Sekitar pukul sembilan tepat, Laila sudah tampil rapi. Hari itu, dia mengenakan celana kulot yang dipadukan dengan kemeja berlapis blazer. Laila juga menyanggul rapi rambut panjangnya. Sehingga, penampilan wanita dua puluh lima tahun tersebut terlihat sangat elegan. Sebelum berangkat ke pabrik, Laila sempat berpesan kepada Kartika. Wanita paruh baya tersebut sudah paham akan tugasnya.
“Sudah siap, Non?” tanya Widura, yang hari itu akan menemani Laila mengikuti pertemuan dengan para pimpinan direksi F2T. Widura juga berpenampilan lebih rapi dari biasanya.
“Sudah, Pak,” sahut Laila sambil menggantungkan tali hand bag di lengan kiri. Saat itu, tatapannya tertuju pada Mayang yang datang menghampiri. Laila tiba-tiba merasakan gemuruh dalam dada yang teramat dahsyat. Andai bisa, dia akan langsung menghampiri wanita paruh baya itu untuk mengajaknya berkelahi secara terang-terangan. Namun, Laila sadar bahwa dirinya tak boleh bertindak gegabah.&nbs
Laila berdiri dari duduknya. Dia melangkah anggun ke hadapan Aries, dengan sorot penuh intimidasi terhadap pria itu. Untuk beberapa saat, wanita cantik bertubuh semampai tersebut tak mengatakan apa pun. Namun, tatapannya sudah dapat mewakili segala hal. Kemarahan Laila terhadap sang mantan suami tak akan pernah sirna. Rasa sakit atas semua penghinaan yang dirinya terima, masih berbekas hingga saat ini. Untunglah, karena takdir baik berpihak padanya. Bagai dalam kisah film, siapa yang menyangka bahwa Laila bisa berada di puncak dunia melebihi orang-orang yang kerap meremehkannya. “Kamu mau mengundurkan diri? Tak masalah. Di kota ini ada banyak orang yang jauh lebih kompeten. Aku tidak akan merasa rugi, karena sudah menggaji pegawai yang bisa diandalkan. Bukan pecundang malas sepertimu.” Berhubung mereka hanya berdua di ruangan itu, Laila memuaskan diri melayangkan celaan terhadap sang mantan suami. “Hentikan, La!” sergah Aries.“Bentak aku, maka kupastikan kamu akan membusuk di dala
“Apa?” Laila bergegas mengikuti Niar ke dalam rumah. Baru saja tiba di ambang pintu, Laila seketika tertegun. Suasana rumah yang dulu pernah dia tinggali, tampak sangat berbeda. Di sana, menjadi jauh lebih berantakan. “Maaf, Mbak. Aku sibuk sekolah. Pulang sekolah langsung ke rumah Bu Ratmi,” ucap Niar, yang seakan paham dengan ekspresi Laila. “Untuk apa kamu ke rumah Bu Ratmi?” tanya Laila, seraya menoleh kepada Niar. “Mbak tahu ‘kan, suami Bu Ratmi jadi pemasok kain kasa ke beberapa rumah sakit? Aku bantu melipat di sana sampai jam delapan malam. Lumayan, Mbak. Sehari bisa dapat tiga puluh ribu,” terang Niar polos. Terenyuh hati Laila mendengar penuturan gadis remaja itu. Bagaimanapun juga, dulu dia dan Niar sangat dekat, meski usia mereka terpaut jauh. Niar juga bukan seorang pembangkang. Karakternya hampir mirip seperti Suratman. “Bagaimana dengan biaya sekolah kamu?” tanya Laila menahan iba dalam hatinya.&nbs
Laila sudah tiba di rumah. Tanpa banyak bicara, dia langsung menuju kamarnya. Hati dan pikiran wanita cantik dua puluh lima tahun itu, sedang tidak baik-baik saja. Sekembalinya dari rumah Aries, dia menjadi begitu galau. Apa yang melanda hati Laila saat ini, berkaitan dengan Suratman. Jauh di lubuk hati terdalam, dia tak tega harus memenjarakan pria yang selalu menyayangi serta bersikap sangat perhatian tersebut.Namun, bila teringat bahwa Suratman telah membawa lari dirinya, maka kemarahan kembali hadir dalam dada Laila.Sambil duduk terpekur, Laila meneteskan air mata yang lagi-lagi hanya dirinya nikmati seorang diri. Segala kenyamanan serta harta kekayaan melimpah yang dimiliki saat ini, ternyata tak mampu membuatnya merasa jauh lebih tenang.Dalam kesendirian tadi, seluruh lamunan Laila tiba-tiba menjadi buyar. Wanita cantik berambut panjang itu segera menyeka air mata, saat mendengar suara ketukan di pintu. Terlebih, setelah mendengar suara Widura
“Apa yang ingin Anda beritahukan kepada saya, Nona?” tanya Widura penasaran.“Sejak kapan Om Adnan mengambil alih kendali, di perusahaan tambang milik ayah saya?” tanya Laila serius.“Dari semenjak Pak Reswara mulai sakit-sakitan. Sekitar satu tahun yang lalu. Kondisi beliau makin lama semakin lemah, hingga akhirnya seperti yang Anda lihat saat pertama kali datang ke rumah ini,” jelas Widura.“Apa yang dokter katakan tentang penyakit ayah saya?” tanya Laila lagi.“Dari yang saya ketahui, Pak Reswara memang sudah menderita komplikasi sejak lama. Belakangan, ada beberapa penyakit yang dinyatakan parah oleh dokter dan … saya tahu Anda pasti sangat penasaran, Nona. Akan tetapi, saya tak ingi
“Apa? Pengawal pribadi?” Aries cukup terkejut mendengar jawaban Laila.“Ya. Memangnya kenapa? Kamu tidak suka? Terserah.” Laila membalikkan badan, karena perbincangan mereka sudah selesai.Melihat Laila hendak berlalu dari hadapannya, Aries langsung mencegah. “Tunggu, La!” Dia meraih pergelangan tangan Laila. Sesaat kemudian, barulah dia sadar dengan apa yang dilakukannya. Pria itu segera melepaskan genggaman, lalu mundur. “Maaf, La."Akan tetapi, Laila tak menanggapi. Dia hanya menatap tajam pada mantan suaminya.“Aku menempuh perjalanan lebih dari lima belas menit hingga sampai di sini. Apakah cuma itu yang mau kamu katakan?” tanya Aries, yang menyesalkan sikap angkuh Laila.
Laila terpaksa menoleh. Namun, dia tak memedulikan pria yang tak lain adalah Pramoedya. Entah sedang apa pria itu di sana, bersama anak-anak panti. Laila bergegas menuju halaman parkir. Dia tak ingin Pramoedya sampai mengetahui bahwa dirinya menjadi salah tingkah, karena debaran aneh dalam dada.“Ucapan selamat tinggal bukan berarti kita tidak bisa berjumpa lagi," ucap Pramoedya, yang seketika membuat Laila tertegun."Sedang apa kamu di sini?" tanya Laila, tanpa menoleh pada Pramoedya yang menghampirinya."Aku sudah biasa datang kemari. Lihatlah. Anak-anak itu menyukaiku." Pramoedya tersenyum kalem."Menyebalkan!" umpat Laila pelan. Tanpa menoleh, dia melanjutkan langkah ke halaman parkir.Namun, sepertinya Pramoedya tak ingin menyerah. Dia mengejar sosok semampai tadi, hingga berhasil mencekal pergelangannya. Sementara, anak-anak kecil di belakang sana terus memperhatikan sambil bersorak. “Aku tak akan membiarkanmu pe
"Om Adnan?" ulang Laila tak percaya. Pukulan telak bagi wanita muda itu, karena ternyata sang paman sendiri yang menjadi otak dari kejahatan terhadap dirinya. Namun, Laila jadi berpikir. Jika memang Adnan yang sengaja menyingkirkan dia dari kediaman Keluarga Hadyan, lalu mengapa pria itu membawanya kembali ke sana?"Apa lagi yang Bapak ketahui?" tanya Laila setengah mendesak ayahanda Aries, yang kembali tertunduk di hadapannya.Suratman menggeleng. "Tidak ada," jawabnya."Bohong!" sentak Laila tiba-tiba. Dia berdiri sambil menggebrak meja. Tindakannya telah membuat beberapa petugas, serta orang-orang yang ada di ruangan itu seketika menoleh dengan sorot penuh keheranan."Tenanglah, La," bujuk Aries. Dia berusaha membuat Laila agar duduk kembali. "Jangan permalukan dirimu seperti itu," bisik Aries.Laila tidak menanggapi. Dia yang sudah kembali duduk, hanya mendelik sekilas kepada sang mantan suami. Wanita cantik berambut pan
“Apa?” Mayang sontak berdiri. Dia bahkan belum selesai memasang rol di rambutnya. Ibunda Marinka tersebut membelalakan mata, lalu beralih tempat duduk ke sebelah Adnan. “Mau apa dia ke sana?” Pertanyaan yang tak harus dilontarkan, karena dia pasti sudah mengetahui jawabannya.“Apa pun yang menjadi alasan Laila menemui Suratman, itu pasti akan berakhir dengan kerugian bagi kita. Kenapa dulu aku tidak terpikir untuk melenyapkan satpam itu, setelah dia membawa Laila pergi dari sini?” Adnan mendengkus kesal sambil meraup kasar rambutnya.“Papa ini bagaimana? Dulu Mama sudah pernah menyarankan seperti itu,” ujar Mayang seraya menghadapkan tubuh ke depan. “Akan tetapi, jika sampai kita kehilangan jejak Suratman, maka kita juga tidak akan bisa membawa Laila kembali ke rumah ini. Sedangkan, Papa tahu sendiri bahwa kunci brankas milik Reswara ada pada putrinya. Hhh! Mama jadi pusing memikirkan itu! Kenapa tidak a