"Asalamualaikum," ucap Mas Rahman saat masuk ke dalam rumah.
Aku langsung menyambutnya dengan mencium tangannya.
"Dari mana, Mas?" tanyaku pura-pura tidak tahu.
Mas tersenyum sembari mengecup keningku.
"Dari rumah pak kepdes," jawabnya berbohong.
Entah sejak kapan suamiku tak jujur. Jelas-jelas umi mengatakan kalau ia sedang mengantar pulang Nur Azizah. Tapi, Mas Rahman berkilah dari rumah Pak Akbar kepala desa ini.
Aku kecewa dengan jawaban Mas Rahman yang berbohong. Ataukah ia sengaja gak jujur agar aku tidak terluka. Yang pastinya aku merasa sakit hati, baru pertama kali Nur datang ke rumah suamiku sudah pandai berbohong menyembunyikan perasaannya.
"Pergi ke rumah pak kepdes, atau mengantar Nur pulang," sindirku.
Mas Rahman menghentikan langkahnya seketika dan berbalik menoleh ke arahku.
"Maaf, Ay. Bukan maksudku untuk menyembuny
"Kau ....?!""Aku datang untuk memberi ucapan selamat atas prestasi yang diraih Habib, Mbak," ucap Nur Azizah mengulas senyum.Dengan terpaksa kuterima uluran tangannya yang memberi ucapan selamat. Gadis cantik yang memakai gamis coklat susu berbahan kain katun itu pun, membawakan sebuah bingkisan untuk Habib."Terimakasih, Nur," ucapku sembari menerima bingkisannya.Nur Azizah membawa sebuah bingkisan yang entah apa isinya aku tidak tahu."Aku membawakan bingkisan ini untuk Habib, Mbak. Isinya peralatan sekolah, tas, buku dan lain-lainnya," ujarnya menerangkan."Kamu gak perlu repot-repot membawakan hadiah buat Habib, Nur. Aku jadi gak enak sudah ngerepotin kamu.""Jangan bicara begitu, Mbak. Aku senang, kok melakukan ini."Nur berlalu dari hadapanku menuju ke ara
"Astagfirullah, Nara," teriakku histeris.Aku melihat Nara menangis menahan kesakitan karena kakinya tertimpa bubur panas. Umi memasak bubur karena diminta mas Rahman.Cepat-cepat kutarik Nara dan membersihkan tumpahan bubur yang menempel di kakinya. Bubur panas yang menumpah diatas kakinya masih terihat mengepulkan asap. Kaki Nara yang tertimpa bubur terlihat merah dan melepuh. Aku segera memcari obat salep di kotak p3k untuk mengobati luka bakar Nara."Sabar ya, Sayang. Bunda, akan mengobati lukamu agar tidak semakin melepuh. Tahan sedikit ya, Nak!" ucapku sembari mengoleskan salep luka bakar.Nara meringis kesakitan karena luka akibat terkena bubur panas terlihat memerah dan terasa perih.Aku tidak tahu terbuat dari apakah hati umi yang membiarkan anak sekecil ini membawa bubur yang masih panas sendiri. Mengapa hati keibuan yang ada dalam diri umi tidak ter
"Uhug ... uhug ...." Mas Rahman seketika tersedak dan terbatuk-batuk mendengar ucapan Umi Fatimah.Buru-buru ia menyambar gelas yang berisi air putih di hadapannya lalu, meminum tanpa jeda menandaskan isinya."Ayah, jangan tinggalin, Bunda! Kasihan, Bunda kalau ayah mau menikah lagi. Dulu Ayah Nara pergi karena memilih punya adik baru," ucap Nara polos.Seketika Nara berwajah masam dan menghentikan menyuap nasi ke dalam mulutnya.Umi hanya memandang Nara dengan tatapan sinis. Seakan tidak suka dengan keprotesan Nara sebagai penghalang hubungan Ma Rahman dengan Nur Azizah."Diamlah, Nara! Ini urusan oarang dewasa, anak kecil tidak boleh ikut campur masalah orang tua," hardik umi."Tapi, Nek ...." protes Nara."Cukup kata, Nenek!" tegas umi.Nada bicaranya sedikit meninggi."Umi, Nara hanyalah anak kecil. Jangan membentaknya dengan kata-kata kasar!" ucap M
Kondisi rumah terlihat mulai didekorasi. Umi meminta para pekerja untuk menghias ruang tamu dan kamar yang sekarang aku tempati. Besok kamar ini akan berubah menjadi kamar pengantin Mas Rahman dan Nur Azizah. Pagi setelah salat subuh aku mengemasi pakain dalam koper kecil untuk meninggalkan rumah secepatnya.Ruang tamu di cat dengan warna kriem, sebelum didekorasi memakai hiasan bunga dan renda-renda. Saat kudongakkan kepala ke atas ada lampu hias kristal dari luar negri sudah digantung. Umi juga mengganti perabot dalam kamar ini dengan yang baru. Untuk menantu baru dari seorang anak kyai ternama, umi tidak ingin ada yang kurang. Ranjang yang bekas aku pakai dengan Mas Rahman melabuhkan cinta itu pun ia ganti.Ranjangnya berukuran lebih besar dari sebelumnya dengan alas kayu jati asli dan busa yang empuk seharga puluhan juta. Para pekerja menghiasianya dengan kelambu yang menjuntai ke bawah. Sedangkan empat
Bus melaju dengan kecepatan sedang melakukan perjalanan dari Medan menuju ke Jakarta. Selama lima hari dan lima malam Ayi dan anak-anak berada dalam bus, sesekali mereka ngobrol bareng bersama sang nenek yang tadi ditemui pada saat di dalam angkot hingga menuju terminal Amplas.Bus sudah tiba di Lampung tepat di pelabuhan Baukuheni. Kapal-kapal besar terlihat berlabuh di dermaga. Lautnya yang biru terlihat sangat indah. Tujuan Ayi sudah akan semakin dekat untuk hijrah ke Jakarta. Kota yang dulu pernah memberinya kenangan bersama Rahman."Bunda, sebentar lagi kapal akan menyeberang ke Jakarta. Apa kita akan menetap di sana?" tanya Habib.Tangan kedua anaknya masih tetap ia pegang erat seolah bagai ada lem yang mengeratkan keduanya. Ayi tidak ingin jauh-jauh dari anaknya karena ini kota besar, lalai sedikit saja menjaga maka bisa jadi mereka akan hilang."Iya, Nak. Kita akan menetap di Jakarta," jawabnya
"Syawal, keluar kamu!" suara teriakkan seorang laki-laki menghentikan aktivitasku yang ingin menunaikan salat asar.Syawal keluar dengan segera menemui pria yang tadi memanggilnya dengan suara bariton."Bang Baron," seru Syawal.Kuperhatikan tiga orang laki-laki bertubuh besar dan tegap berdiri dengan berkecak pinggang."Mana uang setoran hari ini, hah?" hardik pria yang dipanggil bang Baron."Be-be ... blum ada, Bang," jawab Syawal gugup.Ekspresi wajah Bang Baron mendadak berubah sangar."Apa?! Belum ada?!" teriak Bang Baron."Maaf, Bang. Aku belum ada ngerjain tugas," jawab Syawal.Masih dengan wajah sangar pria yang bernama Bang Baron mencengkram kerah baju Syawal."Apa kau mau aku habisi hah?" hardik Bang Baron."A-ampun, Bang. Jangan habisi aku! Akan segera kuberikan uang setorannya nanti, setelah ngerjain tugas," jawab Syawal dengan bibir gemetar.Deng
Matahari semakin tinggi di atas awan. Sinarnya yang cerah membiaskan cahaya dipermukaan bumi. Siang itu Ayi dan kedua anaknya pergi untuk mengamen. Sementara Syawal juga ikut menemani mereka dari belakang sebagai petunjuk arah jalan. Ayi melarang Syawal mencopet untuk mencari makan. Ayi mengusulkan agar mencari uang halal dengan cara ngamen meskipun hasil recehan. Tapi, itu lebih baik dari pada harus merampas hak orang lain."Bun, kita mau kemana?" tanya Nara.Mereka berempat berjalan menuju ke terminal."Kita mau pergi ngamen, Nak," jelas Ayi."Nara baik budi ya, nanti. Bunda, mau ngamen buat mencari sesuap nasi, agar kita bisa bertahan hidup di Jakarta ini," lanjut Ayi."Ya, Bunda. Nara, janji tidak akan nakal dan bikin susah bunda," ucap Nara mengangkat jari kelingkingnya.Seperti yang biasa ia lakukan dulu kepada Ustaz Rahman bila berjanji akan menautkan jari kelingkingnya."Anak pin
"Hentikan, Baron!"Seorang pria tinggi tegap berkulit putih menangkis tangan Bang Baron yang siap melayang ke wajah Ayi. Pria itu membuang tangan Bang Baron ke sembarang arah."Ali?! Jangan ikut campur urusanku dengan wanita ini," hardik Bang Baron.Pria yang bernama Ali itu pun menatap tajam ke arah Bang Baron."Apa kau sudah kehilangan nyali, Baron? Atau urat saraf malumu sudah putus hingga menganiya seorang wanita?" ucap Ali geram.Bang Baron berdecik ia membuang ludahnya kesamping."Cih. Kau tau apa tentang wanita ini, Ali? Dia sudah berani menghasut anak buahku untuk berhenti bekerja denganku. Hingga tidak memberikan uang setoran," sahut Bang Baron."Oh, jadi hanya karena wanita ini membela anak buahmu, lantas kau ingin menghabisinya," tukas Ali.Bang Baron maju satu langkah lalu, mendekati pria yang dipanggil Ali. Matanya menatap tajam ke