Alex memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit tempat Roy di rawat. Tadi, setelah sambungan telepon terputus, ia berinisiatif menghubungi Elisa lagi untuk memastikan apa maksud dari wanita itu yang tiba-tiba saja menghubunginya. Setelah mendengar penjelasan dari orang seberang sana yang menjawab teleponnya, detak jantung Alex pun terpompa dengan kian cepatnya. Darah lelaki itu bergejolak dengan hebatnya, dan atmosfer di ruangan itu pun seketika berubah. Alex hampir menjatuhkan ponsel yang ia gengam tatkala mendengar kabar yang sangat mengejutkan itu.[Apa!! Roy kecelakaan!!] Pantas saja tadi suara Elisa terdengar tengah menagis. Dan bodohnya ia sempat mengacuhkannya, bahkan meninggikan suaranya. [Katakan, di rumah sakit mana Roy akan di bawa?] Klik, telepon Alex matikan segera setelah mendengar jawaban dari orang itu. Seakan kekhawatirannya sejak pagi tadi terjawab sudah. Ternyata benar kata pepatah, jika darah lebih kental daripada air. Dan buktinya ia lun ikut mera
"Keadaan Tuan Roy masih kritis, Nona. Dan dia kehilangan banyak sekali darah."Elisa hampir saja limbung mendengar kabar tersebut. Untung saja Airin dengan sigap menahannya. "El, kamu baik-baik aja, kan?" Gadis itu memastikan temannya yang masih terlihat pucat."Lantas, apa yang harus kami lakukan, Dokter?" Alex mewakili semuanya untuk bertanya. Nampaknya lelaki itu pun ikut terpukul dengan kabar yang baru saja mereka dengar.Dokter menjelaskan jika Roy sangat membutuhkan beberapa kantong darah secepatnya. Namun sayang sekali bank darah untuk golongan yang Roy butuhkan saat ini tengah kosong sehingga pihak rumah sakit tengah berusaha mencarikannya.Setelah Dokter melangkah pergi, semua membisu di tempatnya masing-masing. Airin masih mencoba menenangkan Elisa yang terlihat sangat hancur, wanita itu saat ini sungguh sangat menyedihkan.Saat semuanya memilih bungkam, tiba-tiba saja Elisa bangkit. Dengan sedikit langkahnya yang sempoyongan ia mendekati Bu Lasmi yang juga tak kalah sedih.
"Apa! Jadi kau penyebab terjadinya malapetaka ini!" Akhirnya amarah yang sejak tadi pria itu tahan meledak sudah. Tuan Andreas sangat murka saat tak sengaja mendengar pembicaraan antara Roy dan juga Alex. Padahal pria paruh baya itu baru saja tiba di rumah sakit dan hendak menuju ruangan tempat Roy di rawat.Namun tanpa di sangka sebelum sampai di ruangan menantunya, Tuan Andreas melihat Arya dan Alex tengah berbincang, ia sangat penasaran jadi memutuskan untuk mencuri dengar dari jarak yang lumayan dekat. Dan selanjutnya pria paruh baya itu mendengar kabar yang sangat mengejutkan dari keduanya."Saya curiga kejadian ini ada hubungannya dengan penyelidikan kita," ungkap Alex. Sedangkan Arya yang berdiri di depannya nampak berpikir keras. Tak lama kemudian ia pun mengangguk."Kau yakin? Jangan asal menuduh, Lex. Nanti kita sendiri yang repot karena itu merupakan pencemaran nama baik." Arya mengingatkannya agar Alex tidak terburu-buru mengambil tindakan."Lantas siapa lagi, Tuan? Saya t
Riska masuk ke ruangan Dokter di temani salah satu pegawai kantornya dengan berjalan sedikit sempoyongan. Mungkin bukan hanya di depan ruangan ini saja, tapi di sepanjang jalan, bahkan di dalam mobilpun Riska terus menggerutu karena paksaan dari sang papa yang memintanya untuk segera memeriksakan diri ke rumah sakit.Tadi pagi, setelah rapat besar di perusahaannya selesai, Riska yang tak sengaja berjalan paling belakang tiba-tiba saja hampir jatuh dan tubuhnya sedikit terhuyung membentur tembok. Untung saja sang papa memergokinya, sehingga dengan sigap mendekat dan memegang kedua bahu putrinya agar tidak sampai terjatuh."Sayang, kau tak apa-apa?" Tuan Bara terlihat cemas menatap wajah putri kesayangannya yang sedikit pucat."Aku baik-baik saja, Pa." Perempuan itu menggeleng pelan. Riska tidak ingin membuat papanya khawatir, apalagi sampai menyuruhnya pulang. Untuk itu ia berusaha sekuat mungkin agar bisa tetap menopang tubuhnya sendiri."Kau terlihat pucat. Apa kau sakit?" Tuan Bara
Semenjak Roy kecelakaan dan masuk rumah sakit, Alex jarang sekali pulang ke rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu di kantor dan juga rumah sakit. Airin bisa memahaminya, apalagi Roy adalah kakak dari suaminya, meski hanya sekedar kakak tiri. Tapi, ia yakin mereka saling menyayangi. Terbukti dari perhatian Alex pada lelaki itu yang rela bolak-balik setiap hari untuk melihat keadaannya. Sampai-sampai sebagi istrinya Alex, ia merasa terlupakan begitu saja.Seperti pagi ini, wanita itu terbangun dan lagi-lagi mendapati ranjang di sebelahnya yang terlihat kosong. Apa iya setiap malam Alex menginap di rumah sakit? Atau, memang ada kerjaan penting di kantor yang harus di selesaikan? Entahlah. Suaminya itu bilang jika ia akan sering tidak pulang karena ingin menunggu kakaknya yang tengah terbaring di rumah sakit. Selain itu, pekerjaan kantor yang akhir-akhir ini menumpuk harus segera ia selesaikan.Airin mendesah pelan. Kenapa di saat ia mencoba membuka hati, keadaan seperti tidak berpih
"Kenapa Papi berbicara seperti itu?" Mami Sintia melayangkan protes pada suaminya. Saat ini mereka berdua sudah sampai di depan pintu rumah, dan bersiap untuk melangkah masuk."Berbicara apa?" Ternyata sang suami belum memahaminya. Pria paruh baya itu masih melenggang santai berjalan beriringan dengan sang istri."Tentang Alex yang harus menikahi Elisa. Kenapa Papi berbicara seperti itu? Apa Papi memang mengharapkan Roy mati?" Perempuan paruh baya itu sudah sangat kesal. Bisa-bisanya suaminya itu punya pikiran yang buruk pada Roy.Sebenarnya Nyonya Sintia sudah menahan diri, sejak kemarin mereka menemani putrinya di rumah sakit. Ia ingin bertanya langsung apa maksud dari ucapannya itu. Tapi, sebagai seorang ibu ia hanya ingin menjaga perasaan Elisa dan memilih tidak membahasnya di depan wanita itu."Mih ...!" Tuan Andreas terpaksa menghentikan langkah. Pria paruh baya itu menarik napas pelan dan menghembuskannya lagi. "Aku hanya ingin yang terbaik untuk Elisa." Ungkapan pria itu jelas
Sudah beberapa hari belakangan ini Alex merasakan sikap Airin yang sedikit berubah. Istrinya itu sekarang lebih pendiam dan bertanya seperlunya saja, meski begitu ia sangat bersyukur karena Airin masih memperlakukannya dengan baik. Bahkan saat ia benar-benar tidak bisa menyempatkan diri pulang ke rumah karena harus gantian menunggui Roy, wanita itupun tak pernah protes atau mempermasalahkannya.Tapi malam ini Alex sengaja pulang lebih cepat, jika biasanya ia akan sampai di rumah pukul sepuluh malam. Kali ini ia sudah sampai di halaman depan saat jam tangan yang melingkar di tangannya menunjuk pukul delapan malam.Lelaki itu melangkah cepat, melewati pintu utama rumahnya, lalu menganyun langkahnya lagi menaiki tangga. Tepat di depan kamar, sejenak Alex menghentikan langkah ketika mendengar suara Airin yang seperti tengah bercakap dengan seseorang di seberang sana. Entah apa yang istrinya itu bicarakan, namun ia hanya mendengar kalimat di penghujung percakapan itu,[Airin ragu, Alex bel
Ungkapan terakhir Riska ternyata mampu membuat Airin diam seketika. Wanita itu memilih menguci mulutnya rapat, namun hatinya tentu tidak dapat mengelak dari apa yang baru saja Riska katakan."Hei, kenapa kau diam? Apa sekarang kau baru menyadrinya? Ck!" Riska seakan sengaja menggunakan diamnya Airin untuk terus memprovokasinya. "Harusnya kau tidak mempercayai begitu saja," sambung perempuan itu lagi.Pelayan yang bersama Airin terus mengawasi wajah majikannya yang seketika berubah. Perempuan paruh baya itu juga yang kemarin menemaninya waktu di rumah sakit. Jadi, ia sedikit tahu apa maksud ucapan dari perempuan cantik yang ada di depannya ini."Ayo, Bi, kita pulang." Airin bangkit dan mengajak pelayan tadi segera meninggalkan tempat itu. Bahkan ia sampai meninggalkan beberapa cup es krim yang belum sempat tersentuh sama sekali."Berusahalah, jika kau tidak ingin kehilangan suamimu." Ungkapan terakhir Riska masih terdengar dari kejauhan. Padahal di tempat itu ramai sekali pengujung, t