"Pergilah tanpa sepengetahuan Brian dan Bintang. Dan, jangan pernah katakan pada mereka kalau aku yang memintamu untuk pergi!" ujar Bibi Megan dengan sebuah ancaman."Atau, kau bisa kehilangan rumah ini!" Bibi Megan menunjukkan sebuah gambar rumah panggung yang sangat dikenali oleh Luna, bahkan gambar itu diambil saat ia dan orang tuanya berada di teras rumah, sehingga ia juga ada dalam gambar tersebut."Dari mana Bibi mendapatkannya!" Luna berusaha merebut gambar yang dipegang Bibi Megan, namun dengan gesit Bibi Megan menarik tangannya."Ada banyak rahasia yang tidak kau tahu! Jika ingin mengetahuinya, dan juga rumah ini dan segala kenangannya, maka pergilah! Tinggalkan Brian dan juga Bintang, tanpa sepengetahuan mereka."Luna menelan salivanya dengan susah payah, mendengar penuturan Bibi Megan. Haruskah Luna melakukannya? Tapi, bagaimana dengan Bintang? Brian, Luna belum sanggup jika harus pergi sekarang, meski Luna tahu, kelak ia tetap akan pergi saat sang pemilik rumah yang sesungg
"Dari mana kau tahu?" tanya Brian, terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian."Para pengawal sempat memeriksa rekaman kamera pengintai. Melihat Luna yang menangis dan nyaris melompat ke bawah, apakah kalian benar-benar bertengkar?" tanya Adrian yang semakin penasaran."Tidak," jawab Brian, singkat. Ia memang tidak sedang bertengkar dengan Luna, karena itulah Brian kebingungan. Atas alasan apa, mengapa Luna mencoba untuk melompat dari balkon kamar.Brian yang masih belum tahu-menahu, memilih berpindah ke sofa untuk duduk sembari memberikan pijatan lembut di kepalanya. Ia merasa apa yang baru saja terjadi, seolah hanya sekilas dan tidak ia pahami dengan baik.Dan yang masih menjadi pertanyaan besar di kepalanya adalah, mengapa Luna mencoba untuk mengakhiri hidupnya? Apakah ada sesuatu yang mengganggunya!'Tentu saja, ada sesuatu yang tidak aku ketahui,' pikir Brian."Pukul berapa istriku pulang ke rumah?" tanya Brian pada para pengawalnya."Pukul Sepuluh pagi, Tuan," jawab sang p
Terhitung sejak semalam hingga sekarang sudah kembali menjelang malam, Brian masih juga mendiamkan Luna. Dia tidak ke kantor, juga tidak mengizinkan Luna bekerja karena belum ada laporan yang pasti dari Adrian. Lebih tepatnya, Dokter Rio sengaja menutup akses untuk Adrian mendapatkan informasi. Dan itu membuat Brian semakin kesal, dan jadi sangat yakin kalau memang Dokter Rio lah penyebabnya."Dasar bujang lapuk, apa dia sudah tidak laku hingga ingin membuat aku jadi duda!" geram Brian, setelah panggilan telpon dari Adrian ia tutup."Papa, mengapa papa terus marah-marah," ujar Bintang yang tengah berbaring di atas tubuh Luna yang tengah menonton televisi.Brian tidak menanggapi pertanyaan Bintang, namun ia mengangkat Bintang agar tidak lagi menindih tubuh Luna. Brian lalu memangku Bintang dan ikut menonton film yang ditayangkan di layar televisi."Papa, apakah papa dan mama sedang bermusuhan?" tanya Bintang, sejak pagi tadi ia menanyakan hal itu, saat melihat tidak ada interaksi antara
Karena kejadian di dapur yang mengakibatkan Luna tidak dapat menyelesaikan masakannya, mereka harus menikmati makan malam dengan makanan yang mereka pesan dari restauran."Aku baik-baik saja Brian, sungguh. Aku bisa memegang sendok dengan tangan kananku." Luna berusaha menolak, namun Brian tetap kekeuh pada pendiriannya untuk menyuapi Luna.Padahal yang terluka adalah tangan sebelah kiri Luna, dan itu tidak begitu berpengaruh untuk Luna makan sendiri. Tapi, Brian yang tidak ingin dibantah, terus memaksa Luna untuk menyuapinya meski dalam diam.Tanpa mereka sadari, bahwa masih ada dua orang lainnya yang juga berada di meja makan. Mereka bahkan belum menyentuh makanannya sedikit pun, hanya menyaksikan apa yang tengah dilakukan Brian dan Luna."Mama dan papa sangat romantis," ujar Bintang yang menyaksikan aksi Brian dan Luna."Saya dan Bintang akan makan di taman belakang, sepertinya menyenangkan saat makan sembari melihat bintang-bintang bersama Bintang, iyakan Bintang?" Adrian yang juga
Sedikit cerita tentang orang tua Luna, membuat Brian luluh dan memahami apa yang dirasakan oleh Luna. Brian juga merasakan, bagaimana luka yang tidak terobati karena kehilangan orang yang sangat berharga dalam hidup kita.Meski begitu, Brian tidak membenarkan pembelaan Luna atas tindakannya, karena itu adalah keputusan yang saat dan Brian tidak ingin jika Luna kembali berbuat seperti itu. Sebagai gantinya, Brian ingin Luna menganggapnya sebagai tempat untuk singgah dan menuangkan keluh kesahnya. Sekali lagi, Brian meminta Luna untuk menganggap Brian sebagai tempat untuk singgah! Singgah, bukan menetap!"Sayang, mengapa tidak besok saja? Hari ini kita menghabiskan waktu di rumah, Bintang juga tidak ke sekolah 'kan," bujuk Brian, berusaha menghalangi Luna agar tidak pergi bekerja dan tetap berasamanya di rumah."Sayang, aku sudah terlalu banyak bolos bekerja, bagaimana jika rekan-rekan kerjaku akan menggunjing karena aku yang suka seenaknya," bantah Luna. Ia cukup merasa ngeri jika haru
"Untuk apa kau datang ke sini? Kau tidak tahu malu, datang untuk menjemput istri orang," cibir Brian pada Dokter Rio yang berdiri di hadapannya. Setelah aksi pengusiran yang dilakukan beberapa pengawal atas perintah Brian, tidak membuat dokter Rio meninggalkan tempatnya. Karena itu, Brian terpaksa keluar dan menemuinya secara langsung, setelah meminta Luna untuk tatap berada di dalam rumah."Aku bisa sendiri mengantar istriku untuk bekerja, jadi kau tidak perlu repot-repot menjemputnya," lanjutnya saat Dokter Rio tidak juga menanggapi ocehan Brian.Dan yang membuat Brian semakin kesal adalah, Dokter Rio yang hanya tertawa seolah Brian baru saja membuat lolucon. Membuat Brian rasanya ingin menghajar Dokter Rio."Aku tidak benar-benar datang untuk menjemput istrimu, tapi siapa tahu dia mau ikut 'kan," ujar Dokter Rio, menggoda Brian setelah ia selesai tertawa."Ikut kepalamu! Pergi sana, aku tidak menerima tamu sepertimu," usir Brian, masih juga merasa kesal. Brian tidak bisa bersikap s
Setelah menghabiskan waktu seharian penuh di rumah, kemarin. Akhirnya hari ini Luna sudah mulai masuk bekerja. Bertemu dengan para rekan kerjanya yang mana mereka sudah saling mengenal, dan Luna masih selamat karena belum bertemu dengan kepala ruangannya, Bella. Sehingga Luna tidak perlu merusak paginya yang cerah dengan sindiran-sindiran yang diutarakan Bella."Kak Luna, aku dengar kak Luna sebelumnya sudah pernah bekerja di sini, lalu mengapa kak Luna berhenti?" tanya seorang rekan kerja Luna yang usianya lebih muda dari Luna."Ada sedikit masalah," jawab Luna lugas, wajar saja jika ada yang mempertanyakan hal itu. Karena di rumah sakit ini, tidak sedikit yang mengenal Luna sebagai perawat yang sering mendapatkan pujian dari beberapa dokter yang pernah ditemaninya bekerja."Ah, jadi rumor yang mengatakan kalau Kak Luna terlibat dengan beberapa rentenir, itu benar?" tanya rekan kerja Luna, lagi.Luna tidak menanggapi dan memperpanjang mengenai hal itu, Luna hanya membalasnya dengan se
"Karena itu ternyata, alasan mengapa dia kembali diterima bekerja di rumah sakit ini.""Apa dia seorang penggoda? Ah, tentu saja. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk mendapatkan uang, menggoda orang-orang yang lebih kaya.""Lebih murah dari harga ikan di pasar! Sepertinya dia tidak mendapatkan didikan yang baik dari orang tuanya! Aku lupa, dia 'kan sudah tidak punya orang tua."Luna berjalan sembari menunduk, rasanya ia tidak mampu untuk menunjukkan wajahnya. Semua orang yang dilaluinya berbisik-bisik saat melihat Luna, menggunjing dan mencaci tanpa tahu kebenarannya.Rasanya Luna ingin menangis, tapi ia tidak ingin menunjukkan kesedihannya dihadapan semua orang. Luna juga tidak bisa melawan, Luna bahkan tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan."Kalian tidak punya kerjaan selain berkumpul di sini!" "Bubar! Bukankah kalian seharusnya melihat pasien yang membutuhkan bantuan? Lalu, mengapa kalian malah berdiri di sini!""Kalian dibayar untuk bekerja! Bukan untuk menggunjing, cih!"Se