Alleya merebahkan dirinya di atas sofa ruang tamu, membiarkan rasa lelahnya terurai dengan sendirinya. Menatap langit-langit sambil berulang menghela nafas, berusaha mengusir gundah yang terus menyiksanya, sejak hari di mana ia diabaikan Aditya karena seorang wanita.
Aaaah. Andai saja ia tidak terlena dengan sikap, perlakuan dan perhatian Aditya. Andai saja ia tetap bisa menjaga perasaannya. Andai saja ia kukuh memegang niatnya sejak awal. Mungkin saja ia tidak akan sekecewa ini.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dibukanya ponsel yang sejak tadi ada di dalam genggamannya. Besok pagi, aku akan menjemputmu. Kita berangkat bersama-sama. Alleya membaca pesan itu berulang kali. Berharap tulisan itu hanya ilusinya, lalu menampakkan pesan aslinya. Tapi sayangnya, tulisan itu tetap sama, tidak berubah.
Alleya tidak membalas pesan Aditya, ia justru me
Alleya berjalan menuju mobilnya. Ia menggunakan hoodie untuk menutupi wajahnya. Kali ini, ia tidak menggunakan topeng buruk rupanya. Ia memutuskan untuk memberitahu kedua orang tua Aditya mengenai penyamarannya. Mungkin, ya mungkin, mungkin saja akan terjadi sesuatu yang buruk pada perjodohannya. Ia tidak perlu susah payah menjelaskan penyebabnya. Ia menjalankan mobilnya perlahan, menikmati keremangan malam. Mencoba memikirkan kembali keputusannya untuk memberitahu kedua orang tua Aditya tentang penyamarannya. Alleya memandang topeng buruk rupa yang ia letakkan di kursi sebelahnya. What should I do? gumamnya pelan. Mobilnya perlahan memasuki halaman luas milik Abraham. Ia bergegas keluar dari mobil dan berjalan santai menuju teras rumah orang tua Aditya. Ditekannya bel rumah bernuansa abu-abu. Pintu besar itu bergerak mundur. "Haloo sayang..." suara Lisa me
Aditya memilih tempat duduk bersama Nara, dan pilihannya jatuh di kursi plastik deretan tengah, yang memang sengaja disediakan tukang martabak untuk pelanggannya, agar tidak capek menunggu pesanan mereka, yang sedang masuk daftar antri. Ketika ia sedang mengalihkan pandangannya sejenak dari sosok Nara yang duduk di sampingya, Aditya melihat seorang gadis turun dari mobil yang ia kenal. Cantik. Berbanding jauh, sangat jauh, dengan pemilik mobil yang selama ini ia kenal, jika memang itu adalah mobil yang sama. Gadis itu terdengar sedang menyebutkan pesanannya, lalu melangkah duduk di kursi yang terletak di sudut, tidak jauh dari kursinya dan Nara. Nara sedang asyik menghabiskan minuman hangatnya. Aditya mengikuti gerak-gerik gadis yang baru saja mencuri perhatiannya, lewat sudut matanya. "Apa rencanamu sekarang?" Aditya menatap lekat Nara. Keinginan yang dulu ada, kini mulai kembali mu
Joe membelalakkan kedua matanya. Ia tidak percaya. Bukankah itu calon suami Alleya? Ia menatap bergantian, antara Alleya dan pasangan yang tengah berjalan mendekati mobil sedan yang sewarna dengan mobil milik Bobby. Bobby dan Joe saling melempar pandangannya. Mereka lantas memperhatikan Alleya yang justru tidak menggubris pasangan yang baru saja pergi. "Al..?" Bobby dan Joe merasa khawatir melihat Alleya yang justru hanya duduk diam memainkan ponselnya. "Al? Dipanggil dari tadi loh, kenapa diem aja?" Bobby memutar wajah Alleya hingga kini mereka saling berhadapan satu sama lain. Alleya justru tersenyum menyebalkan, membuat tangan Bobby mendaratkan sentilan di kening Alleya. "Apa kalian sedang bertengkar?" Joe mendekatkan wajahnya, berusaha mencari tahu yang sebenarnya terjadi.
"Kamu tidak curiga, Al?" Rudy mengulangi pertanyaannya. Anak bungsunya hanya membisu. Rudy menjadi khawatir begitu juga dengan Rita. "Khawatir atau tidak Alleya itu bukan sesuatu yang harus Papa dan Mama pikirkan. Kita juga tidak tahu, mungkin Aditya punya bisnis baru dengan teman-temannya atau mungkin ia dan temannya sedang merencanakan suatu proyek bersama atau apa. Setidaknya, kita tidak boleh berprasangka buruk dulu, kan Pa?" Rudy tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap lurus putrinya. Abraham. Sebenarnya ada perjanjian apa antar kau dan putramu, gumam Rudy dalam hati. Ia yakin jika sejak awal, Aditya tidak begitu setuju dengan perjodohan ini. "Sudah malam. Lebih baik kamu tidur, Sayang. Besok kita lanjutkan lagi pembicaraan ini." Rita mengajak suaminya untuk beristirahat karena jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. -0-
Bobby masih menunggu jawaban Alleya, tapi gadis itu justru sibuk dengan ponselnya. "Kamu sengaja mengacuhkan aku, Al?" Bobby akhirnya tidak tahan duduk dalam diam, menanti jawaban Alleya. Alleya menolehkan wajahnya, melihat temannya yang sekarang merajuk. Gadis itu terkekeh. "Dari kemarin bahas itu terus, nggak bosen kamu, Bob?" Bobby menggelengkan kepala. "Sayangnya, aku nggak bosen tuh, Al. Tambah penasaran malah." "Topik nggak menarik gitu, ngapain juga dibahas mulu. Ganti topik kenapa?" Alleya mengambil satu kerupuk. Bersamaan dengan itu, soto pesanan mereka datang. Mereka berdua menyantap soto masing-masing dalam diam. Alleya, meski ia tampak tidak memikirkan Aditya, dalam hati gadis itu merasa sedikit terhina. Ia semakin ingin menyudahi perjodohannya dengan Aditya. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan Aditya. &
"Siapa kau?" Aditya tidak mengenal suara itu. Suara itu bukan suara Papa atau calon mertuanya. Suara yang baru kali ini ia dengar. "Untuk apa kau tahu siapa aku? Jawab saja pertanyaanku!" Suara dingin itu mengintimidasi Aditya. Aditya bergeming. Otaknya berputar mencari ingatan terkait suara yang sedang ia dengar saat ini. "Aku tidak mengenalmu dan tidak pula memiliki urusan denganmu. Sebaiknya urus urusanmu sendiri, jangan mencoba mencampuri urusan orang lain!" Aditya mengakhiri panggilan itu dan memblokir nomor yang baru saja menghubunginya. Tak sampai sepuluh menit, ponselnya kembali berdering. Aditya segera menekan tombol hijau dan menjawab panggilan itu. "Apakah kau sudah bosan hidup? Mengapa tidak kau jawab saja pertanyaanku tadi?" Suara dingin yang sama, kembali terdengar di telinga Aditya. "Aku tidak punya urusan den
Abraham membanting berkas yang ada di tangannya. Ia sudah menaruh curiga pada Aditya sejak kedatangan Alleya ke kediamannya, hanya untuk menyerahkan berkas yang seharusnya dibawa Aditya kembali ke hadapannya. Berkas-berkas itu adalah hasil jepretan intel swasta yang ia sewa, untuk membuntuti Aditya. Pria yang sudah tampak lelah itu, duduk terhenyak setelah melihat foto-foto itu. Wanita yang sama. Aditya kembali berhubungan dengan wanita yang dulu telah menghasut Aditya, hingga hubungan Abraham dengan putra tunggalnya itu, tidak pernah harmonis selama bertahun-tahun. Haruskah wanita itu ia culik agar tidak lagi mengganggu kehidupan putranya, mengganggu hubungan bapak-anak yang sudah mulai membaik karena bantuan Alleya, calon menantunya? Masih ada satu amplop yang masih terbungkus rapi, yang sama sekali belum ia buka. Abraham menyobek paksa amplop itu, dan mengeluarkan s
Abraham melangkah cepat meninggalkan Rudy yang berusaha mengejarnya di belakang. Tekadnya sudah bulat. Ia akan menyeret putranya ke kediaman Rudy. Anak itu harus diberi palajaran. Seenak perutnya sendiri meninggalkan Alleya tanpa memikirkan masalah yang akan timbul di belakang. Mobil Abraham melaju meninggalkan halaman kediaman calon besannya, menuju kediaman pribadinya. Ia akan meminta bantuan Lisa untuk menghubungi Aditya. Sampai kapan wanita rubah itu mengganggu kehidupan putranya. Ia harus mencari tahu latar belakang Nara. Jika kedua orang tuanya bergerak di usaha yang sama dengan dirinya, maka Abraham tidak akan segan membuat perhitungan dengan mereka. Ada banyak pria tampan d muka bumi ini, tapi mengapa justru anaknya yang dipilih untuk dijadikan boneka si Rubah Culas itu. Abraham berulang kali memukul stir kemudinya. Mobil hybrid Abraham perlahan memasuki pelataran luas kediamannya. Tampak&