Komentar dong yang baca cerita ini
Hari sudah malam semua orang kini sudah siap akan menjemput alam mimpinya. Tapi berbeda dengan Rendra yang sama sekali tidak mengantuk. Pikirannya saat ini tertuju pada istri keduanya. Dia belum mendapat kabar jika istrinya sudah pulang atau belum ke apartemennya. Untuk itu ia akan turun ke lantai di mana Naira berada. "Mas, kamu mau ke mana?" tanya Bianca ketika melihat Rendra yang sudah siap pergi ke luar. "Aku mau ke unit apartemen Naira, aku ingin memastikan apakah dia sudah pulang apa belum," balas Rendra dengan jujur. Dia tidak pernah menyembunyikan apapun dari Bianca. "Apa! Mau ke unit apartemen Naira. Aku gak salah denger?" Bianca tidak suka mendengar Rendra akan pergi menemui Naira. Padahal baru satu hari Naira bangun dari koma tapi sudah berhasil membuat dirinya naik darah. "Kamu gak salah denger, memangnya kenapa?" tanya Rendra balik. Menurutnya, apa yang dilakukannya saat ini tidak salah. "Mas, kamu jangan egois seperti ini. Sebelumnya kita sudah membuat kesepakatan,
"Aku harus ke apartemen Bianca." Naira kembali diingatkan tentang statusnya saat ini sebagai madu oleh suaminya dan setelah kejadian kemarin. Dia sudah mengambil keputusan jika dia lebih memilih untuk bercerai dan kembali ke rumah orangtuanya di desa. "Mas, aku ingin memberitahukan soal keputusanku," kata Naira. "Nanti saja. Hari ini aku ada urusan penting," balas Rendra. "Tapi, Mas…" "Jangan lakukan hal seperti yang kemarin. Beruntung kamu tidak sakit sekarang." "Aku tetap ada keputusanku, aku ingin kita berpisah. Aku tidak ingin menyakiti Mbak Bianca." "Aku akan memberikan waktu selama satu minggu. Aku harap kamu berubah pikiran." Naira tersenyum getir dengan ucapan suaminya, alasan apa yang membuat dirinya harus berubah pikiran. Dirinya sudah pasrah dengan keadaannya sekarang. Anak yang ia perjuangkan hidup dan mati. Tidak mengenalinya sebagai ibu kandungnya karena dia koma. Bukan hanya itu, dia juga mengetahui fakta bahwa dia bukanlah istri pertama melainkan istri kedua.
Hari ini, Rendra memutuskan pulang lebih cepat dari hari-hari sebelumnya. Mungkin setelah kejadian di mana dia kembali dari apartemen istri keduanya, entah kenapa Rendra merasakan perasaan yang berbeda. Rasanya ada sesuatu yang membuat dirinya kembali meneguk madu bersama dengan istri keduanya. Namun sepertinya, saat Rendra sampai di apartemen Naira dia tidak menemukan istri keduanya itu. "Di mana Naira? Apakah dia menemui Keyla?" tanya Rendra. "Aku akan bertanya pada Bi Nimah, bukankah aku tadi menyuruhnya untuk datang ke sini. Pasti Bi Nn Nimah tahu di mana dia berada." Rendra kembali meninggalkan apartemen Naira memutuskan untuk pulang ke apartemennya bersama dengan Bianca. "Tuan udah pulang?" tanya Bi Nimah. "Bibi tahu di mana Naira?" Tanya Rendra langsung to the point. Bi Nimah yang langsung mendapat pertanyaan dari Rendra pun bingung. Jika dia mengatakan yang sejujurnya atau tidak perihal Naira yang pulang kampung. "Bibi jawab pertanyaan saya. Apakah Bibi tahu kemana Nair
Naira berjalan ke pemakaman kedua orang tuanya dengan langkah gontai lemas. Di area pemakaman umum itu. Naira mencari nama makam ke dua orang tuanya. Dan setelah menemukannya Naira langsung berjongkok dan mengusap nisan dengan tulisan nama ayah dan ibunya. "Ibu… Bapak…" air mata Naira secara perlahan kembali membasahi pipinya. "Kenapa kalian ninggalin, aku." "Sekarang aku sama siapa? Kalian pergi, anak yang aku lahirkan beberapa tahun yang lalu tidak tahu jika aku adalah ibunya. Anakku dia menganggap orang lain sebagai ibunya. Hatiku rasanya sangat sakit sekali." "Dan suamiku, dia ternyata sudah punya istri sebelum menikah denganku. "Aku bingung harus gimana, bertahan atau menyerah." "Ibu Bapak, andaikan kalian masih hidup. Aku yakin aku bisa kuat menjalani hidup dan berusaha menerima kenyataan ini. Tapi, kenapa kalian pergi. Kini aku tidak punya tempat lagi bersandar, siapa yang akan menjadi penghibur hati ini." Naira menangis tersedu-sedu. Angin mulai berhembus terasa dingin
Naira begitu merindukan Keyla rasanya dia ingin pergi ke Jakarta untuk menemui anak perempuannya itu. Namun, jangankan untuk pergi ke Jakarta. Uang untuk kehidupannya sehari-hari saja Naira tidak cukup. Dia harus mencari pekerjaan serabutan, hidupnya benar-benar susah. Sebenarnya Naira ingin menjual tanah mendiang ibunya untuk di jadikanya modal usaha. Namun semua itu tidak mudah. Menjual tanah bukan seperti menjual makanan yang ditawarkan bisa langsung dibeli dan dapat uang saat itu. "Naira!" panggil Bi Sari. Wanita yang menjodohkan Naira dengan Rendra. "Iya Bi," sahut Naira. Naira yang mau berangkat ke kebun harus terhenti karena berpapasan dengan Bi sari di jalan. "Bibi dengar, katanya kamu sudah cerai ya sama laki-laki kaya itu?" tanya Bi sari dengan raut wajah penasarannya. "Iya, Bi," balas Naira dengan nada tidak yakin. "Udah berapa lama kamu cerai?" tanyanya lagi. Naira yang mendengar pertanyaan Bi Sari seketika perasaannya tiba-tiba saja tidak enak. "Baru, Bi. Memangnya
Naira tertawa hambar dengan jawaban suaminya, gara-gara dia tidak mau menuruti keinginannya untuk tetap menjadi istri keduanya. Rendra menghukum dirinya seberat ini, ibu manapun di dunia ini tidak akan pernah ada yang mau dipisahkan dengan anaknya. Lalu jika seperti ini apakah dia masih bisa dengan pendiriannya, meminta cerai kepada suaminya. Apakah dia rela dibenci seumur hidupnya oleh anak kandungnya sendiri. Berpisah dengan jarak yang jauh saja sudah menyiksa batinnya apalagi jika kenyataan itu terjadi. "Baiklah, aku akan kembali sama kamu. Tapi aku minta, Keyla sama aku," Rendra menyeringai senang mendengar perkataan Naira yang mau kembali dengan dirinya. Entahlah setelah melakukan penyatuan waktu itu. Ada rasa yang tidak bisa dijelaskan. "Kalau begitu ayo kita pulang. Soal kebun orang tua kamu, aku akan memerintahkan seseorang untuk mengelolanya dan penghasilannya akan disetorkan sama kamu." "Tapi, Mas. Kamu harus janji sama aku. Jika kita sudah memiliki anak laki-laki aku in
"Dengarkan aku Bianca, mulai sekarang Naira akan tinggal bersama dengan kita." "Tinggal bersama dengan kita? Kamu jangan bercanda. Kamu pikir aku mau tinggal sama dia?" tunjuk Bianca. "Gak Sudi!" ucap Bianca dengan ekspresi jijik. "Mas, tidak apa-apa. Aku juga tidak ingin tinggal di sini." Naira berusaha melerai perdebatan suaminya dengan istri pertamanya itu. "Tidak!" Rendra menolak keputusan istri keduanya itu. "Naira, kamu duduk di sini dulu. Aku dan Bianca akan bicara." Rendra menarik tangan Bianca dan mengajaknya untuk bicara berdua di kamar mereka. Di dalam kamar, Bianca menghempaskan tangannya dari cekalan Rendra suaminya. "Lepasin aku, Mas!" "Dengarkan aku dulu Bianca, kamu sudah setuju untuk aku menjemput Naira. Lalu sekarang kenapa kamu marah-marah?" "Memang awalnya aku setuju kamu menjemput Naira lagi. Tapi bukan berarti dia juga tinggal bersama aku. Bersama dengan kita, tugasnya itu hanya melahirkan anak laki-laki untukmu. Bukan menjadi istri sesungguhnya buat ka
Naira mencoba menerima kehidupannya sebagai pengasuh anaknya sendiri, meskipun Rendra belum memberi tahu Keyla bahwa dia adalah Ibu kandungnya. Naira mencoba bersabar dan tidak membutuhkan waktu yang lama mereka sudah akrab dan dekat. Mungkin karena ikatan ibu dan anak yang membuat keduanya hanya dalam hitungan Minggu keduanya sudah lengket. Seperti siang ini setelah sekolah Keyla tanpa ragu meminta makanan yang diinginkannya pada Naira. "Mba, aku mau makan." Keyla memegang perutnya yang berbunyi. "Keyla lapar?" tanya Naira lembut. "Iya, Keyla lapar. Mba bisa buatin aku chiken katsu gak? Key mau makan itu, minta sama Bunda. Bunda gak bisa masak." Naira tertawa pelan mendengar curhatan anaknya yang ingin makan chiken katsu akan tetapi Bianca tidak bisa membuatkannya. "Baiklah, Mba bakal buatin Key chiken katsu. Tapi Keyla ganti baju dulu ya." Naira mengelus pipi chubby Keyla lembut. "Oke!" Keyla dengan penuh semangat memanggil Bi Nimah untuk membantunya berganti pakaian. "Bibi, b