadi aku berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Namun langkahku langsung terhenti begitu terdengar gebrakan meja disusul omong kosong pria yang dalam darahnya mengalir darah yang sama denganku."Mau tidak mau kamu harus menuruti perintahku. Jangan jadi anak durhaka yang tak tahu berterima kasih," serunya tak tahu malu."Jika bukan karena kasihan, aku juga tidak akan memintamu untuk menikahi anak rekan bisnisku. Pikirkan baik-baik, setelah menikah kamu tidak perlu susah-susah bekerja dan hanya menikmati hidup sebagai orang kaya. Hal yang tidak pernah kamu rasakan sejak kecil."Suara lantang pria itu berhasil membuat amarahku tersulut. Aku berbalik, melempar tatapan tajam pada laki-laki itu."Hidup saya sudah sangat bahagia. Terima kasih atas perhatiannya. Tapi maaf, saya tidak butuh belas kasihan dari Anda."Seketika pria itu berdiri, "Ingatlah, jika tanpa bantuanku kamu juga tidak akan bisa seperti sekarang ini?"Apa maksudnya? Jangan bilang dia akan kembali mengungkit....."Biaya sekolahmu aku yang membiayai. Jika saat itu aku tidak memberikan uang kepada nenekmu, kamu pasti tidak bisa ikut ujian dan sekarang tidak bisa berdiri dengan sombongnya di depanku."Tak salah lagi.Pria ini pasti akan mengungkit uang itu. Uang yang diberikannya pada nenek untuk melunasi tunggakan spp agar aku bisa ikut ujian akhir di sekolah menengah atas.
Kuhela nafas panjang lalu kuserahkan amplop coklat yang aku ambil di dalam tas yang aku bawa. Sejak kemarin aku sudah menyiapkannya. Namun urung kuberikan karena pria ini langsung mengusirku begitu aku menginjakkan kaki di teras rumahnya."Jumlahnya sepuluh kali lipat dari uang yang Anda berikan pada nenek waktu itu."Aku segera pergi setelah meletakkan amplop coklat berisi uang di atas meja.Brak!Kembali terdengar gebrakan meja yang lebih keras dari sebelumnya. Namun kali ini tak membuatku menghentikan langkah. Aku tatap melaju menuju pintu ruang tamu."Dasar anak durhaka," umpatnya keras sekali. "Kalau bukan karena aku menikahi Mamamu, mungkin saat ini semua orang akan menganggap kamu anak haram. Dasar anak tidak tahu diri!""Ingat ucapanku, kamu tidak akan pernah bahagia meski kamu punya banyak harta. Sepertiku kamu juga akan ditinggalkan orang-orang yang kamu cintai."
Deg!Kuelus dadaku yang mulai terasa sesak.Ya Allah...... Kenapa pria itu begitu membenciku?
Dengan kaki yang gemetaran, kupercepat langkahku sampai menuju pintu. Rasanya begitu pengap udara di rumah mewah ini.Aku tidak tahu pasti cerita sebenarnya tentang alasan orang tuaku bisa bercerai karena Nenek tidak pernah menjawab pertanyaanku. Bahkan, sampai menghembuskan nafas terakhir beliau tetap bungkam.Dia hanya berkata, "Suatu hari Papamu akan menyesali semua perbuatannya kepadamu dan mamamu."
Jawaban itu yang selalu aku dapatkan setiap kali bertanya, apa alasan Papa menceraikan Mama dan sangat membenciku.
Sayangnya, Mamaku justru meninggal setelah aku berumur tujuh tahun karena keterbatasan biaya.Namun saat meski sakit pun, Mama tetap bekerja membantu di sebuah toko di pasar sedangkan Nenek berjualan nasi pecel.Kami hidup bahagia di salah satu desa kecil di Jawa Timur. Hanya saja, kepergian mama membuat Nenek sempat mengantarku tiga kali ke rumah Haidar di Jakarta untuk sekadar menjalin silahturahmi. Namun setiap kami datang satpam langsung mengusir dan berkata Papa tidak ada di rumah.
Tanganku mengepal mengingat itu semua.
Jika saja aku tahu uang yang nenek katakan pinjam dari saudara jauhnya itu adalah uang dari Papa, aku pasti akan menolaknya.
Meski harus mengulang satu tahun di bangku sekolah aku rela.
"Setidaknya aku punya alasan untuk tetap membencinya sampai akhir!" gumamku menahan emosi.
❄❄❄"Dari mana saja kamu?" Nathan berdiri di lobby kantor saat aku baru sampai. Sepertinya sengaja menungguku. Ya, tadi aku pergi tanpa pamit. Begitu mendapat telpon dari tante Utari yang memintaku datang, tanpa pikir panjang aku pun segera berangkat. Aku pikir mereka menyesal karena kemarin telah mengusir. Tapi ternyata.......mereka hanya ingin memanfaatkan aku saja. Bod*h sekali aku jika mau menuruti permintaan pria yang tidak pernah menganggapku sebagai anak itu. "Ck, ditanya malah ngelamun." Pria berkulit bersih itu berdecak kesal sembari menjentikkan jarinya di depan wajahku membuatku tersadar dari lamunan. "Ketemu sama teman sebentar," jawabku lalu melanjutkan langkah. "Sudah kubilang jangan pergi sendirian. Apa lagi tidak pamit kayak tadi." Kami berjalan beriringan sambil sesekali menyapa rekan kerja yang tak sengaja berpapasan. "Dan lihat itu jam di pergelangan tanganmu, kamu telat." Nathan terus mengomel. Aku telat setengah jam, setelah dari rumah Papa aku memilih untuk me
"Tanya alamat," jawabku asal."Mana ada orang nanya alamat di gedung penelitian?"Aku hanya mengangkat bahuku, lalu kembali sibuk dengan layar ponselku."Malam ini aku akan pulang ke rumahku. Nathan dan Mbak Miranda juga pulang ke rumah orang tua mereka. Kamu gak papa sendirian?"Aku menoleh, "Iya, nanti aku akan ke rumah Natali. Makasih sudah mengkhawatirkan aku.""Bagus kalau kamu tahu. Jadi, jangan sampai tidak mengangkat telpon.""Siap," jawabku.Aku tak pernah berhenti bersyukur mendapatkan kesempatan bertemu orang-orang baik seperti mereka bertiga. Ardi sudah seperti saudara kembar yang selalu tahu dan faham perubahan moodku.Nathan lebih ke seorang kakak yang selalu perhatian dan siap menjagaku. Dan Mbak Mirna dibalik ketegasannya ada kasih seorang ibu yang selalu perhatian padaku.Terima kasih Tuhan.... diantara kepahitan dan penderita masih Engkau selipkan orang-orang baik di perjalan hidupku.Tak terasa, aku telah kembali ke rumah. Segera aku membersihkan diri sebelum bersan
Kupejamkan mataku sebentar sebelum meminta Pak sopir untuk merubah arah tujuan. Berbagai bayangan buruk membayang di pelupuk mata. Rasa bersalah dan ketakutan muncul bersamaan. Tanpa bisa kucegah tangan dan kakiku mulai gemetaran. Dadaku terasa sesak kembali teringat peristiwa tiga tahun silam. "Jangan...... Jangan lagi Ya Allah.... Hamba mohon jangan jadikan hamba penyebab kematian orang yang aku kasihi lagi." Aku terus merapalkan doa-doa dalam hati, merayu sang maha kuasa berharap ketakutanku tidak akan pernah terjadi.[Ardi]Tak sengaja kulihat kontak pria itu di ponsel. Ingin sekali aku menghubunginya namun aku urungkan. Saat ini, dia pasti sedang menghabiskan waktu bersama orang-orang terkasihnya sebelum tinggal berjauhan untuk waktu yang lama. 'Tidak, aku tidak bisa mengganggunya,' batinku mengingatkan. Tidak Ardi, Nathan juga tidak Mbak Miranda. Aku bertekad untuk menghadapinya sendiri.Jadi, dengan langkah sedikit berlari aku menuju ruang ICU tempat pria yang menjadi alasa
"Boleh aku mengajukan syarat?"Pada akhirnya aku menyerah. Tak mungkin aku membiarkan pria yang sudah menjadi alasan kelahiranku ke dunia ini masuk penjara apalagi sampai kehilangan nyawa. Aku tak mau di hantui rasa bersalah lagi. Kalau memang ini satu-satunya jalan, terpaksa harus aku tempuh. Pria itu tersenyum lebar. Raut wajahnya menampilkan ekspresi kemenangan."Boleh, katakan! Putra akan segera mencantumkannya dalam surat perjanjian pra nikah kita." "Jangan ada sentuhan fisik dan tidak ada publikasi juga tunda dulu pencatatan sipil pernikahan kita. Setidaknya sampai dua tahun." Hanya itu syaratku.Elgar mengerutkan keningnya. Aku tahu dia pasti merasa aneh dengan permintaanku. Tidak ada wanita yang mau dinikahi siri (Nikah secara agama) kecuali istri kedua atau hamil di luar nikah."Pekerjaanku tidak mengizinkan kami menikah sampai lima tahun dan Saat ini baru menginjak tahun ketiga." Elgar mengangguk. "Deal." Pria berhidung mancung bak perosotan anak TK itu langsung mengulurkan
Akan lebih baik jika pria angkuh itu tidak tahu keberadaanku! Jadi, kuhiraukan pesan asisten Elgar itu.Untungnya, tak ada lagi gangguan dari keduanya. Bahkan saat aku dan timku akhirnya sampai di negara yang terkenal dengan keindahan bunga sakuranya itu. Negara dimana tugas pertamaku dulu saat masih menjadi junior. Banyak pelajaran dan ilmu yang aku dapatkan di sini. Aku dan Ardi juga menyelesaikan S2 kami di negara ini, dua tahun yang lalu. Di negara ini aku seperti mengulang kenangan lama saat pertama kali mengenal Nathan, senior angkuh dan dingin yang omongan sepedas cabe gunung Bromo. Namun setelah mengenalnya lebih dekat, aku tahu sikap tegas adalah bentuk dari rasa peduli dan perhatiannya. "Minum obatmu," bisik Nathan sambil menyerahkan sebutir pil berwarna putih. Kuurai senyum tipis dan segera menuruti perintahnya. Jangan salah sangka, semua perhatian Nathan bukan karena dia mencintaiku melainkan karena rasa bersalah atas sebuah insiden yang terjadi dua tahun yang lalu. Da
"Sepertinya aku lupa belum minum obat." Aku berlari masuk ke dalam kamar. Tak lupa menguncinya dari dalam, takut salah satu dari trio kepo itu menyusul dan menerobos masuk. Kuhela nafas panjang berulang kali untuk menetralkan degup jantungku yang terasa berlompatan karena perbuatan Putra. Dag... dig... dug..... Detak jantungku masih bersahutan bak genderang perang. Namun tak menghentikan jemariku menari lincah diatas layar ponsel. Menulis pesan pada asisten pribadi pria sombong itu. [Putra, apa kamu mengirimkan paket untukku?]Perasaan panik membuatku tak tenang. Sambil berjalan mondar mandir aku menunggu balasan dari Putra. Ting..... Sebuah pesan masuk.[Iya, Nona Ashilla. Saya mengirim sebuah paket atas perintah Tuan Elgar,] balasnya. Kuhela nafas untuk menahan emosi yang tiba-tiba memenuhi dadaku. 'Tenang Shila....Tenang! Jaga emosimu.....'[Untuk apa? Bukankah sudah ada perjanjian, kami tidak akan berinteraksi. Aku dengan hidupku, dia dengan hidupnya.] Apa si Elgar itu lupa
Untungnya, aku tak melihat sosok yang mirip Putra itu lagi. Bahkan, tiga hari berturutu-turut. Jadi, kusimpulkan bahwa aku salah lihat!Oleh sebab itu, selama free, aku memutuskan mengitari kota Frankfurt, salah satu kota metropolitan di Jerman dan pusat bank besar Tak lupa, aku mampir ke jembatan cinta, jembatan yang dipenuhi gembok yang bertuliskan nama pasangan kekasih. "Konon katanya, jika menuliskan nama pasangan masing-masing pada gembok yang di kunci dan kuncinya dibuang ke sungai maka hubungannya akan langgeng selamanya!" Ucapan Ardi membuatku menuliskan inisial namaku dan Devon pada gembok, menguncinya, kemudian membuang kuncinya ke sungai. Ya, Devon Darius Admaja adalah kekasihku yang katanya telah meninggal karena kecelakaan di Belanda. Namun, aku tak percaya sebelum kulihat sendiri makamnya. Selama itu, aku akan tetap menganggapnya masih hidup. Tak peduli orang-orang menganggapku gila atau sakit jiwa. Kusematkan foto gembong bertuliskan inisial A dan D di sosmed deng
"Benar! Teman-teman ini, Kak Elgar yang sudah kuanggap seperti saudarku sendiri," ucap Veronika, "Oh, iya dia kakak dari almarhum sahabatku, Eliza." Kupasang senyum pura-pura ramah saat Elgar menatapku dengan satu alis terangkat. Tatapannya beralih pada tangan kananku yang ada diatas meja dan entah sejak kapan sudah digenggam oleh Nathan. Aku dan Nathan sangat dekat dan terbiasa bergandengan tangan. Sangking biasanya aku sampai tak pernah merasa risih saat Nathan memegang tanganku. Kurasakan genggaman tangan Nathan mengerat. Seolah menunjukkan kami memiliki hubungan. Itu selalu Nathan lakukan untuk melindungiku dari tatapan dan niat buruk pria hidung belang. "Aku akan mentraktir kalian, pesan minuman lagi." Elgar memanggil pelayanan dan memesan beberapa makanan dan minuman berwarna merah yang tentu saja mahal dan memabukkan. "Silahkan," Elgar mengangkat gelasnya. Hanya Gerald dan Veronika saja yang menerima ajakan minum itu. "Kalian tidak minum?" tanya Elgar berlagak bingung. C