"Ibu nanya kenapa saya bisa kerja di sini, kan? Apa hal ini juga ibu tanyakan pada semua karyawan di sini?" Ratu mulai terlihat santai dan tenang. "Ngomong nggak usah pakai muter-muter! Jawab saja pertanyaan saya!" Sonia memajukan wajahnya yang semakin geram pada Ratu. "Bu Sonia kenapa, sih? Kok pengen tau banget tentang saya? Apa .... saya ini jadi ancaman bagi kehidupan ibu?' Ratu tersenyum miring hingga membuat Sonia makin meradang. "Kamu itu benar-benar menyebalkan!" umpat Sonia, lalu menoleh ke pintu saat mendengar seseorang masuk ke ruangannya. "Pagi, Bu Sonia, ini berkas yang lbu minta." "Letakkan saja di mejaku!" pinta Sonia pada sekretarisnya. "Maaf, Bu Sonia. Pak Raihan minta ibu segera ke ruangannya." "Astaga! Pak Raihan sudah datang?" Seketika Sonia panik, karena kemarin Raihan memintanya meletakkan berkas itu di meja, sebelum CEO itu datang. "Heh, Khairatun! Urusan kita belum selesai!" Setelah mendelikkan matanya pada Ratu, Sonia bergegas keluar dari ruangannya.
"Mama ..." Desisan pelan nyaris tak terdengar dari mulut Ratu. Tubuhnya membeku melihat wanita yang kini berdiri tepat di depannya. Sisi hatinya di dalam sana sangat ingin memeluk wanita cantik itu. Ada rasa penyesalan yang begitu besar Ratu rasakan saat ini. Dulu, ia sering kali membantah ucapan Maira. Dulu, ia sering membuat wanita itu menangis karena kelakuannya. Kini, dadanya begitu sesak mengingat semua itu. Andai saja waktu bisa kembali ke masa lalu, ia ingin sekali membuat bangga Maira dan menjadi anak yang patuh. Berbeda dengan Maira. Wanita paruh baya itu lebih pandai menguasai diri. Meski sempat terkejut dan mematung beberapa saat, ia bisa dengan cepat tersenyum dan mengangguk pada semua yang ada di sana. "Mau bertemu Pak Raihan atau Bu Sonia, Bu?" Wanita yang bertugas sebagai resepsionis langsung berdiri dan mengangguk ramah pada Maira. "Pak Raihan," jawab Maira. Sementara ekor matanya melirik ke arah Ratu yang masih memandangnya lekat. "Oh ya, Bu. Dengan Ibu siapa?" t
"Eh, dengar-dengar si Hamid habis nikah sama istrinya itu jadi jarang pulang ya?”Langkah Analea terhenti saat mendengar nama suaminya disebut ketika ia ingin keluar membeli sayur. Wanita sederhana berusia 24 tahun yang mengenakan daster murahan itu terpaku di balik pintu. Rambut panjangnya yang hitam ia selipkan di balik telinga, ingin mempertajam pendengaran tentang obrolan itu."Beneran, Mbak?” Suara lain menyahut. “Tapi nggak heran sih. Aku malah dengar kalau istrinya Hamid itu anak pelacur!" Dada Analea semakin sesak mendengar kalimat yang keluar dari mulut para tetangganya itu. Tubuhnya yang tadi tegak, seketika lemas."Ih, kalau ibunya pelacur, jangan-jangan anaknya nggak perawan lagi."Terdengar suara tawa mengejek dari beberapa tetangga lain yang sedang memilih sayuran."Wah, kalau gitu kasian Hamid, dong. Dapat istri udah nggak perawan. Duh, mana anaknya Bu Irma itu gantengnya selangit, kerja kantoran pula. Sayang banget malah nikah sama pelacur." "Waduh! Jangan-jangan si
"Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”DEG!Sepasang mata Analea membelalak. Mendengar tuduhan sang suami, hati wanita itu seperti tertusuk ratusan belati."Astaghfirullah, Mas. kenapa Kamu berpikir seperti itu?!” Analea mengelus dadanya yang terasa nyeri. Ia tidak menduga Hamid akan mengatakan menuduhnya seperti itu. “Demi Tuhan, Mas. Aku masih suci! Kamu adalah satu-satunya pria yang mendapatkan kesucianku secara sah.” Ia berusaha meyakinkan suaminya. "Tidak perlu bawa-bawa nama Tuhan di hadapanku!” bentak Hamid. “Buktinya, malam itu tidak ada bercak darah di ranjang kita!" Kedua tangan Analea makin menekan dada, menahan rasa nyeri yang luar biasa.. Lagi-lagi ia tak menduga suaminya mengatakan dia tidak perawan karena tidak ada bercak darah di ranjang mereka. Padahal, ia tidak pernah berhubungan badan dengan siapa pun sebelum menikah dengan Hamid. Namun, kini, semua tampak masuk akal. Sejak malam itu, Hamid berubah dingin padanya. Suaminya tersebut tidak per
“Bisa-bisanya dia menuduhku berzina sebelum menikah, sementara ia justru berselingkuh di belakangku." Analea berguman pada dirinya sendiri. Seketika dadanya merasakan sesak dan nyeri. Kedua tangan Analea mengepal erat karena geram. Sekian detik kemudian, Analea melangkah mendekati pintu, lalu menggedornya dengan sedikit kasar. Tidak ada jawaban. Cukup lama ia menunggu. Setelah berkali-kali mengetuk, akhirnya pintu itu terbuka dan muncullah seorang wanita. Analea tertegun, merasa tidak asing dengan sosok wanita yang tengah berpenampilan seksi tersebut–atau lebih tepatnya, wanita itu belum mengenakan pakaiannya dengan benar. Wanita itu pernah beberapa kali Analea temui di rumah Hamid sejak ia belum menikah. Dulu, Analea sempat terheran dengan sambutan ibu mertuanya yang selalu hangat setiap wanita itu datang. Jauh berbeda ketika ia yang datang dan selalu disambut dengan dingin. "Nandita, Siapa-?” Ketegaran dan sorot dingin yang sejak tadi berusaha ditampilkan oleh Analea serta usa
"Memang dasar perempuan nggak benar!” Analea terdiam saat mendapatkan sorotan tajam dan sinis dari ibu mertuanya. Namun, ia mencoba untuk tetap sopan meskipun sama sekali tidak mendapatkan respons baik dari Bu Irma. "Ibu ... asalamualaikum!" Analea berucap lirih. Ia terpaksa menunda untuk masuk ke kamarnya. Padahal ia sangat ingin merebahkan tubuhnya sejenak. Tubuh Analea terasa lelah setelah menghadapi serentetan kejadian tadi, dan kini, ia pun harus menghadapi bentakan sekaligus tuduhan dari sang ibu mertua. "Ternyata benar apa yang digunjing orang-orang tentang ka–” "Bu ... Aku baru saja melabrak Mas Hamid.” Analea segera menyanggah ucapan Bu Irma yang tampaknya selalu ingin memojokkannya. “Dia semalam tidur dengan perempuan lain, Bu." Meskipun Bu Irma selalu terkesan tidak menyukainya, Analea berpikir bahwa saat wanita paruh baya itu mendengar kelakuan anaknya di luar sana, Bu Irma akan terkejut dan bersimpati pada Analea. Namun, ibu mertuanya itu malah tersenyum sinis– dan
"Ternyata di sini tempat Mas Hamid dan perempuan bernama Nandita itu bekerja." Beberapa hari setelah ia mendapati suaminya tidur dengan perempuan lain, Analea memutuskan untuk keluar rumah–dan kini berdiri di depan sebuah gedung bertingkat bertuliskan PT Bina Sanjaya. Ia telah melakukan sedikit penyelidikan mengenai perempuan yang tidur dengan suaminya tempo hari. Analea bertekad akan menggugat cerai Hamid jika ia tidak bisa membuat pria itu menceraikannya. Salah satu caranya adalah dengan menyewa pengacara dan mengumpulkan bukti perselingkuhan. Namun, untuk melakukannya, ia butuh uang, Oleh karena itu, sejak beberapa hari yang lalu, berbekal pendidikan sarjananya, Analea sibuk mengirim lamaran kerja ke beberapa perusahaan, dan pagi ini PT Bina Sanjaya memanggilnya untuk melakukan wawancara. Ia sama sekali tidak menduga sebelumnya bahwa ternyata suami dan selingkuhannya bekerja di perusahaan yang sama. Begitu banyak kesempatan yang mereka peroleh untuk berhubungan di belakang Anal
"Aku jamin istrimu itu tidak akan diterima di sini." Wanita yang hobi memakai rok mini itu memang memiliki sedikit memiliki kuasa di PT Bina Sanjaya. Ia berniat memanfaatkan jabatannya selaku salah satu manajer untuk membuat Analea sulit diterima di perusahaan tersebut. Hamid mengangguk dengan wajah tak terbaca. Pikirannya masih terus tertuju pada Analea. Wanita yang sebenarnya masih ia cintai. Namun, egonya sebagai laki-laki benar-benar terasa diinjak-injak apabila bersama Analea saat ini. Di sisi lain, Analea telah sampai di ruang tunggu yang terletak di dekat ruang auditorium. Ruang tersebut cukup luas dan diisi oleh puluhan pelamar yang hendak wawancara. Analea mengedarkan pandangannya pada para wanita yang memiliki tujuan sama dengannya. Wanita itu meringis membandingkan penampilan dirinya dengan pelamar lain. Pakaian yang ia kenakan sangat berbeda dari yang lainnya. Bukan karena lebih bagus, melainkan karena modelnya yang terlalu sederhana serta warna yang sedikit mencolok.