"Kenapa, Fran?" tanya Rendi panik. Dia berlari ketika mendengar istrinya memekik. Frani meniup lengannya yang terasa terbakar karena siraman kopi. Sementara si tersangka tampak tidak merasa bersalah sama sekali. Dia yang menumpahkan kopi itu tapi tingkahnya lebih mirip boneka barbie yang polos. "Maaf, Fran. Aku nggak sengaja. Tadinya aku pikir sudah di atas meja, ternyata masih belum. Maaf ya?" ucap Sonya dengan muka yang dibuat menyesal karena melihat Ciara menghampiri.Rendi menatap tajam pada Sonya, tidak rela istrinya jadi bahan kekejaman wanita itu. "Punya mata nggak?""Ren, kalau ngomong disaring dulu deh. Sonya kan sudah bilang maaf. Mungkin waktu naruh tadi, dia nggak lihat sudah benar belum posisinya," kilah Ciara. Dia bukannya membela, hanya saja masalah siraman kopi bukan perkara penting. Sonya sudah minta maaf, keadaan Frani juga tidak terlalu parah. Kali ini Ciara yang mendapat tatapan menusuk dari pria yang sekarang ini sedang menyentuh lengan istrinya. "Maaf gampang,
Frani terbangun setelah mimpi buruk. Mimpi itu terasa sangat nyata, bahkan dalam mimpi itu dia menangis ketika Rendi benar-benar meninggalkannya seorang diri. Rendi pergi bersama wanita lain yang tidak dia ketahui. Saat dirinya histeris, dia tiba-tiba terbangun. Sebenarnya dia kesulitan tidur tadi, tapi entah kenapa kelopak matanya meredup dalam hitungan jam. Frani panik, pikirannya sudah tidak tentu arah. Dia bangun, berjalan ke luar kamar dan mencari dimana suaminya. Ketika dia turun ke lantai bawah, langkahnya terhenti di depan sebuah pintu yang bercat sama seperti yang lain. Pintu kamar itu ditempati oleh Sonya dan Ciara. Ah, iya, Frani lupa jika ada Ciara bersama mereka. Secercah harapan bahwa suaminya tidak akan masuk ke dalam kamar Sonya. Gertakan Sonya perlahan sudah memudar di kepalanya. Hanya saja dia tidak tahu dimana Rendi.Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Detak jam dinding menggema dengan perlahan, mengisi kekosongan di dalam rumah itu. Semua orang pasti sudah
"Apa perlu, Ma? Bukannya malah akan membuat asumsi lain? Aku yakin semua rumah tangga pasti punya permasalahan. Nggak ada rumah tangga yang bebas dari masalah. Kalau boleh aku menolak, sebaiknya aku nggak menceritakannya. Apalagi yang keluarga hanya aku, mama, dan Ciara. Sonya bukan keluarga kita, Ma. Aku nggak mau timbul gosip lain yang membuat hubunganku dan Mas Rendi menjadi renggang. Aku harap mama dan Ciara mengerti," jelas Frani. Dia mencoba mencari kata-kata sopan yang tidak akan menyinggung perasaan ketiga orang itu. Frani menatap satu persatu orang-orang di hadapannya. Fitri tampaknya tidak ingin mendebat pendapatnya, begitu juga Ciara. Berbeda dengan Sonya yang tidak bisa mengakhiri pembicaraan mereka. Dia tersinggung karena secara tidak langsung dianggap sebagai orang yang bisa menyebarkan gosip."Mama mengerti. Lagi pula mama juga sudah tahu alasannya," tukas Fitri. Hatinya benar-benar sudah mencair. Frani lega. "Kalau aku juga nggak ingin tahu sih sebenarnya. Mau bagai
Sonya melirik ke belakang, dia sempat melihat sebuah motor yang tadinya ada di belakang mobilnya berhenti ketika melihat Frani. Dia juga tahu kalau ponsel Frani diambil paksa, tapi dia tidak peduli. Meskipun perjalanan masih panjang dia tidak berniat untuk menghentikan mobilnya atau menolong Frani. Salah sendiri siapa yang menyuruh sombong? Menikah dengan Rendi bukan berarti wanita itu bisa menginjak harga dirinya. Hanya di depan Fitri dia bisa merendahkan diri tapi di belakangnya, jangan harap semuanya bisa terkendali.°°°Panggilan tidak tersambung.Kesekian kalinya Rendi menghubungi Frani tapi wanita itu tidak menjawab. Dia akhirnya menghubungi Fitri untuk memastikan kalau Frani tidak kembali ke hunian itu."Nggak kok, Ren. Bukannya Frani berangkat sama Sonya tadi? Harusnya sudah setengah perjalanan," jelas Fitri. "Nomornya nggak aktif, Ma," tukas Rendi resah."Kalau begitu, biar mama hubungi Sonya saja.""Iya, Ma. Tolong kabari aku kalau ada kabar."Rendi menutup panggilannya, di
"Kenapa, Mas? Ada masalah di kantor?" tanya Frani. Dia mengambil jas Rendi, lalu menyampirkan di lengannya.Rendi berusaha tersenyum, "Nggak ada, Sayang.""Mau aku buatin kopi, Mas?"Frani hendak berjalan ke dapur tapi Rendi memanggilnya. "Sini sebentar, Fran!"Frani mengangguk patuh. Dia duduk di samping suaminya, di atas sofa berwarna coklat muda yang baru-baru ini diganti warnanya. "Ada apa, Mas?"Tak disangka, Rendi langsung memeluk istrinya dari samping, mencari kenyamanannya sendiri. Padahal mereka ada di ruang keluarga, dimana masih banyak asisten rumah tangga yang mondar-mandir. Sepertinya Rendi memang sedang memiliki masalah. Frani ingin bertanya tapi dia takut salah bicara. "Aku kangen kamu, Fran. Seharian di kantor membuatku bosan."Cess!!!Hati Frani menghangat. Rasanya tidak terkira. "Aku juga kangen kamu, Mas.""Malam ini makan di luar ya?""Emangnya Mas mau makan apa?"Rendi menggeleng, "Apapun yang kamu mau aku juga pasti suka.""Kalau begitu gimana kalau makanan Kor
Gani sudah memiliki firasat buruk ketika melihat kendaraan roda empat yang tampak mewah tiba-tiba masuk ke perumahan kelas menengah di kawasan itu. Apalagi mobil mewah itu berhenti di depan rumah mereka. Begitu Rendi turun, lalu Frani, Gani yakin akan ada sesuatu yang terjadi. Sampai akhirnya Frani memperlihatkan alat tes kehamilan yang dua garisnya terlihat jelas, nyata dan tidak bisa dimanipulasi.Sarah yang penasaran menghampiri Gani juga ikut terkejut. Wanita itu diam."Nggak bisa bicara, Bu?" tanya Frani lagi.Sarah tersadar, "Kamu yakin itu punya kamu? Jangan-jangan kamu hanya memanipulasi."Frani ternganga, "Ya Tuhan, Bu. Ibu masih saja negatif thinking padaku? Tapi aku nggak peduli ibu mau percaya atau nggak, yang jelas aku datang hanya ingin menyampaikan kabar bahagia ini.""Saya suaminya, Frani, kalau ibu ingin tahu. Tolong, jangan ganggu istri saya lagi karena dia sudah bahagia bisa lepas dari kalian," ucap Rendi. Sebelum Gani bicara, Rendi membawa istrinya untuk kembali ke
"Kamu berani meminta cerai setelah membohongiku? Enak saja. Makan itu kebohongan kamu! Sampai kapanpun aku nggak akan pernah menceraikan kamu," tandas Gani kejam. Dia tidak bisa melepaskan Celia meskipun dia sudah malas menghadapi wanita itu. Dia akan tetap mempertahankan pernikahannya dan membuat Celia menyesal.Celia mendelik, "Nggak, Mas! Aku nggak mau tinggal di tempat kumuh begini.""Terserah kamu! Yang jelas aku mau kamu tetap ada di sini. Bukannya kamu menginginkan perhatian sebagai seorang menantu? Kamu juga yang menjebakku agar aku menceraikan Frani."Celia tidak terima dengan ucapan Gani. Dia bukan salah satu faktor penyebab retaknya hubungan mereka. "Kamu sendiri yang tergoda denganku, Mas. Ingat? Siapa yang pertama kali mengajakku bercinta di toko? Siapa? Aku? Bukan. Tapi kamu! Kamu yang minta aku tetap tinggal. Kamu yang suka dengan tubuhku ini. Kalau kamu nggak main api, aku juga nggak akan tergoda.""Justru karena pakaian kamu yang mengundangku, aku jadi nggak bisa foku
Frani mengibaskan tangannya, "Nggak! Apalagi yang perlu kamu bicarakan? Bukannya urusan kita sudah selesai?"Gani menggeleng, "Aku hanya ingin minta maaf, Fran.""Kalau begitu minta maaf di sini. Aku nggak mau bertatapan dengan kamu lama-lama karena hatiku nggak bisa menerimanya."Tatapan Gani sayu, dia menunduk begitu mendapat penolakan. Dia bosan tinggal di rumah karena Celia sangat kurang ajar padanya. Setelah bertengkar dengan Celia, ucapan wanita itu selalu terngiang di kepalanya. 'Harusnya kamu bersyukur punya istri mbak Frani. Mbak Frani rela jadi boneka di rumah ini, bekerja mati-matian dan menopang hidup kalian. Ibu juga kurang bersyukur. Kalau bukan mbak Frani, nggak ada yang mau jadi tulang punggung keluarga. Harusnya lagi mbak Frani berterima kasih padaku, kalau bukan karena perselingkuhan kita, dia nggak mungkin punya suami kaya. Direktur lagi. Kalau aku sih mending milih suaminya yang sekarang dari pada kamu!'Lalu pagi ini, Gani tiba-tiba ingin melihat Frani. Dia menc