Bagas galau sekali di kamarnya. Saat jauh dari istri, memang rasanya sangat gundah. Pikiran Bagas mulai keruh. Dia berpikir apakah Delisa memiliki pria idaman lain, padahal saat video call tadi nyata-nyata dia lihat Delisa bersama dengan keluarganya. "Huh, kenapa sih dia nggak mau pulang? Rumah udah aku bersihkan capek-capek, ternyata Delisa malah nggak pulang! Ck, aku ini suaminya, tapi kok rasanya malah nggak bisa ngatur istri, ya?" gumam Bagas sendiri. Malam itu, dia gelisah tidak bisa memejamkan kedua matanya. Berpikir macam-macam. Bagas merasa sendirian itu tidak enak. Biasanya saat masih bersama dengan Anita, dia malah bisa tidur nyenyak. Tidak terganggu sama sekali dengan tangisan Cia jika dia sudah terlelap. Bagas mulai mendesah. Rasanya aman sekali jika ada Anita di rumah itu. Berpikiran demikian membuat Bagas tersentak. Dia mendengkus dengan pikirannya sendiri. "Apa sih? Wanita itu kan nggak ada pentingnya dalam hidupku! Si Buruk Rupa pergi, Putri Raja datang. Apa yang ha
Anita lari berbalik menuju ke kamar mandi. Bertemu dengan Rahma di tengah larinya. Samar dia mendengar sungutan Rahma yang mengomel. "Udah dibilang suruh mandi juga, ngeyel," desis Rahma. Anita tidak lagi memperhatikan ucapan ibunya yang membawa nampan berisi teh dan keripik. Sementara Cia sedang digendong oleh Bik Dariyah. Bayi kecil itu sudah mengeluarkan suara bermaksud memanggil ibunya, tapi belum jelas. "Calonnya Mbak Anita ganteng lho," celetuk Bik Dariyah. Agak kewalahan mengatasi Cia yang mengulurkan tangan ke ibunya, lalu menangis karena Anita hanya mendengkus atas ucapan Bik Dariyah, lalu mencium pipinya dan masuk ke kamar mandi. Aneh sekali memang. Dibilang calon, tapi kenapa aneh sekali? Namun, Kendra memang akan menikahinya jika rencana itu berjalan lancar. Menikah? Anita malah jadi menduga-duga buruk tentang kedatangan Kendra. "Cup, cup. Cia sayang, sama bibik dulu ya? Mama lagi mandi, nanti Cia dikasih papa baru sama mama," rayu Bik Dar, membawa Cia ke ruang tamu.
Hari Senin itu, Anita memakai setelan baju olahraga berwarna biru dengan rambut dikuncir kuda, untuk jalan bersama Kendra. Sebenarnya agak bingung juga kenapa Kendra mengajaknya jalan-jalan pagi. "Arah ke mana?" tanya Kendra. "Ke taman aja. Di sana Cia bisa nyaman karena jauh dari keramaian." Kendra mengulas senyum. Dia mengangguk. Mobil dia titipkan di depan rumah Anita, lalu mereka bertiga berangkat dari rumah. "Sini, aku dorongkan," ujar Kendra mengambil alih pegangan stroller untuk dia dorong. Anita menyerahkan pegangannya ke Kendra, lalu dia berjalan melenggang, terkadang menggoda Cia di depannya. Cia yang sudah bisa merespon, tergelak dengan kelakuan ibunya. Bayi itu tidak sadar siapa yang mendorong stroller, yang dia tahu hanyalah ibunya bersamanya. Tidak hanya Cia, Kendra mengulum senyum melihat kelakuan Anita. Sebenarnya Kendra mengajak Anita pergi hanyalah untuk menghindar dari sikap ibunya yang terus mencecar dengan berbagai pertanyaan tentang Anita. Dia sumpek di rum
Bagas hanya duduk di ruang tamu, menunggu dengan perut kosong. Harapannya bisa makan bersama dengan mertuanya, tapi kenyataannya malah berbeda. Dia dianggurkan di ruang tamu. Bagas mencoba bersabar. Sampai tiga puluh menitan dia menunggu, tapi semua keluarga belum juga keluar. "Ini pada makan apa? Batu kali apa kelereng? Kenapa begitu lama? Apa mereka makan dengan manner ala restoran?" gumam Bagas. Bagas berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Sesekali dia duduk dengan gelisah. Nyaris dia menyerah dan memilih pulang, tapi Delisa sudah berdiri di antara ruang tamu dan ruang tengah. "Maaf, menunggu lama," sambut Delisa. Suara Delisa memang halus dan tidak terdengar kasar mengajak ribut, tapi dalam dada Bagas bergemuruh meski sehalus apapun suara Delisa. Pasalnya, dia seperti tidak dianggap sebagai seorang suami. "Aku mau bicara, Sa." Suara penuh tekanan dan berat beban itu meluncur dari mulut Bagas. Mati-matian dia menahan emosinya yang bisa sewaktu-waktu meledak karena merasa diab
Anita menyuapi dirinya sendiri dengan bubur yang dibawakan oleh Kendra. Mereka berdua makan sambil duduk di atas rerumputan. "Kamu nggak risih duduk di bawah sini?" tanya Anita sambil usai menelan buburnya. Kendra menoleh ke Anita dan terkekeh. "Risih kenapa? Manusia asalnya dari tanah kan? Nantinya juga pulang ke tanah. Rerumputan malah berada di atas tanah," sahut Kendra, merasakan segarnya rumput yang bersemi di musim hujan itu. Apalagi, mereka sekarang berada di bawah pohon besar dan teduh. Cia tertidur pulas di dalam strollernya. Nikmat sekali merasakan segarnya angin sepoi-sepoi di taman itu. Anita tersenyum mendengar sahutan Kendra. Rumah Kendra besar dan mewah untuk ukurannya. Tambah juga Kendra memiliki posisi tinggi di perusahaannya, tapi dia kagum pada kata-kata yang diucapkan oleh Kendra. Dia selalu merendah. Bahkan, mungkin orang-orang tidak tahu bahwa pria yang duduk di atas rumput itu adalah seorang pemilik sebuah perusahaan. "Kamu seharusnya bisa sombong dengan a
"Ambilkan nasi dan sayurnya buat Kendra, Nita," titah Rahma saat mereka sudah berada di ruang makan. "Eh, saya bisa ambil sendiri kok, Tante." Kendra meraih sendok nasi, segera mengambil nasi dan sayurnya sendiri. Rahma memperhatikan Kendra yang melakukannya secara mandiri. Anita juga bengong melihat itu. Kendra menatap keduanya dengan tidak mengerti. "Eh, kamu mandiri sekali, Kendra." Rahma takjub dengan pria macam Kendra. Kendra hanya tersenyum. Meski kaya, tapi sedari kecil dia selalu diajari soal kemandirian. Jadi dari kecil dia selalu melakukan hal-hal yang diremehkan lelaki, seperti mencuci piring. "Ya udah, aku ambilkan sayurnya aja," sahut Anita. Tangannya langsung mengambilkan sayur untuk Kendra yang menyodorkan piring berisi nasinya. Rahma melihat itu seraya tersenyum-senyum. Begitulah yang dia ingin lihat dari rumah tangga anaknya. Selama ini, dia belum pernah melihat pemandangan harmonis di rumah tangga Anita. Makan di rumahnya saja Bagas tidak pernah, apalagi meliha
Bagas tidak menyahut lagi. Sebagai seorang lelaki, dia tidak ingin banyak berdebat. Selama ini, dengan Anita juga begitu. Jika ada sesuatu yang salah menurutnya, maka Anita hanya diam menurut. Isti memandangnya dengan pandangan aneh, mulutnya komat-kamit mengomeli Bagas yang ternyata di luar ekspektasinya. Bagas berjalan ke warung sore itu. Jarang, bahkan tidak pernah dia pergi ke warung setelah menikah dengan Anita. Karena itu, semua orang menatapnya dengan heran. Termasuk pemilik warung. "Oh, Mas Bagas. Kok tumben?" tanyanya. "Iya, mau beli beras dua kilo, Bu. Sama ayam sekilo aja," ujar Bagas tanpa menunggu pertanyaan lain dari mulut pemilik warung. "Oh, baik, Mas. Dua kilo, ya? Tumben banyak? Ada tamu, kah?" cecar pemilik warung.Bagas memutar kedua bola matanya. Kenapa orang-orang selalu mengurusi urusan orang lain? Dia malas sekali. Andai dia tahu akan jadi seperti itu, dia memilih berbelanja ke supermarket saja. Namun, dengan pertanyaan itu, dia penasaran juga bagaimana k
"Oh, jadi kayak gitu. Menuntut cerai, lalu dengan cepat gandeng dengan pria lain. Kamu, lelaki yang waktu itu, kan?" Kendra dan Anita menoleh ke sumber suara. Di sana, berdirilah Bagas yang sedang memakai baju kerjanya. Bagas hendak bertemu dengan klien di sebuah hotel dekat dengan taman, tapi saat berjalan dia melihat sepasang pria dan wanita sedang asyik di dalam taman. Semula, dia mendapat tempat parkir jauh dari hotel hingga harus membuatnya berjalan melintasi taman. Malahan, dia melihat pemandangan di dalam taman. Hati Anita masih bergetar saat melihat Bagas. Dia ingin menggelengkan kepala, tapi Kendra sudah berjalan menjauh, untuk mendekati Bagas. Anita menjadi gelisah melihat itu. "Kalo iya, kenapa?" tanya Kendra. Dua lelaki itu sekarang berdiri berhadapan. Bagas meletakkan kedua tangan di pinggang, tapi Kendra memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan santai. "Kamu tau etika, nggak? Dia itu belum cerai. Kenapa kalian berduaan di sini?" tanya Bagas, menunjuk d