Jangan oupa tinggalkan jejak komentar dan love yuk.
Bab 92Sakha berada di dalam mobil yang terparkir di depan kantor tempat Rahma meeting. "Halo, aku sudah di parkiran, Sayang." "Ya, Mas. Aku siap-siap keluar." Tak lama kemudian, Rahma muncul dengan wajah lelahnya. Langkahnya sedikit gontai membuat Sakha sedikit khawatir. "Gimana meetingnya, Ma?" "Lancar, Mas. Untung nggak lewat Isya. Malah tadi katanya Maghrib selesai, eh molor sedikit," gerutu Rahma membuat Sakha mengulum senyum. "Sepertinya kamu lelah, Sayang." "Iya, agak pusing nih, Mas. Kita langsung pulang aja, ya." "Lho katanya mau makan malam, jadi nggak?" "Maaf, aku pengin segera rebahan, nih. Perut juga sedikit mual malah nanti nggak enak makan." Rahma mencoba meyakinkan suaminya. Padahal ia pengin segera sampai di rumah untuk bertemu Ana. "Ya sudah kalau gitu kita langsung pulang saja. Nanti kalau kamu pengin makan apa kita bisa delivery order." "Iya, Mas." Sakha melajukan mobilnya membelah jalanan ibukota. Keramaian yang masih terasa membuat laju mobil pun mela
Bab 93"Astaga, Rahma jangan telat makan. Jaga kesehatanmu!" Saran Gita segera diangguki Rahma. Sakha lantas mengajaknya ke kamar untuk istirahat. "Nanti biar mama bilang ke bibi suruh bawakan makan malam kalian ke kamar." "Makasih, Ma. Oya, apa Arga sudah pulang?" "Iya, lagi ngerjain apa di atas tuh dari tadi masuk rumah nggak turun-turun." Sakha hanya menggelengkan kepalanya. Ia hendak minta tolong Arga mencari tahu kabar Ana dan Aira. "Ya, Ma. Nanti Sakha temui Arga sendiri. Siapa tahu dia bisa bantu cari tahu Ana dan Aira ke kontrakan." Sakha membawa Rahma beristirahat di kamar. Wanita itu masih melamun setelah isakannya mereda. Kenyataan yang diketahui Rahma tetap tersimpan rapi di benaknya. Ia belum siap membuka fakta di depan suaminya. Ia harus mengajak bicara secara langsung ibu dari Aira yang dikiranya adalah Ana." "Ana, kenapa kamu menyembunyikan rahasia besar itu? Aku lebih sakit dibohongi daripada kamu mengaku sebagai istri dari suamiku." Rahma meremas dadanya yang
Bab 94"Mau kemana, Ga?! Lepaskan!" Arga menarik tangan Rahma supaya masuk ke mobilnya. "Kita buntuti suamimu." "Hah." "Ayo, Mbak. Jangan lama-lama, nanti keburu Mas Sakha pergi!" "Pergi ke mana? Mas Sakha cuma ke kontrakan Ana, kok." Rahma masih heran dengan aksi Arga. "Iya, maksudnya kita lihat apa yang dilakukan Mas Sakha di sana." "Memangnya apa yang kamu ketahui, Ga?" Rahma mencoba memancing Arga. "Nggak ada. Aku cuma penasaran aja. Mas Sakha berubah. Dulu nggak suka sama Ana dan bayi itu. Sekarang tampaknya lebih peduli." "Katakan apa yang kamu tahu, Ga. Kamu pasti menyembunyikan sesuatu." "Nggak ada, Mbak. Sudah aku bilang kalau nggak tahu apa-apa." "Lalu kenapa kamu memfitnah Ana?" Bunyi mobil berdecit mengagetkan Rahma. Hampir saja dahinya terantuk dashboard karena Arga menginjak rem dadakan. "Hati-hati! Kamu mau kita celaka, huh?!" "Lagian Mbak Rahma yang ngagetin aku. Siapa juga yang memfitnah Ana," kilah Arga yang sudah kembali fokus dengan jalan di depannya.
Bab 95"Halo, Ma? Apa Ana sudah ke rumah?" "Belum. Gimana? Kamu dan Arga sekarang di mana?" "Ya sudah, Ma. Nanti Rahma hubungi lagi." Rahma tidak menjawab pertanyaan mertuanya justru menutup telponnya. "Gimana sekarang, Ga? Kalau Ana ternyata ke rumah?" "Coba hubungi nomer Ana, Mbak!" Rahma mencoba peruntungan dengan melakukan panggilan ke nomer Ana. "Tidak aktif, Ga." "Kayaknya nggak mungkin Ana ke rumah, Mbak. Mana ada ponselnya nggak aktif sejak kemarin. Jangan-jangan dia pergi." "Ishh, Arga jangan nakuti Mbak, dong. Mbak berharap Ana tidak pergi membawa Aira. Kamu tahu kan kalau Mbak dan Mas Sakha merindukan kehadiran anak." "Jangan lupa, Mbak. Selain Aira ada ibunya juga. Memangnya mau dikemanakan ibunya?" Rahma mencelos, benar saja Aira memang yang diharapkannya meramaikan rumah. Lantas ibunya Aira bagaimana, Rahma tidak berpikir akan dinomer duakan oleh suaminya. "Kita balik saja, Ga. Siapa tahu Ana ke rumah. Ayo buruan!" "Yakin?" Rahma hanya menjawab dengan sebuah
Bab 96"Sayang. Maaf, aku terjebak macet." "Mas pasti capek. Ini diminum dulu habis itu mandi." Rahma dengan telaten melayani suaminya yang baru sampai di rumah. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Padahal biasanya Sakha sampai di rumah paling lambat menjelang Maghrib. "Terima kasih." Sakha sempat memberi kecupan singkat di kening Rahma sebelum duduk lalu menyesap jahe hangat buatan sang istri. "Mas ada tugas ke luar kota?" tanya Rahma tanpa menunjukkan sikap curiga. Sakha pun mengangguk masih dengan menyesap minuman seteguk demi seteguk melewati kerongkongannya. Terasa hangat di saat lelah dan gundah melanda. "Harus ya berangkat malam ini?" "Iya, Sayang. Pembukaan cabang baru di kota sebelah harus segera diluncurkan. Aku harus mengawasi pembangunannya. "Kok tiba-tiba?" "Iya, mumpung investor lagi semangat." Sakha merasa bersalah terhadap istrinya karena harus berbohong demi menjaga kewarasan. Ia takut istrinya kambuh dengan depresinya. Ia perlu melihat kondisi Ratih le
"Lalu, kabarnya Ana dan Aira gimana, Mas?" Uhuk-uhuk. "Iya, mereka gimana, Mas? Kapan pulang dari rumah saudaranya?" Rahma menagih jawaban yang belum sempat dijelaskan oleh Sakha karena sibuk menyiapkan barang bawaan untuk ke luar kota. Sakha segera meraih segelas air putih untuk mengobati tersedaknya. "Memangnya di kota ini Ana punya saudara ya? Atau jangan-jangan dia sudah menemukan ayahnya Aira." Deg, Sakha semakin merasa Arga tengah memandangnya serius seperti ingin menguliti. Ia segera memalingkan muka ke arah istrinya. "Jangan khawatir, Sayang! Biar orang suruhanku yang mencarinya. Selagi Aku mengurus pekerjaan, kalau sudah ada kabar dari orangku tentang keberadaan Ana dan Aira, dia pasti akan mengabari." Rahma mengangguk lega, tetapi tidak dengan Arga yang sedari tadi masih menatap kakaknya. Akhirnya, Sakha berangkat menuju tempat yang menjadi tujuannya melihat keadaan Ratih. Kepergiannya membuat Rahma dan Arga terpaku di teras. "Mbak Rahma baik-baik saja?" tanya Arga
Bab 98Sakha mendekap erat tanpa minta izin. Ia ingin meluapkan rasa yang sedari tadi malam ia pendam. Namun, sosok yang berada dipelukannya hanya bergeming. Menitikkan air mata, Ratih masih setia dengan dunianya sendiri. "Ratih, aku Sakha suamimu." Beberapa detik berlalu, wanita dalam dekapan Sakha meronta dan meracau tidak jelas. Hingga mengundang penghuni yang lain untuk membuka mata dan mendekat. "Kamu siapa?!" teriak wanita yang sudah memasuki senja. Usianya tidak jauh beda dengan Mbok Darmi yang tinggal bersama Ana dan Aira saat di ibukota. Sakha tidak lupa wajah itu. Mbok Irah---Nenek Ratih yang sering ia temui kala sering bercengkerama dengan Ratih sampai hari terakhir ia kembali ke Jakarta. Mbok Irah setia merawat dua cucunya yang yatim piatu hingga tumbuh besar. "Mbok, ini Sakha." "Hah?! Sakha suami Ratih?" Mbok Irah tercengang. Ia menutup mulutnya yang menganga karena tak percaya apa yang dilihat pagi-pagi buta. Bahkan mentari belum menampakkan sinarnya, sudah ada tamu
Bab 99"Mbak Ratih, aku dan Aira pulang." Ana berucap lirih sambil duduk di samping kakaknya. Ia menggeser sedikit kaki kakaknya untuk ruangnya duduk. "Mbak, Ai baik-baik saja. Ai sudah bertemu ayahnya. Mas Sakha sudah ketemu, Mbak." Air mata semakin mengucur membuat Ana sesenggukan. Rasa sesak di dada semakin menyeruak. Keinginan sampai rumah begitu menggebu. Setelah melihat kondisi kakaknya, ia justru semakin sedih. Tidak ada pergerakan dari Ratih karena lelapnya tidur di sore hari. Mungkin Rizky baru saja mengantarnya pulang. Ana beranjak dari kursi lalu menuju kamar untuk menidurkan Aira. "Ana?!" Wanita yang wajahnya sebagian dihiasi keriput itu kaget melihat Ana. "Mbok sudah di rumah?" "Iya, barusan pulang tadi sejam yang lalu kayaknya. Trus Rizky datang mengantar pulang Ratih dari warung." Rizki memang kerap mengajak Ratih ke warung kelonton milik keluarganya. Ia berusaha membuat Ratih tidak menyendiri. "Ana nidurin Ai dulu, Mbok."Mbok Irah mengangguk, lalu bergegas ke