Tommy keluar kantor sudah jam lima sore, setelah mempertimbangkan segalanya, lelaki itu sudah bulat mengambil keputusan. Baginya siapa orang yang bisa menguntungkan dirinya akan lebih dia prioritaskan. Antara Mutia dan Siska, jelas Siska yang lebih menguntungkan. Selain wanita itu tengah hamil sekarang, Siska juga bisa membawa keberkahan dengan mengenal Diaz dengan dekat, seharusnya dia sudah mengambil keputusan lama, manakala Mutia meminta cerai padanya, sehingga dia tidak perlu diingatkan oleh sekretaris Adiguna grup. Ketika hendak pulang, dia mampir dulu di toko kue untuk membelikan kue untuk Siska, dulu waktu masih kuliah, Siska suka sekali kue black forest dengan toping coklat yang tebal. Bibir lelaki itu tersenyum, baru kali ini dia melakukan hal seperti ini untuk seorang perempuan. Yah, Siska sekarang adalah istri yang membawa keberuntungan untuknya, tentu saja akan diperlakukan istimewa juga. Setelah membeli kue, lelaki itu membeli seikat bunga mawar yang sangat harum, mawar
Ketika Mutia pulang, rumah di sebuah masih sepi. apakah lelaki ini belum pulang? tetapi di rumahnya malah sudah begitu gaduh, ketika Mutia membuka pintu, tercium bau masakan yang menggugah selera. "Kamu akhirnya pulang," ujar suara ceria seseorang. "Kamu sejak kapan pulang? sepertinya sudah memasak juga, ya?" Tasya hanya tertawa, sepertinya gadis ini sedang senang sekarang. "Sana mandi dulu, hari ini aku sedang senang, makanya memasak buat kamu. Aku tadi pulang cepat, jadi kesempatan belanja ke supermarket." Mendengar perkataan Tasya, Mutia jadi ketularan semangat, dia langsung ke kamar untuk mengambil handuk dan mandi. Kamar mandi terpisah dari kamar dan hanya punya satu di dekat dapur, jadi mereka harus gantian menggunakannya. Selesai mandi, Mutia sudah tidak tahan untuk mencicipi masakan Tasya. Masakan gadis ini benar-benar enak, karena sewaktu kuliah dulu, Tasya sering sekali ikut kursus masak dan menghadiri kelas-kelas masak online. Ketika gadis itu mulai berpacaran
Diaz tersenyum lembut ketika seorang resepsionis mengantarkan tas plastik yang isinya sebuah rantang bekal yang terbuat dari plastik. Diaz memang sudah berpesan pada resepsionis dibawah, nanti kalau ada ojek online yang datang membawa makanan untuknya langsung diantar ke ruangannya. Dengan perlahan lelaki itu membuka rantang tiga susun itu, seketika harum masakan menguar di udara. Itu adalah lontong sayur, dengan lontung dan kuah gulai yang terpisah, lontongnya sudah dipotong dadu, di susunan paling bawah ada kerupuk, bawang goreng dan sambal. Tidak sabar lelaki itu langsung mencampur kuah dan lontong itu ke dalam satu wadah, menuangkan sambal dan menaburkan bawang goreng, sementara kerupuk dia camil begitu saja. Didalam rantang juga sudah disediakan sendok makan plastik, sehingga Diaz tidak perlu menyiapkan tempat makan. Rasanya, hmm ... terasa sangat enak sekali. Mungkin karena ini masakan dia, jadi enaknya jadi bisa berlipat-lipat begini. Di rumah ayahnya dia juga sudah sarapa
Plakk! "Kau ini memang gak becus, Mutia! Apa sih yang kau pikirkan ini, ha? Kalau begini siapa yang rugi? Perusahaan yang rugi! Sekarang kau bereskan semua kekacauan ini, Paham?!"Wanita yang dipanggil Mutia itu mengusap pipinya yang kini memerah akibat tamparan lelaki di hadapannya ini. Mata wanita itu sudah berkaca-kaca, rasanya malu ditampar di depan umum seperti ini. Namun, lelaki ini mana peduli dengan sekitarnya? Apabila dia marah, di mana pun tempatnya akan diluapkan. Apalagi sekarang dia benar-benar marah besar pada wanita ini."Dengar tidak apa yang kukatakan?" bentak lelaki itu lagi. "Iya, Mas. Maaf, beliau hanya ingin bertemu dan mengobrol dengan Mas sebagai direktur utama PT Sanjaya Sejahtera. Beliau tidak ingin membicarakan bisnis denganku.""Alah, alasan saja kamu! Bilang saja kamu gak bisa kerja! Menemui klien begitu saja tidak bisa!” bentak pria itu lagi. “Aku tidak mau tahu, sekarang kamu bereskan kekacauan ini!"Mutia menunduk dan berujar pelan, "Iya, Mas. Aku aka
"Arrhgg, pelan-pelan, Sayang."Sontak saja jantung Mutiara berdegup sangat cepat. Suara di dalam ruangan ini, terdengar sangat jelas. Suara desahan yang bersahut-sahutan itu, tanpa berpikir pun orang sudah bisa menebak apa yang terjadi di dalam ruangan ini.Mutiara termangu di depan pintu, ruangan itu memang tidak kedap suara. Dulu Pak Herry, Bapak mertuanya sengaja memasang beberapa ventilasi udara agar ruangannya tidak terlalu pengap karena Pak Herry alergi terhadap ruangan ber-AC sejak ginjalnya bermasalah. Tommy belum merenovasi ruangan kerja bekas ayahnya ini. Di lantai tiga ini, hanya dia dan sekretarisnya saja yang bekerja di sini. Dulu ada beberapa karyawan bagian manajemen dan keuangan, tetapi mereka sudah dipindah ke lantai dua dan lantai satu. Mutiara menatap arloji di lengannya, lima menit lagi pukul setengah empat sore. Tidak mungkin dia menunggu aktivitas orang di dalam ruangan itu. Kasak-kusuk yang mengatakan jika suaminya itu ada affair dengan sekretarisnya sudah s
Part 3 "Bu, kenapa ibu masih bertahan dengan Pak Tommy?" tanya Renita Saat ini mereka sedang berada di perjalanan menemui Rio dewanto dari Adiguna Group."Maksud kamu apa, Ren?" "Gak usah pura-pura, Bu. Aku tahu ibu selama ini menderita. Apalagi Pak Tommy sekarang sedang asyik berselingkuh dengan Clarisa. Kenapa ibu tidak membebaskan diri dari lelaki seperti itu?" Renita benar-benar geram dengan sikap Mutiara. Bagaimana wanita ini bisa bertahan dengan pernikahan toxic seperti ini "Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Ren. Siapa yang tidak ingin bahagia, siapa yang tidak ingin bebas dari suami yang seperti itu? Tetapi tidak segampang itu bicara. Jika aku sampai meminta cerai pada Tommy, aku harus membayar dendanya. Bukan main-main, jumlahnya satu miliar. Dari mana aku punya uang segitu?" "Ha? Kok bisa?" "Ah, sudahlah. Tidak perlu memikirkan masalah itu. Sebaiknya kita bicarakan masalah pekerjaan. Apakah kamu pernah bertemu pak Rio sebelumnya?" Renita menghela napas kesal, sungguh pen
Part 4 "Pak, Tuan Hadi dari tadi menelpon anda, apakah akan anda angkat?" "Huh, angkatlah!" Hembusan napas kesal terdengar dari lelaki yang duduk di bangku belakang. Mata lelaki itu menatap ke luar jendela mobil, kota ini masih sama seperti lima tahun yang lalu, belum ada perubahan yang signifikan. Jalanan masih saja macet, hanya saja moda transfortasi publik cukup mengurangi kemacetan, tidak selama lima tahun yang lalu. "Halo, iya, Pak ... Iya, beliau ada di sini," ujar lelaki yang duduk di sebelah kemudi. "Pak, ini ... Tuan Hadi ingin bicara." Lelaki itu mengangsurkan ponselnya ke arah atasannya yang duduk di belakang. "Iya, ada apa, Ayah?" jawab lelaki itu setelah menerima telepon. "Dari tadi ayah telepon, kenapa kau tidak mengangkatnya?" "Aku tidak dengar, ponselnya ku silent kalau rapat." "Diaz, setelah kau pulang dari luar negeri, kau belum pernah mengunjungi Ayah." "Aku baru tiga hari di sini, lima tahun aku di luar, ayah juga tidak pernah mengunjungi ku." "Dasar anak
Mutiara dan Renita turun dari mobil kijang Innova yang disupiri Mang Karman, supir perusahaannya. Mobil yang dikendarainya juga mobil dinas perusahaan. Selama bekerja sebagai general manager di PT Sanjaya Sejahtera ini, Mutiara tidak memiliki mobil pribadi, hanya mobil perusahaan yang menemaninya ke setiap acara perusahaan maupun acar pribadinya. "Kita akan mencari gaun pesta di sini saja, Ren." Renita menatap bangunan ruko sederhana di hadapannya ini. Jelas ini adalah toko baju kelas menengah ke bawah, sebagai seorang istri direktur, kenapa Mutiara memilih pakaian dari kalangan seperti ini? Renita bahkan beberapa kali melihat Tommy membawa wanita-wanita simpanannya ke butik mahal. "Di sini pakaiannya juga bagus-bagus. Tidak perlu mahal untuk mendapatkan barang bagus, uangnya bisa kita sisihkan untuk yang lain," ujar Mutiara seperti paham yang dipikirkan oleh bawahannya ini. "Oh, iya Bu. Saya juga terbiasa belanja di toko seperti ini." Ketika masuk ke toko, ternyata toko itu menye