Aditya memilih tempat duduk bersama Nara, dan pilihannya jatuh di kursi plastik deretan tengah, yang memang sengaja disediakan tukang martabak untuk pelanggannya, agar tidak capek menunggu pesanan mereka, yang sedang masuk daftar antri. Ketika ia sedang mengalihkan pandangannya sejenak dari sosok Nara yang duduk di sampingya, Aditya melihat seorang gadis turun dari mobil yang ia kenal. Cantik. Berbanding jauh, sangat jauh, dengan pemilik mobil yang selama ini ia kenal, jika memang itu adalah mobil yang sama.
Gadis itu terdengar sedang menyebutkan pesanannya, lalu melangkah duduk di kursi yang terletak di sudut, tidak jauh dari kursinya dan Nara. Nara sedang asyik menghabiskan minuman hangatnya. Aditya mengikuti gerak-gerik gadis yang baru saja mencuri perhatiannya, lewat sudut matanya.
"Apa rencanamu sekarang?" Aditya menatap lekat Nara. Keinginan yang dulu ada, kini mulai kembali mu
Joe membelalakkan kedua matanya. Ia tidak percaya. Bukankah itu calon suami Alleya? Ia menatap bergantian, antara Alleya dan pasangan yang tengah berjalan mendekati mobil sedan yang sewarna dengan mobil milik Bobby. Bobby dan Joe saling melempar pandangannya. Mereka lantas memperhatikan Alleya yang justru tidak menggubris pasangan yang baru saja pergi. "Al..?" Bobby dan Joe merasa khawatir melihat Alleya yang justru hanya duduk diam memainkan ponselnya. "Al? Dipanggil dari tadi loh, kenapa diem aja?" Bobby memutar wajah Alleya hingga kini mereka saling berhadapan satu sama lain. Alleya justru tersenyum menyebalkan, membuat tangan Bobby mendaratkan sentilan di kening Alleya. "Apa kalian sedang bertengkar?" Joe mendekatkan wajahnya, berusaha mencari tahu yang sebenarnya terjadi.
"Kamu tidak curiga, Al?" Rudy mengulangi pertanyaannya. Anak bungsunya hanya membisu. Rudy menjadi khawatir begitu juga dengan Rita. "Khawatir atau tidak Alleya itu bukan sesuatu yang harus Papa dan Mama pikirkan. Kita juga tidak tahu, mungkin Aditya punya bisnis baru dengan teman-temannya atau mungkin ia dan temannya sedang merencanakan suatu proyek bersama atau apa. Setidaknya, kita tidak boleh berprasangka buruk dulu, kan Pa?" Rudy tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap lurus putrinya. Abraham. Sebenarnya ada perjanjian apa antar kau dan putramu, gumam Rudy dalam hati. Ia yakin jika sejak awal, Aditya tidak begitu setuju dengan perjodohan ini. "Sudah malam. Lebih baik kamu tidur, Sayang. Besok kita lanjutkan lagi pembicaraan ini." Rita mengajak suaminya untuk beristirahat karena jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. -0-
Bobby masih menunggu jawaban Alleya, tapi gadis itu justru sibuk dengan ponselnya. "Kamu sengaja mengacuhkan aku, Al?" Bobby akhirnya tidak tahan duduk dalam diam, menanti jawaban Alleya. Alleya menolehkan wajahnya, melihat temannya yang sekarang merajuk. Gadis itu terkekeh. "Dari kemarin bahas itu terus, nggak bosen kamu, Bob?" Bobby menggelengkan kepala. "Sayangnya, aku nggak bosen tuh, Al. Tambah penasaran malah." "Topik nggak menarik gitu, ngapain juga dibahas mulu. Ganti topik kenapa?" Alleya mengambil satu kerupuk. Bersamaan dengan itu, soto pesanan mereka datang. Mereka berdua menyantap soto masing-masing dalam diam. Alleya, meski ia tampak tidak memikirkan Aditya, dalam hati gadis itu merasa sedikit terhina. Ia semakin ingin menyudahi perjodohannya dengan Aditya. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan Aditya. &
"Siapa kau?" Aditya tidak mengenal suara itu. Suara itu bukan suara Papa atau calon mertuanya. Suara yang baru kali ini ia dengar. "Untuk apa kau tahu siapa aku? Jawab saja pertanyaanku!" Suara dingin itu mengintimidasi Aditya. Aditya bergeming. Otaknya berputar mencari ingatan terkait suara yang sedang ia dengar saat ini. "Aku tidak mengenalmu dan tidak pula memiliki urusan denganmu. Sebaiknya urus urusanmu sendiri, jangan mencoba mencampuri urusan orang lain!" Aditya mengakhiri panggilan itu dan memblokir nomor yang baru saja menghubunginya. Tak sampai sepuluh menit, ponselnya kembali berdering. Aditya segera menekan tombol hijau dan menjawab panggilan itu. "Apakah kau sudah bosan hidup? Mengapa tidak kau jawab saja pertanyaanku tadi?" Suara dingin yang sama, kembali terdengar di telinga Aditya. "Aku tidak punya urusan den
Abraham membanting berkas yang ada di tangannya. Ia sudah menaruh curiga pada Aditya sejak kedatangan Alleya ke kediamannya, hanya untuk menyerahkan berkas yang seharusnya dibawa Aditya kembali ke hadapannya. Berkas-berkas itu adalah hasil jepretan intel swasta yang ia sewa, untuk membuntuti Aditya. Pria yang sudah tampak lelah itu, duduk terhenyak setelah melihat foto-foto itu. Wanita yang sama. Aditya kembali berhubungan dengan wanita yang dulu telah menghasut Aditya, hingga hubungan Abraham dengan putra tunggalnya itu, tidak pernah harmonis selama bertahun-tahun. Haruskah wanita itu ia culik agar tidak lagi mengganggu kehidupan putranya, mengganggu hubungan bapak-anak yang sudah mulai membaik karena bantuan Alleya, calon menantunya? Masih ada satu amplop yang masih terbungkus rapi, yang sama sekali belum ia buka. Abraham menyobek paksa amplop itu, dan mengeluarkan s
Abraham melangkah cepat meninggalkan Rudy yang berusaha mengejarnya di belakang. Tekadnya sudah bulat. Ia akan menyeret putranya ke kediaman Rudy. Anak itu harus diberi palajaran. Seenak perutnya sendiri meninggalkan Alleya tanpa memikirkan masalah yang akan timbul di belakang. Mobil Abraham melaju meninggalkan halaman kediaman calon besannya, menuju kediaman pribadinya. Ia akan meminta bantuan Lisa untuk menghubungi Aditya. Sampai kapan wanita rubah itu mengganggu kehidupan putranya. Ia harus mencari tahu latar belakang Nara. Jika kedua orang tuanya bergerak di usaha yang sama dengan dirinya, maka Abraham tidak akan segan membuat perhitungan dengan mereka. Ada banyak pria tampan d muka bumi ini, tapi mengapa justru anaknya yang dipilih untuk dijadikan boneka si Rubah Culas itu. Abraham berulang kali memukul stir kemudinya. Mobil hybrid Abraham perlahan memasuki pelataran luas kediamannya. Tampak&
Aditya segera turun dari dari mobilnya, dan melangkah cepat begitu melihat gerbang tinggi kediaman orang tua Alleya terbuka dan sebuah motor matic berjalan ke luar. Aditya langsung menghadang motor itu. Ia menduga pengendara motor itu pasti Alleya, dan tebakannya tidak meleset. "Untuk apa kau kemari?" suara Alleya terdengar begitu sinis di telinganya. "Ikut aku sebentar. Aku ingin berbicara padamu. Sebentar saja." Aditya memaksa Alleya turun dari motornya dan meminggirkan motornya. "Tidak mau. Aku sudah tidak punya urusan lagi denganmu. Aku sudah mengabulkan permintaanmu, jadi tolong jangan lagi menggangguku." Alleya mengatakan penolakannya tanpa sedikiti pun melihat ke arah Aditya. "Al... Kakak mohon, bantu Kakak kali ini saja. Bantu Kakak menjelaskan keputusan Kakak ini kepada orang tua Kakak." Aditya terus memohon pada Alleya. Aditya meminta agar Alleya mem
Rudy hanya menggelengkan kepalanya. "Papa juga tidak tahu. Maksud Papa, Aditya itu tipikal orang yang tidak gampang mempercayai suatu kejadian atau perkataan orang kecuali dia melihat sendiri kejadian itu atau menemukan bukti valid, yang mendukung cerita atau kabar yang dia dengar." "Maklumlah, Ma. Pengacara. Selain insting, mereka juga sangat mendasarkan segala sesuatu pada bukti yang valid." "Mama jadi penasaran, seperti apa wanita yang sudah membangunkan macan tidur Abraham?" "Ya, yang jelas dia pasti cantiklah, Ma. Papa juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Aditya. Anakmu itu saja yang terlalu nyeleneh. Yang wajahnya jelek dan pas-pas an saja rela mengeluarkan uang sekian puluh juta biar bisa keliatan cantik, atau paling tidak lebih putih dari aslinya. Nah, anakmu itu..malah pilih jadi gadis buruk rupa. Ya jelas kalahlah sama yang begitu itu."