"Habib...."
Mata kami terpana melihat Anan berdiri di depan panggung. Wajah teduhnya mengguratkan kekecewaan. Para repoter langsung menyorotkan kamera ke wajah Anan.
Sepuluh tahun telah berlalu, hati Ayi merasa iba melihat lelaki yang dulu sangat ia cintai kini menjadi sosok tak berdaya. Penampilan Anan sedikit berantakkan dari biasanya. Wajah kusut, mata yang merah serta raut wajahnya yang sendu menggambarkan penyesalan.
Matanya yang redup tak bercahaya menatap sayu pada Ayi dan Habib, juga Ustaz Rahman yang berbahagia menerima piala dan piagam dari wakil gubenur. Jelas tergambar dari raut wajah Anan kalau dia kecewa, mengapa bukan namanya yang disebut Habib, saat mendampingi menerima piala penghargaan atas juara perlombaan MTQ sepropinsi.
"Ayah," panggil Habib lirih.
Suara tepuk tangan meriah dari penonton yang menyaksikan Habib, mengalahkan suara
"Bunda...."Nara menangis sembari memanggil bundanya yang masih tak bergeming. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi telah menabrak Ayi yang sedang menyebrang jalan.Para warga yang melihat kejadian langsung berkerumun ingin menolong."Kita bawa korban ke rumah sakit saja langsung, Pak," ucap salah satu pria bertubuh kurus.Ustaz Rahman segera meminta bantuan para warga untuk membantu mengangkat Ayi, masuk dalam mobil taksi online yang tadi ia tumpangi."Bapak-Bapak, semua tolong bantu saya mengangkat tubuh istri saya untuk masuk ke dalam mobil," titah Ustaz Rahman.Beberapa warga menolong dengan sergap membantu Ustaz Rahman menggotong tubuh Ayi masuk dalam mobil.Tubuh Ayi di baringkan dalam mobil. Ustaz Rahman membaringkan kepalanya diatas pangkuannya. Habib dan Nara berpindah tempat duduk didepan. Ustaz Rahman membelai lembu
"Bunda," teriak Habib dan Nara serentak.Tubuhku jatuh ke lantai keramik berwarna putih. Aku lupa kalau sekarang sudah lumpuh. Bumi tempatku berpijak seperti akan runtuh.Aku seperti manusia yang tak berguna melihat kondisiku yang memperihatinkan."Bunda, kaki bunda kenapa? Kok, Bunda gak bisa jalan?" tanya Habib sedih.Ada raut kawatir di wajahnya."Kaki, Bunda lumpuh, Nak. Bunda, tidak bisa berjalan lagi sekarang," jawabku lirih.Seketika Habib dan Nara menangis memelukku."Bunda, gak bisa jalan, ya?" tanya Nara polos. Biar Adik saja yang bantu bunda kalau mau berjalan," ucapan Nara seketika membuatku melelehkan air mata.Aku hanya bisa menunduk. Kedua anakku begitu memperhatikanku dengan penuh cinta."Tidak, Nak. Bunda, akan belajar bagaimana cara mennggunakan tongkat biar tidak merepotkan siapa pun," tuturku dengan suara rendah.&n
Hening. Tak sepatah kata pun kalimat keluar dari bibir Mas Rahman.Seketika ia memelukku dari belakang dan merangkul pinggangku."Tidurlah, Ay! Hari sudah larut malam," bisiknya di telinagku.Seketika jantungku berdetak dengan cepat. Hawa panas menyapu tengkukku dari hembusan nafas Mas Rahman."Iya, Mas," jawabku.Mas Rahman mendekapku dalam pelukkannya. Wajah kami saling berhadapan nyaris tidak ada jarak. Aku bisa melihat wajah tampannya tanpa cela. Kulit yang putih, hidung mancung dan bulu mata yang lebat, juga alisnya yang tebal begitu sempurna dimataku. Kupandangi wajah tampannya tanpa sepengatuhuan dirinya. Mata Mas Rahman sudah memejam, tapi aku masih hanyut menikmati mahluk ciptan-Nya."Aku tahu, aku sangat tampan. Jangan terlalu lama memandangku, nanti matamu bisa kelilipan karena tidak berkedip," ucapnya de
"Asalamualaikum," ucap wanita itu begitu menginjakkan kaki di ruang keluarga.Senyuman indah terulas di bibirnya yang berlipstik merah muda. Memancarkan aura kecantikkan, layaknya wanita yang anggun dan elegan."Waalaikumsalam."Semua orang yang ada di dalam pun menjawab salamnya dan menoleh ke arah pintu masuk ruang keluarga."Nur Azizah!" seru umi menyambut gadis muda berbaju gamis warna hijau tua.Seulas senyum jelas mengembang dari bibirnya yang tipis."Apa kabar Umi?" tanyanya sembari memeluk umi.Lantas Umi membalas pelukkan gadis yang bernama Nur Azizah sembari mengecup keningnya."Alhamdulillah baik, Nur," jawab UmiNur Azizah menyerahkan sebuah bingkisan yang dibawanya dalam peper bag kepada Umi. "Umi, ini ada titipan dari, Ibu buat Umi."Wajah Umi semingrah menerima bingkisan dari Nur Azizah. "Terimakasih, Nur. Jadi
"Asalamualaikum," ucap Mas Rahman saat masuk ke dalam rumah.Aku langsung menyambutnya dengan mencium tangannya."Dari mana, Mas?" tanyaku pura-pura tidak tahu.Mas tersenyum sembari mengecup keningku."Dari rumah pak kepdes," jawabnya berbohong.Entah sejak kapan suamiku tak jujur. Jelas-jelas umi mengatakan kalau ia sedang mengantar pulang Nur Azizah. Tapi, Mas Rahman berkilah dari rumah Pak Akbar kepala desa ini.Aku kecewa dengan jawaban Mas Rahman yang berbohong. Ataukah ia sengaja gak jujur agar aku tidak terluka. Yang pastinya aku merasa sakit hati, baru pertama kali Nur datang ke rumah suamiku sudah pandai berbohong menyembunyikan perasaannya."Pergi ke rumah pak kepdes, atau mengantar Nur pulang," sindirku.Mas Rahman menghentikan langkahnya seketika dan berbalik menoleh ke arahku."Maaf, Ay. Bukan maksudku untuk menyembuny
"Kau ....?!""Aku datang untuk memberi ucapan selamat atas prestasi yang diraih Habib, Mbak," ucap Nur Azizah mengulas senyum.Dengan terpaksa kuterima uluran tangannya yang memberi ucapan selamat. Gadis cantik yang memakai gamis coklat susu berbahan kain katun itu pun, membawakan sebuah bingkisan untuk Habib."Terimakasih, Nur," ucapku sembari menerima bingkisannya.Nur Azizah membawa sebuah bingkisan yang entah apa isinya aku tidak tahu."Aku membawakan bingkisan ini untuk Habib, Mbak. Isinya peralatan sekolah, tas, buku dan lain-lainnya," ujarnya menerangkan."Kamu gak perlu repot-repot membawakan hadiah buat Habib, Nur. Aku jadi gak enak sudah ngerepotin kamu.""Jangan bicara begitu, Mbak. Aku senang, kok melakukan ini."Nur berlalu dari hadapanku menuju ke ara
"Astagfirullah, Nara," teriakku histeris.Aku melihat Nara menangis menahan kesakitan karena kakinya tertimpa bubur panas. Umi memasak bubur karena diminta mas Rahman.Cepat-cepat kutarik Nara dan membersihkan tumpahan bubur yang menempel di kakinya. Bubur panas yang menumpah diatas kakinya masih terihat mengepulkan asap. Kaki Nara yang tertimpa bubur terlihat merah dan melepuh. Aku segera memcari obat salep di kotak p3k untuk mengobati luka bakar Nara."Sabar ya, Sayang. Bunda, akan mengobati lukamu agar tidak semakin melepuh. Tahan sedikit ya, Nak!" ucapku sembari mengoleskan salep luka bakar.Nara meringis kesakitan karena luka akibat terkena bubur panas terlihat memerah dan terasa perih.Aku tidak tahu terbuat dari apakah hati umi yang membiarkan anak sekecil ini membawa bubur yang masih panas sendiri. Mengapa hati keibuan yang ada dalam diri umi tidak ter
"Uhug ... uhug ...." Mas Rahman seketika tersedak dan terbatuk-batuk mendengar ucapan Umi Fatimah.Buru-buru ia menyambar gelas yang berisi air putih di hadapannya lalu, meminum tanpa jeda menandaskan isinya."Ayah, jangan tinggalin, Bunda! Kasihan, Bunda kalau ayah mau menikah lagi. Dulu Ayah Nara pergi karena memilih punya adik baru," ucap Nara polos.Seketika Nara berwajah masam dan menghentikan menyuap nasi ke dalam mulutnya.Umi hanya memandang Nara dengan tatapan sinis. Seakan tidak suka dengan keprotesan Nara sebagai penghalang hubungan Ma Rahman dengan Nur Azizah."Diamlah, Nara! Ini urusan oarang dewasa, anak kecil tidak boleh ikut campur masalah orang tua," hardik umi."Tapi, Nek ...." protes Nara."Cukup kata, Nenek!" tegas umi.Nada bicaranya sedikit meninggi."Umi, Nara hanyalah anak kecil. Jangan membentaknya dengan kata-kata kasar!" ucap M