POV AlyaMataku terbuka perlahan, meski samar, namun kedua netra ini bisa memandangi seluruh kamar yang sudah tak lagi dalam keadaan gelap. Kugerakkan kepala melirik ke samping. Seingat tadi aku dan dirinya baru saja merebahkan diri di atas ranjang saat listrik padam. Tapi, kemana dia sekarang? Apa sudah berada di rumah sakit.Berbagai pertanyaan melintas lalu di dalam benak. Tersingkirkan sejenak saat terdengar deru mobil keluar dari halaman rumah Mas Radit. Lekas kugerakkan tubuh menghampiri jendela kamar. Memastikan apakah benar itu Mas Radit yang baru saja pergi?Kududukkan diri di atas kursi rias. Ternyata dia baru saja pergi, padahal seharusnya 'kan tadi jam setengah sebelas. Apa dia juga tertidur?Tak mau berlama-lama dengan rasa penasaran. Kugerakkan kembali tubuh ingin rebah di atas ranjang, namun gerakan tangan ini berhasil menjatuhkan sesuatu yang tadinya ada di atas meja.Selembar kertas yang terlipat. Dari Mas Raditkah?"Mas ijin ke rumah sakit ya, Yang. Sudah tiga kali
Kedatanganku di kamar ibu mertua disambut oleh seorang wanita cantik yang terlihat seperti tukang pijat. Dia menyerahkan sebuah pakaian dan memintaku memakainya."Sebenarnya sama mau diapain, Mbak?"Wanita itu tersenyum ramah sambil menjawab,"Saya ditugaskan untuk memijat sekalian melulur tubuh Mbak Alya oleh Ibundanya Dokter Radit. Monggo Mbak, diganti pakaiannya."Benar-benar tak menyangka ternyata inilah sebagian dari ritual yang diharuskan untuk kujalani oleh Mama mertua. Segera aku mengganti pakaian, lalu tidur terlentang di atas sebuah ambal. Pelan, wanita cantik itu mulai memijat tubuh ini. Mulai dari kepala sampai mata kaki.Kalau dipikir-pikir, perlakuan seperti ini memang sangat-sangat kubutuhkan. Setidaknya tubuh yang memang begitu lelah dengan berbagai pikiran selama ini bisa kembali segar oleh sepuluh jemari tukang pijat.Usai memijat, wanita tadi mulai melaburi tubuhku dengan lulur bengkoang yang dicampur air mawar. Terasa begitu menyejukkan hingga tak terasa mata ini t
Mas Radit mengusap wajahnya seraya menarik napas. Sedang di sini, jiwaku serasa dihantum keras. Perasaan bersalah juga berdosa. Ya Allah, aku harus bagaimana?Kubenamkan wajah di balik selimut. Isak kutahan sekuat tenaga sambil membekap wajah. Pelan, kurasa ada yang menyentuh tubuh ini."Yang ...."Mas Radit menarik selimut hingga wajahku terlihat olehnya. "Coba lihat saya."Kuangkat wajah seperti permintaan."Kamu mengingatnya?"Kuanggukkan kepala."Wajar, dan saya tidak bisa melarangnya. Karena ingatan itu tidak seperti tulisan di selembar kertas yang tak bisa dihapus dengan mudah. Tapi bisakah kamu memposisikannya sebagai kenangan dan menatap Mas sebagai masa depanmu?"Sejenak bibir ini kelu, tak ada kata yang mampu keluar."Silahkan saja jika kamu terus merinduinya. Tapi sisakan pula sebagian rindu itu untuk saya yang kini menjadi masa depanmu?"Tangisku terhenti, ada yang menusuk dada dengan kuat. Aku berdosa pada lelaki ini, bagaimana caraku meminta maaf?"Maafkan saya, Mas?"
Aku mengatur degup di dada, ucapan mantan istri Mas Radit barusan terdengar seperti sebuah ancaman di telingaku. Padahal ia hanya mengandaikan. Tapi mungkin aku yang terlalu ketakutan. Ya, aku takut jika hal yang pernah terjadi dahulu pada pernikahan pertama, terjadi kembali pada pernikahan kedua ini.Sekuat tenaga kucoba menenangkan diri."Yang sudah berlalu jangan diingat terus Mbak. Tapi jadikan sebagai pembelajaran agar ke depan hal serupa tidak terjadi kembali.""Iya Al, maaf saya jadi curhat sama kamu. Saya pikir dengan berbagi akan sedikit mengurangi beban yang terus menggangu jiwa ini. Dan sekiranya, tidak ada satupun sahabat selama ini yang bisa kupercaya. Mereka semua mengkhianatiku. Termasuk Resty. Dia ular berkepala dua, kamu harus hati-hati Al. Tapi dari semuanya, aku bersyukur Mas Radit menolaknya. Lelaki sebaik Mas Radit tidak layak untul seorang Resty, perawan tua!"Entah kenapa di pertemuan ini, aku melihat sisi lain dari seorang Rany. Aku mengira dia tidak seperti in
Dada ini begitu bergemuruh, rasanya tak sabar ingin menyelesaikannya dengan Mas Radit. Kucoba menarik napas lalu mengatur degup jantung akan tak menyentak terlalu kuat. Hingga Mas Radit keluar dari kamar mandi, sesak ini masih begitu terasa. Lelaki itu kembali mendekati ranjang dan memakai pakaian yang sudah kusediakan. Sengaja diri ini terus menatap ponsel tanpa memandanginya.Setelah selesai,"Lihat apa daritadi sibuk aja sama gawai Mas?"Aku menoleh, lalu memperlihatkan foto yang kutemukan di ponselnya."Ini apa, Mas?""Oh itu, tadi Rany ke rumah sakit ada keperluan katanya. Terus karena udah lama nggak ketemu, teman-teman ajak makan bareng.""Terus kalau makannya bareng-bareng, kenapa yang nampak di foto itu cuma Mas sama Rany? Harusnya kan ramai-ramai?""Itu mereka sengaja, Sayang. Mereka minta bukti kalau Mas dan Rany sudah tidak lagi memendam amarah. Salah satu cara dengan duduk di foto berdua tanpa orang lain.""Emang selama ini Mas marahan sama Rany?""Ya nggak juga.""Teru
Dadaku naik turun menarik dan membuang napas. Sungguh hina, siapapun yang sudah melakukan hal ini padaku. Beraninya main belakang, jika suka sama Mas Radit kenapa tidak mengatakan lalu meminta dinikahi?Kenapa mengganggu setelah akan dan jadi milikku.Sejenak tersingkirkan pikiran yang sedari tadi terus mengingat almarhum. Suamiku menjadi sumber kekhawatiranku kini.Ya Allah, jangan sampai ada apa-apa pada pernikahan kami ini.Dengan langkah pasti aku menuruni tangga, hingga sampai pada gundakan terakhir. Aku seperti mendengar suara orang berbisik yang berasal dari ruang tamu. Padahal ruangan itu gelap sebab lampunya rusak.Kusingkirkan rasa takut, lalu meneruskan langkah perlahan. Sedikit kusembunyikan tubuh di belakang tembok.[Iya, beres. Tenang aja, semua aman
Mas Radit sudah terlihat menawan dalam balutan jas dokternya. Dia hanya memintaku memasangkan kancing baju, itupun dalam keadaan buru-buru. Entah kenapa Maryam pagi ini sedikit rewel. Lelaki itu mengecup sekilas kening ini lalu beralih menatap si bungsu."Anak Ayah jangan rewel-rewel ya, biar Mama nggak capek," ucap Mas Radit sembari hendak meletakkan kembali Maryam di atas ranjang setelah sejenak menggendong. Tapi bayi mungil itu malah menangis semakin menjadi.Belum pernah Maryam menangis sedemikian kencang. Biasa merengek sedikit, begitu dikasih ASI langsung terdiam. Namun pagi ini, ASI pun ia tolak.Mas Radit terpaksa mengulur kembaki waktunya ke rumah sakit. "Ada apa, Nak? Nggak mau sama Mama, ya? Tapi Ayah mau kerja ini. Gimana?"Mas Radit kembali menggendong Maryam. Bayi itu kini berhenti menangis, hanya bersisa isakan."Coba ambil temperatur yang ada dalam kotak P3K. Kayaknya badan Maryam sedikit hangat, Yang."Lekas kulakukan permintaannya. Mas Radit kini meletakkan benda i
"Ika?"Mataku membelalak menyaksikan siapa yang kini ada di hadapan."Dokter Ika yang sudah nolongin kamu, Al."Ucapan Mas Radit membuat napas ini terhela.Ternyata, Allah kembali mempertemukan kami, setelah sekian tahun. Aku memang sudah sepenuhnya memaafkan semua ulahnya di masa lalu, tapi ketika melihat dia lagi, tetap saja ada debar aneh di dada."Terima kasih Mbak sudah membantu saya.""Tidak usah sungkan, Al. Alhamdulillah kamu sudah sadarkan diri.""Saya panggil dokter dulu ya, untuk memeriksa keadaan kamu."Mas Radit berpamitan keluar, hanya tinggal kami berdua di ruangan ini. Ika semakin mendekatkan langkah."Selamat ya Al, atas pernikahanmu. Saya pikir kamu tidak sepenuhnya kehilangan Mas Radit, sebab Allah mengirimmu lelaki serupa Mas Radit sebagai pengganti."Aku menghela napas, kuanggukan ucapannya. Entah kenapa aku merasa diapun masih mencintai almarhum Mas Radit. Semoga saja hanya perkiraanku saja."Mbak hamil lagi?""Iya, setelah keguguran kemarin. Alhamdulillah kini s