Entah dari mana keberanian ini datang, kuangkat pakaian yang sudah berlumuran cairan berwarna merah itu dengan tangan hingga terlihatlah selembar kertas yang bertuliskan kata ajimat."Belum terlambat untuk membatalkan. Jika kau nekat, bersiaplah akan prahara yang menerpa pernikahanmu!"Deg.Kutarik napas panjang mengusir segala rasa tak mengenakkan yang tiba-tiba menerpa jiwa. Apa ini semua kerjaannya mantan istri Dokter Radit? Jika ia, sungguh keterlaluan!"Mempelai pria sudah sampai."Samar suara itu terdengar di luar kamar. Aku bergerak bangkit menuju jendela kamar. Kusingkirkan sejenak perkara kado tak berperikemanusiaan itu. Siapapun di balik semua ini, In Syaa Allah kupastikan tidak akan menggagalkan pernikahanku dengan Dokter Radit hari ini. Kini mata terfokus pada beberapa orang yang tampak keluar dari pagar rumah Dokter Radit. Ada Dokter Ahda, Dokter Fahri, Mas Wira, Pak Toni juga Kang Bayu. Setahuku mereka semua adalah orang rumah sakit. Mereka kini memasuki pagar rumahku.
[Selamat menempuh hidup baru, semoga samawa.]Satu-satu kubaca pesan yang dikirimkan oleh sahabat seangkatan digrup WhatsApp IDAI cabang Jakarta. Ada puluhan pesan lain yang belum semuanya kubaca mengingat jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Saatnya pulang ke rumah istri kedua. Alya.Walau rumah kami bersebelahan, tapi aku pulang layaknya suami lain di seluruh dunia. Tentu dengan membawa sesuatu sebagai buah tangan. Alhamdulillah, empat porsi Burrito, makanan asal Meksiko kini sudah ada di tangan. Entah kenapa rasa deg-degan yang membarengi, melebihi rasa yang pernah dulu kualami, saat akan menghadapi malam pertama bersama Rani.Kubuka pintu kamar, lalu berjalan menuju kamar Mama. "Radit mau pulang ke rumah Alya, Ma."Ibunda yang sangat kucintai itu tersenyum menyambut permintaanku."Yasudah, Mama kira sudah daritadi kamu pulang, ternyata masih di sini. Yowes cepat pulang sana, pasti dia udah lelah nungguin kamu."Kuciumi punggung tangan wanita itu, lalu dengan
POV AlyaMataku terbuka perlahan, meski samar, namun kedua netra ini bisa memandangi seluruh kamar yang sudah tak lagi dalam keadaan gelap. Kugerakkan kepala melirik ke samping. Seingat tadi aku dan dirinya baru saja merebahkan diri di atas ranjang saat listrik padam. Tapi, kemana dia sekarang? Apa sudah berada di rumah sakit.Berbagai pertanyaan melintas lalu di dalam benak. Tersingkirkan sejenak saat terdengar deru mobil keluar dari halaman rumah Mas Radit. Lekas kugerakkan tubuh menghampiri jendela kamar. Memastikan apakah benar itu Mas Radit yang baru saja pergi?Kududukkan diri di atas kursi rias. Ternyata dia baru saja pergi, padahal seharusnya 'kan tadi jam setengah sebelas. Apa dia juga tertidur?Tak mau berlama-lama dengan rasa penasaran. Kugerakkan kembali tubuh ingin rebah di atas ranjang, namun gerakan tangan ini berhasil menjatuhkan sesuatu yang tadinya ada di atas meja.Selembar kertas yang terlipat. Dari Mas Raditkah?"Mas ijin ke rumah sakit ya, Yang. Sudah tiga kali
Kedatanganku di kamar ibu mertua disambut oleh seorang wanita cantik yang terlihat seperti tukang pijat. Dia menyerahkan sebuah pakaian dan memintaku memakainya."Sebenarnya sama mau diapain, Mbak?"Wanita itu tersenyum ramah sambil menjawab,"Saya ditugaskan untuk memijat sekalian melulur tubuh Mbak Alya oleh Ibundanya Dokter Radit. Monggo Mbak, diganti pakaiannya."Benar-benar tak menyangka ternyata inilah sebagian dari ritual yang diharuskan untuk kujalani oleh Mama mertua. Segera aku mengganti pakaian, lalu tidur terlentang di atas sebuah ambal. Pelan, wanita cantik itu mulai memijat tubuh ini. Mulai dari kepala sampai mata kaki.Kalau dipikir-pikir, perlakuan seperti ini memang sangat-sangat kubutuhkan. Setidaknya tubuh yang memang begitu lelah dengan berbagai pikiran selama ini bisa kembali segar oleh sepuluh jemari tukang pijat.Usai memijat, wanita tadi mulai melaburi tubuhku dengan lulur bengkoang yang dicampur air mawar. Terasa begitu menyejukkan hingga tak terasa mata ini t
Mas Radit mengusap wajahnya seraya menarik napas. Sedang di sini, jiwaku serasa dihantum keras. Perasaan bersalah juga berdosa. Ya Allah, aku harus bagaimana?Kubenamkan wajah di balik selimut. Isak kutahan sekuat tenaga sambil membekap wajah. Pelan, kurasa ada yang menyentuh tubuh ini."Yang ...."Mas Radit menarik selimut hingga wajahku terlihat olehnya. "Coba lihat saya."Kuangkat wajah seperti permintaan."Kamu mengingatnya?"Kuanggukkan kepala."Wajar, dan saya tidak bisa melarangnya. Karena ingatan itu tidak seperti tulisan di selembar kertas yang tak bisa dihapus dengan mudah. Tapi bisakah kamu memposisikannya sebagai kenangan dan menatap Mas sebagai masa depanmu?"Sejenak bibir ini kelu, tak ada kata yang mampu keluar."Silahkan saja jika kamu terus merinduinya. Tapi sisakan pula sebagian rindu itu untuk saya yang kini menjadi masa depanmu?"Tangisku terhenti, ada yang menusuk dada dengan kuat. Aku berdosa pada lelaki ini, bagaimana caraku meminta maaf?"Maafkan saya, Mas?"
Aku mengatur degup di dada, ucapan mantan istri Mas Radit barusan terdengar seperti sebuah ancaman di telingaku. Padahal ia hanya mengandaikan. Tapi mungkin aku yang terlalu ketakutan. Ya, aku takut jika hal yang pernah terjadi dahulu pada pernikahan pertama, terjadi kembali pada pernikahan kedua ini.Sekuat tenaga kucoba menenangkan diri."Yang sudah berlalu jangan diingat terus Mbak. Tapi jadikan sebagai pembelajaran agar ke depan hal serupa tidak terjadi kembali.""Iya Al, maaf saya jadi curhat sama kamu. Saya pikir dengan berbagi akan sedikit mengurangi beban yang terus menggangu jiwa ini. Dan sekiranya, tidak ada satupun sahabat selama ini yang bisa kupercaya. Mereka semua mengkhianatiku. Termasuk Resty. Dia ular berkepala dua, kamu harus hati-hati Al. Tapi dari semuanya, aku bersyukur Mas Radit menolaknya. Lelaki sebaik Mas Radit tidak layak untul seorang Resty, perawan tua!"Entah kenapa di pertemuan ini, aku melihat sisi lain dari seorang Rany. Aku mengira dia tidak seperti in
Dada ini begitu bergemuruh, rasanya tak sabar ingin menyelesaikannya dengan Mas Radit. Kucoba menarik napas lalu mengatur degup jantung akan tak menyentak terlalu kuat. Hingga Mas Radit keluar dari kamar mandi, sesak ini masih begitu terasa. Lelaki itu kembali mendekati ranjang dan memakai pakaian yang sudah kusediakan. Sengaja diri ini terus menatap ponsel tanpa memandanginya.Setelah selesai,"Lihat apa daritadi sibuk aja sama gawai Mas?"Aku menoleh, lalu memperlihatkan foto yang kutemukan di ponselnya."Ini apa, Mas?""Oh itu, tadi Rany ke rumah sakit ada keperluan katanya. Terus karena udah lama nggak ketemu, teman-teman ajak makan bareng.""Terus kalau makannya bareng-bareng, kenapa yang nampak di foto itu cuma Mas sama Rany? Harusnya kan ramai-ramai?""Itu mereka sengaja, Sayang. Mereka minta bukti kalau Mas dan Rany sudah tidak lagi memendam amarah. Salah satu cara dengan duduk di foto berdua tanpa orang lain.""Emang selama ini Mas marahan sama Rany?""Ya nggak juga.""Teru
Dadaku naik turun menarik dan membuang napas. Sungguh hina, siapapun yang sudah melakukan hal ini padaku. Beraninya main belakang, jika suka sama Mas Radit kenapa tidak mengatakan lalu meminta dinikahi?Kenapa mengganggu setelah akan dan jadi milikku.Sejenak tersingkirkan pikiran yang sedari tadi terus mengingat almarhum. Suamiku menjadi sumber kekhawatiranku kini.Ya Allah, jangan sampai ada apa-apa pada pernikahan kami ini.Dengan langkah pasti aku menuruni tangga, hingga sampai pada gundakan terakhir. Aku seperti mendengar suara orang berbisik yang berasal dari ruang tamu. Padahal ruangan itu gelap sebab lampunya rusak.Kusingkirkan rasa takut, lalu meneruskan langkah perlahan. Sedikit kusembunyikan tubuh di belakang tembok.[Iya, beres. Tenang aja, semua aman