Diaz tersenyum lembut ketika seorang resepsionis mengantarkan tas plastik yang isinya sebuah rantang bekal yang terbuat dari plastik. Diaz memang sudah berpesan pada resepsionis dibawah, nanti kalau ada ojek online yang datang membawa makanan untuknya langsung diantar ke ruangannya. Dengan perlahan lelaki itu membuka rantang tiga susun itu, seketika harum masakan menguar di udara. Itu adalah lontong sayur, dengan lontung dan kuah gulai yang terpisah, lontongnya sudah dipotong dadu, di susunan paling bawah ada kerupuk, bawang goreng dan sambal. Tidak sabar lelaki itu langsung mencampur kuah dan lontong itu ke dalam satu wadah, menuangkan sambal dan menaburkan bawang goreng, sementara kerupuk dia camil begitu saja. Didalam rantang juga sudah disediakan sendok makan plastik, sehingga Diaz tidak perlu menyiapkan tempat makan. Rasanya, hmm ... terasa sangat enak sekali. Mungkin karena ini masakan dia, jadi enaknya jadi bisa berlipat-lipat begini. Di rumah ayahnya dia juga sudah sarapa
Dua hari tidak bertemu dengan sosok Diaz, membuat Mutia sedikit lega karena tidak diganggu lagi dengan lelaki itu. Tetapi sisi hatinya juga merasa ada yang kosong, sepertinya dia juga merasa kehilangan sosok itu. Tak terasa akhir pekan sudah datang, tadi malam dia mendapat telepon dari Walimar tentang kesepakatannya untuk menjadi Caddy golf di daerah puncak Bogor. Pagi-pagi subuh dia harus sudah berangkat memakai kereta api. Daripada akhir pekan menganggur, memang sebaiknya mencari cuan, lagipula Tasya juga sudah pergi dari Jumat kemarin juga ke kawasan puncak. Nanti setelah sampai dia akan menelpon mungkin saja bisa bertemu. Setelah sampai lokasi, sudah ada dua orang wanita cantik yang juga akan menjadi Caddy, mereka masih muda dan energik, mereka berdua adalah seorang mahasiswi yang juga mencari uang dengan melakukan kerja paruh waktu, berempat mereka berbincang-bincang sebelum tamu masing-masing datang. "Nanti tim yang akan main di sini berasal dari Jakarta dan Surabaya,
"Loh, ada Mutia. Dia jadi Caddy golf? sepertinya wanitamu itu unik sekali, dia ahli dalam mengerjakan semua pekerjaan, yang dia tidak bisa hanya menjadi teman tidurmu saja," bisik lelaki di sebelah Diaz sambil tertawa tertahan. "Diam! jaga bicaramu itu!" hardik Diaz tidak tahan dengan suara sumbang lelaki di sebelahnya. Fadil hanya tertawa ngakak melihat reaksi temannya yang marah tersebut, bagaimana tidak marah, menurut Fadil, Diaz ini sudah berusaha habis-habisan tetapi belum juga melihat hasil usahanya. Tetapi dia salut juga, karena temannya ini baru sekarang begitu serius mengejar seorang perempuan walaupun itu masih istri orang. Seharusnya dia juga mulai serius menjalin hubungan dengan perempuan mengingat usianya sudah kepala tiga. Ah, seandainya perempuan itu ketemu lagi, pasti dia akan mengejarnya seperti Diaz mengejar Mutia. "Baiklah, Pak Diaz! hari sudah menjelang siang, bagaimana kita langsung main?" ujar pak Sumargo dengan semangat, apalagi melihat keempat Caddy yang sa
Diaz memilih stik dengan teliti, lelaki itu bahkan mengelap setiap stik yang dipegangnya dengan tissue, Mutia yang sangat awam dengan permainan golf jadi gatal untuk bertanya. "Jadi stik sebanyak ini ternyata semua untuk dipakai oleh mas Diaz sendiri?" tanya wanita itu sambil menghitung semua stik yang ada di dalam tas golf "Iya." "Lah, bolanya kan satu, kenapa harus dipukul sama stik sebanyak ini?" Biasanya Diaz akan sebal jika ada orang bego yang banyak tanya-tanya begini, tetapi entah kenapa setiap perkataan yang keluar dari mulut Mutia, biarpun itu makian tidak membuatnya bosan, apalagi sebal. "Seorang pemain golf itu, biasanya membawa berbagai macam stik golf atau disebut sebagai klub golf, yang memiliki fungsi berbeda-beda. Pemain golf biasanya membawa sekitar 14 klub yang terdiri dari driver, fairway wood, iron, wedge, dan putter. Selain itu, dibutuhkan bola golf, tee, dan tas golf untuk membawa peralatan." "Oh?" Biarpun Mutia tidak paham dengan apa yang dikata
Plakk! "Kau ini memang gak becus, Mutia! Apa sih yang kau pikirkan ini, ha? Kalau begini siapa yang rugi? Perusahaan yang rugi! Sekarang kau bereskan semua kekacauan ini, Paham?!"Wanita yang dipanggil Mutia itu mengusap pipinya yang kini memerah akibat tamparan lelaki di hadapannya ini. Mata wanita itu sudah berkaca-kaca, rasanya malu ditampar di depan umum seperti ini. Namun, lelaki ini mana peduli dengan sekitarnya? Apabila dia marah, di mana pun tempatnya akan diluapkan. Apalagi sekarang dia benar-benar marah besar pada wanita ini."Dengar tidak apa yang kukatakan?" bentak lelaki itu lagi. "Iya, Mas. Maaf, beliau hanya ingin bertemu dan mengobrol dengan Mas sebagai direktur utama PT Sanjaya Sejahtera. Beliau tidak ingin membicarakan bisnis denganku.""Alah, alasan saja kamu! Bilang saja kamu gak bisa kerja! Menemui klien begitu saja tidak bisa!” bentak pria itu lagi. “Aku tidak mau tahu, sekarang kamu bereskan kekacauan ini!"Mutia menunduk dan berujar pelan, "Iya, Mas. Aku aka
"Arrhgg, pelan-pelan, Sayang."Sontak saja jantung Mutiara berdegup sangat cepat. Suara di dalam ruangan ini, terdengar sangat jelas. Suara desahan yang bersahut-sahutan itu, tanpa berpikir pun orang sudah bisa menebak apa yang terjadi di dalam ruangan ini.Mutiara termangu di depan pintu, ruangan itu memang tidak kedap suara. Dulu Pak Herry, Bapak mertuanya sengaja memasang beberapa ventilasi udara agar ruangannya tidak terlalu pengap karena Pak Herry alergi terhadap ruangan ber-AC sejak ginjalnya bermasalah. Tommy belum merenovasi ruangan kerja bekas ayahnya ini. Di lantai tiga ini, hanya dia dan sekretarisnya saja yang bekerja di sini. Dulu ada beberapa karyawan bagian manajemen dan keuangan, tetapi mereka sudah dipindah ke lantai dua dan lantai satu. Mutiara menatap arloji di lengannya, lima menit lagi pukul setengah empat sore. Tidak mungkin dia menunggu aktivitas orang di dalam ruangan itu. Kasak-kusuk yang mengatakan jika suaminya itu ada affair dengan sekretarisnya sudah s
Part 3 "Bu, kenapa ibu masih bertahan dengan Pak Tommy?" tanya Renita Saat ini mereka sedang berada di perjalanan menemui Rio dewanto dari Adiguna Group."Maksud kamu apa, Ren?" "Gak usah pura-pura, Bu. Aku tahu ibu selama ini menderita. Apalagi Pak Tommy sekarang sedang asyik berselingkuh dengan Clarisa. Kenapa ibu tidak membebaskan diri dari lelaki seperti itu?" Renita benar-benar geram dengan sikap Mutiara. Bagaimana wanita ini bisa bertahan dengan pernikahan toxic seperti ini "Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Ren. Siapa yang tidak ingin bahagia, siapa yang tidak ingin bebas dari suami yang seperti itu? Tetapi tidak segampang itu bicara. Jika aku sampai meminta cerai pada Tommy, aku harus membayar dendanya. Bukan main-main, jumlahnya satu miliar. Dari mana aku punya uang segitu?" "Ha? Kok bisa?" "Ah, sudahlah. Tidak perlu memikirkan masalah itu. Sebaiknya kita bicarakan masalah pekerjaan. Apakah kamu pernah bertemu pak Rio sebelumnya?" Renita menghela napas kesal, sungguh pen
Part 4 "Pak, Tuan Hadi dari tadi menelpon anda, apakah akan anda angkat?" "Huh, angkatlah!" Hembusan napas kesal terdengar dari lelaki yang duduk di bangku belakang. Mata lelaki itu menatap ke luar jendela mobil, kota ini masih sama seperti lima tahun yang lalu, belum ada perubahan yang signifikan. Jalanan masih saja macet, hanya saja moda transfortasi publik cukup mengurangi kemacetan, tidak selama lima tahun yang lalu. "Halo, iya, Pak ... Iya, beliau ada di sini," ujar lelaki yang duduk di sebelah kemudi. "Pak, ini ... Tuan Hadi ingin bicara." Lelaki itu mengangsurkan ponselnya ke arah atasannya yang duduk di belakang. "Iya, ada apa, Ayah?" jawab lelaki itu setelah menerima telepon. "Dari tadi ayah telepon, kenapa kau tidak mengangkatnya?" "Aku tidak dengar, ponselnya ku silent kalau rapat." "Diaz, setelah kau pulang dari luar negeri, kau belum pernah mengunjungi Ayah." "Aku baru tiga hari di sini, lima tahun aku di luar, ayah juga tidak pernah mengunjungi ku." "Dasar anak