Adam menjemput Arsilla yang ternyata sudah menunggu di depan gerbang bersama seorang satpam. Ia buru-buru menghampiri sang putri yang sepertinya sudah sangat kesal karena terlalu lama menunggu. Setelah mengucapkan terima kasih kepada satpam tersebut, Adam membawa Arsilla ke restoran tempat Tita bekerja untuk menanyakan perihal Hanin. Namun sayang, jawaban dari Tita membuat Adam kecewa. Tita sama sekali tidak tahu di mana Hanin. Adam makin cemas karena tidak tahu lagi harus ke mana lagi mencari sang mantan istri."Bunda ke mana, Yah? Kok gak jemput Silla?" tanya Arsilla ketika mereka dalam perjalanan ke rumah. "Bunda ada urusan sebentar. Makanya tadi dia nelepon ayah buat jemput kamu," jawab Adam terpaksa berbohong.Silla tidak lagi bertanya dan hal itu membuat Adam sedikit lega. Setelah mengantar putrinya pulang ke rumah, Adam kembali pergi untuk mencari keberadaan Hanin. Setiap ruas jalan ia susuri, pun ke kontrakan yang dulu ditempati sang mantan istri. Akan tetapi hasilnya tetap
Bunyi tembakan yang memekakan telinga membuat Hanin menjerit histeris dan menutup mata. Ia tidak sanggup kalau harus menyaksikan tubuh Adam yang terkena hantaman timah panas. Namun, Hanin merasa aneh karena Adam sama sekali tidak berteriak kesakitan. Pria itu justru makin mengeratkan pelukan pada tubuhnya."Cepat bawa dia ke mobil!"Suara asing yang terdengar, memaksa Hanin untuk membuka mata. Ia terhenyak saat melihat tiga orang polisi memapah tubuh Baskara yang berjalan pincang. Rupanya bukan Adam yang terkena tembakan, melainkan pria paruh baya itu."Mas gak papa?" tanya Hanin sambil memeriksa seluruh tubuh Adam."Mas baik-baik saja. Beruntung tadi sebelum ke sini Mas sempat menghubungi polisi dan akhirnya mereka datang tepat waktu. Kamu juga baik-baik saja kan? Mereka tidak sempat menyakiti kamu?""Aku juga baik-baik saja, Mas.""Syukurlah." Adam bernapas lega. "Sekarang kita pulang. Kasihan Silla yang menanyakan kamu terus."Hanin mengangguk setuju. Rasa lega dirasakan keduanya k
"Kenapa kamu lakukan itu? Apa kurangnya aku?"Adam Pradipta, pria berusia tiga puluh tahun itu menatap tajam sang istri yang kini tengah duduk seraya menundukkan kepala. Tangannya meremas gaun malam yang ia kenakan. Matanya yang basah, sama sekali tidak mampu menghadirkan rasa iba pada diri Adam."Aku hanya jenuh dan kesepian. Mas sering tidak punya waktu buatku. Aku ini wanita yang tidak hanya butuh uang, tapi juga perhatian dari suamiku sendiri." Hanin Ayuningtyas, wanita berusia 26 tahun itu meluapkan segala rasa yang mengganjal dalam dada. Betapa selama ini ia sangat merindukan perhatian dari sang suami yang jarang pulang dengan dalih sibuk dan pekerjaan yang tidak bisa ditinggal."Tapi tidak dengan berselingkuh bahkan berzina! Kamu sudah mengotori kepercayaanku, Hanin!" tunjuk Adam tepat ke wajah sang istri."Aku bisa memaafkan apa pun kesalahan kamu, kecuali satu ... pengkhianatan! Untuk itu, mulai malam ini, aku Adam Pradipta, menjatuhkan talak padamu Han
"Hanin."Kesadaran menyentak keduanya. Adam mengambil buku yang diulurkan Hanin, berusaha bersikap biasa saja di depan Anggun, meskipun hatinya kini memanas mengingat kembali peristiwa empat tahun lalu. Hanin pun mencoba bersikap senormal mungkin hingga matanya beradu dengan sepasang netra bening yang kini tersenyum ke arahnya. Bocah kecil yang kini berada dalam pangkuan wanita cantik itu, Hanin jelas tahu siapa dia.Arsilla Hanindya PradiptaPutri semata wayang yang kini sudah tumbuh makin besar. Namun sayang, Hanin hanya bisa memandang dari kejauhan, tanpa bisa memberi pelukan pada sang putri.Tak apa, Hanin bahagia melihat tumbuh kembang sang putri yang begitu pesat. Meskipun terkadang hatinya menjerit karena sesaknya menahan rindu, setidaknya rasa itu selalu terobati saat melihat putri kecilnya tertawa riang.Setelah mencatat pesanan yang disebutkan Adam, wanita itu bergegas pergi sebelum pertahanannya runtuh. Melihat sorot
Hanin mengambil dompet usang dari dalam tasnya. Ia menghela napas kasar saat melihat satu lembar uang berwarna merah yang terdapat di dalamnya . Gajian masih dua minggu lagi, sedangkan uang yang ia miliki tidak akan cukup untuk biaya hidup selama itu. Hanin sempat berpikir untuk mencari pekerjaan sampingan, tapi ke mana? Sedangkan mencari pekerjaan saat ini begitu susah.Akhirnya Hanin putuskan untuk membeli mie instan di warung Bu Parmi. Mungkin cukup untuk mengganjal perutnya hingga besok pagi.Hanin keluar dari kontrakan menuju warung yang letaknya selang tiga rumah saja. Sampai di sana, ternyata banyak pria yang tengah menikmati kopi dan ada juga yang sambil bermain catur. Hanin berusaha abai saat sebagian pria di sana memandangnya dengan tatapan mesum."Bu, mie instannya satu," ucapnya pada pemilik warung yang tengah menonton acara televisi. "Mie goreng atau mie kuah, Neng?""Mie kuah saja."Setelah membayar satu bungkus mi
"Jadi kamu yang menolong calon istri saya?""I-iya, Mas. Tadi aku kebetulan lewat dan melihat Mbak-nya terjatuh karena diserempet motor," terang Hanin berusaha bersikap sebiasa mungkin. Pria di depannya selalu menunjukkan wajah tidak suka, membuat Hanin sangat tidak nyaman."Terima kasih. Sekarang pergilah, kamu sudah tidak dibutuhkan di sini.""Oh, iya. Kalau begitu, aku permisi."Hanin menganggukkan kepala pada Adam, tetapi pria itu tidak menanggapinya sedikit pun. Dengan langkah tergesa, Hanin keluar dari rumah sakit menuju ke tempat kerja. Ia sudah bisa membayangkan kalau hari ini akan mendapat teguran karena keterlambatannya.Benar saja, baru sampai ia langsung dipanggil ke ruang atasannya dan mendapat peringatan. Hanin masih bisa bernapas lega karena ia masih diizinkan untuk bekerja di sana, tidak sampai dipecat seperti apa yang ia takutkan.Hanin kembali menekuni pekerjaannya dengan semangat. Meskipun sempat terpikir bagai
"Silla!""Ayah!" Arsilla turun dari bangku tempat dia duduk, lalu berlari ke arah sang Ayah yang sudah merentangkan tangan. Tangannya langsung bergelayut manja pada leher Adam, sedangkan bibirnya mengerucut lucu."Kok Ayah yang jemput? Mama Anggun mana?""Mama Anggun lagi ada urusan, Sayang. Makanya hari ini Ayah yang jemput. Maaf, ya, bikin kamu nunggu lama," ucap Adam seraya mengecup pipi sang putri. Arsilla mengangguk mengerti. Tiba-tiba matanya berbinar, lalu menoleh ke arah Hanin yang masih duduk di tempatnya tadi."Tante, sini!" Silla melambaikan tangan ke arah Hanin."Silla kenalin sama Ayah," ucapnya kemudian.Hanin bangkit dari duduk, kemudian dengan langkah pelan menghampiri Ayah dan Anak itu. Ia berusaha abai akan tatapan Adam yang mengisyaratkan kemarahan."Ayah, ini Tante Hanin. Dia yang nemenin Silla nunggu jemputan," terang Silla sambil menunjuk Hanin yang sudah berdiri berhadapan denga
"Nin, tolong antarkan ke meja nomor lima, ya. Aku mau ke toilet sebentar."Tita menyerahkan nampan berisi makanan pesanan salah satu pelanggan. Gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu memegangi perutnya yang terasa melilit. Hanin mengambil nampan itu sambil tersenyum kecil melihat tingkah sahabatnya. Tadi pagi ia sudah memperingati Tita agar tidak menambahkan sambal yang terlalu banyak dalam bubur yang dimakan gadis itu. Akan tetapi Tita tetap memaksa dengan alasan kurang mantap kalau sambalnya hanya sedikit.Hanin menghela napas kasar. Beruntung masih ada Tita yang bersedia memberinya tumpangan untuk sementara di rumah gadis itu. Hanin berjanji akan segera mencari kontrakan baru setelah ia mendapat gaji bulan ini.Teringat pesanan yang harus ia bawa ke meja pelanggan, Hanin bergegas menuju meja nomor lima seperti yang disebutkan Tita.Namun, wajah Hanin langsung pias saat melihat orang yang kini tengah menunggu pesanannya. Wanita itu ti