Elisa masih terduduk lesu dengan air mata yang terus membanjiri wajah cantiknya Perasaan marah sekaligus hancur karena ucapan Airin masih tergambar jelas di depan matanya. Bagaimana wanita itu memakinya tadi. Namun, ia sekuat mungkin bertahan untuk tidak terpancing. Hingga akhirnya pertahanannya runtuh ketika Airin menyinggung soal Roy yang langsung membuatnya tidak terima.Tak lama, terdengar pintu terbuka dari luar, kedua orang tuanya masuk, dan saat itu pula mereka di buat heran dengan penampilan wajah Elisa yang terlihat sembab. Meski wanita hamil itu berusaha bersikap biasa saja, namun Nyonya Sintia tetap saja merasakan kesedihan yang tengah putrinya rasakan."El, kau tak apa-apa kan? Apa ada sesuatu yang terjadi dengan Roy?" tanya Nyonya Sintia seraya membantu putrinya untuk bangkit. Elisa hanya menurut dan mengikuti sang mami yang membimbingnya untuk duduk lagi di sebelah ranjang yang Roy tempati."Aku tidak apa-apa, Mi. Tadi hanya– ...?" Sejenak ia bingung harus menjelaskan ba
Riska bersorak senang setelah berhasil mengirimkan video itu ke nomor Airin. Di tambah lagi laporan dari orang suruhannya yang mengatakan jika sudah terjadi pertengkaran hebat antara Alex, Airin, dan Elisa di rumah sakit. Ia tidak bisa membayangkan seheboh apa tadi di ruangan itu. Sampai-sampai gelak tawanya memenuhi langit-langit ruangan. Sesaat perempuan itu lupa jika saat ini ia masih berada di kantor. Riska terlalu senang, hingga baru menyadari pintu ruangannya terbuka dengan sangat keras. Brakkk! Papa Bara masuk dengan wajah memerah dan gigi yang gemeletuk menakutkan. Pria paruh baya itu langsung berdiri tegap, lantas melemparkan sebuah kertas putih tepat di hadapan putrinya. "Jelaskan, apa ini!" Riska yang belum mengetahui apa-apa hanya menatap bingung pada kertas putih di depannya. "Ini apa, Pa?" tanya Riska kembali. Di raihnya lipatan kertas yang bertuliskan nama salah satu rumah sakit, selanjutnya ia baru tersadar saat mengingatnya. Jantung Riska berdetak lebih cepat, m
"Kau yakin akan meneruskan misi ini secepatnya?" tanya Arya sekali lagi. Saat ini keduanya berada di ruangan Alex. Dua lelaki itu sudah berunding sejak tadi mengenai rencana yang sempat tertunda karena kecelakaan Roy. Dan Alex memutuskan untuk tetap meneruskannya, meski ia sendiri belum yakin apa sanggup menjalankannya tanpa bantuan lelaki itu. "Baiklah. Tapi, sebaiknya kita lebih hati-hati lagi, Lex. Aku tidak ingin kejadian yang menimpa Roy, menimpa kita juga." Arya terus berusaha mengingatkan. Selain itu ia juga sudah menugaskan beberapa orang untuk berjaga dan mengawasi ruangan Roy dari jarak jauh. "Apa ada laporan yang mencurigakan dari orang suruhan kita?" Sesaat Alex mengehentikan tangannya yang sejak tadi bermain-main di papan ketik itu. Pandangannya serius menatap ke arah lelaki yang ada di sebelahnya. "Belum ada, Tuan. Tapi ....?" Sejenak Alex mencoba mengingatnya lagi. Malam itu ia baru saja tiba di rumah sakit setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di kantor. Alex yang
"Jadi, maksudmu ...? Ya Tuhan .... kenapa tega sekali tidak memberitahuku dari awal!" Airin sampai geram sendiri mengetahui Alex menyembunyikan hal sepenting itu darinya. "Maaf, aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir." Bukannya tersanjung oleh ungkapan suaminya baru saja, Airin malah meleotot dan terlihat sangat marah. "Jadi, kamu mengkhawatirkanku, begitu? Lantas, bagaimana dengan Elisa?" ucapnya dengan wajah yang berapi-api. "Elisa, maksudmu?" Alex masih tidak mengerti jalan pikiran wanita itu. Kenapa mendadak menyinggung nama Elisa? Apa mungkin ia cemburu dengan wanita itu lagi? "Maksudku, kamu sengaja mengorbankan Elisa!" tanya Airin dengan wajah yang sudah di liputi emosi. Sungguh ia tidak akan terima jika Elisa di perlakukan seperti itu. "Bukan begitu maksudku." Alex lebih mendekat lagi. Mensejajari istrinya yang tengah duduk di atas ranjang, "Roy memang membatuku, tapi atas permintaan dari Tuan Arya." Airin merasa sedikit lega mendengarnya. Namun saat ia mengingat kesala
Setelah meluruskan kesalahpahaman yang selama ini terjadi, akhirnya Airin bisa bernapas lega karena Elisa sudah benar-benar memaafkannya seperti perkataan Alex waktu itu. Entah apa yang membuat Elisa sampai berubah sedratis itu, yang pasti Elisa sekarang terlihat lebih dewasa dan mandiri. Berbeda sekali dengan sifatnya dahulu yang terkesan manja, menyebalkan, dan bertindak sesuka hati. Airin sampai melongo di buatnya, padahal ia sudah khawatir jika wanita itu akan marah dan membalasnya tak kalah sengit, nyatanya Elisa hanya tersenyum dan langsung memaafkannya dengan mudah. "Aku sudah memaafkanmu, bahkan sebelum kau meminta maaf." Ucapan Elisa terdengar tulus dan tanpa paksaan sama sekali. Airin yang semula ragu akhirya langsung memeluk tubuh sahabatnya itu dengan perasaan lega. "Sekali lagi maafkan aku, El. Aku bodoh karena lebih mempercayai orang lain ketimbang sahabatku sendiri." Mereka berbaikan tepat di ruangan itu juga. Tempat di mana terjadi keributan beberapa hari yang lalu
Nyonya Sintia terjaga saat tiba-tiba ia seperti mendengar suara orang yang tengah memanggil. Ia coba mendengar lebih jelas lagi di mana asal suara itu, lantas ia begitu terkejut karena yang memanggilnya sedari tadi adalah putrinya sendiri. "Mi, sakit ...!" Elisa merintih, meraskan kontraksi itu yang tiba-tiba datang lagi. Nyonya Sintia segera bangkit dan menghampiri Elisa yang sudah terlihat sangat kesakitan. "Maafkan Mami, El." Nyonya Sintia ingin segera menekan tombol yang ada di samping ranjang untuk memberikan informasi pada dokter agar segera datang. Namun, belum sempat tangannya sampai ke tombol tersebut, Elisa sudah lebih dulu mencegahnya. "Tidak perlu memanggil Dokter, Mi. El baik-baik saja," cegah Elisa. Meski berulangkali ia meringis menahannya. "Tidak apa-apa bagaimana? Kau kesakitan, El! Mami tidak tega melihatmu seperti ini." Perempuan paruh baya itu tidak habis pikir dengan jalan pikiran putrinya, kenapa Elisa malah menolak saat ia akan memanggil dokter? "Aku hanya t
Setelah melalui drama panjang lebih dahulu, akhirnya Airin dan Alex tiba di rumah sakit tepat pukul tiga malam. Mereka bergegas melalui lorong-lorong yang sepi untuk menuju ke ruang rawat Roy. Tiba di sana Airin terlihat terkejut mendapati Elisa masih duduk di samping ranjang suaminya. Ia pikir wanita itu sudah di berada di ruang persalinan dan menunggu detik-detik anak keduanya akan lahir ke dunia. Tapi ternyata wanita itu masih bersikeras untuk tetap tinggal dan tidak beranjak sedikitpun dari sisi sang suami. "El ...?" Airin mendekati Elisa yang terkadang meringis menahan sakit. Wanita itu sudah terlihat pucat dan keringat dingin pun mulai membanjiri tubuhnya. "Apa tidak sebaiknya kamu istirahat di ruang bersalin?" Jika sejak tadi Mami Sintia yang mencoba membujuknya, kali ini pertanyaan itu berasal dari sahabatnya yang baru saja datang. Elisa menggeleng lemah, dengan sesekali menggigit bibir bawahnya sendiri untuk mengurangi rasa sakit itu. "Aku nggak apa-apa, Rin. Aku nggak mun
Alex dan Airin langsung terkejut mendengar penjelasan yang Dokter sampaikan. Tapi tidak dengan kedua orang tua dari wanita itu. Mereka sudah menduga jika Elisa harus menjalani operasi lagi untuk persalinan keduanya. Selain pengalaman pertama Elisa yang memang melahirkan secara cesar, air ketuban milik wanita itu juga sudah hampir mengering. Jadi, Dokter meminta pada pihak keluarga untuk secepatnya mengambil keputusan agar bisa di lakukan tindakan. "Lakukan yang terbaik untuk putriku, Dokter." Tuan Andreas langsung menyetujui saran dari Dokter untuk melakukan operasi. Baginya yang terpenting sekarang adalah keselamatan Elisa dan calon cucunya. "Baik, Tuan. Kami akan berusaha memberikan yang terbaik." Semua sudah di persiapkan di ruangan itu juga. Termasuk beberapa perawat yang akan membantu proses persalinan juga sudah berdiri di sana. Elisa yang sejak tadi berbaring hanya bisa menunggu sembari meringis merasakan sakit yang terkadang datang. Sesekali matanya menatap ke arah Roy yang