Hanin mengambil dompet usang dari dalam tasnya. Ia menghela napas kasar saat melihat satu lembar uang berwarna merah yang terdapat di dalamnya . Gajian masih dua minggu lagi, sedangkan uang yang ia miliki tidak akan cukup untuk biaya hidup selama itu. Hanin sempat berpikir untuk mencari pekerjaan sampingan, tapi ke mana? Sedangkan mencari pekerjaan saat ini begitu susah.
Akhirnya Hanin putuskan untuk membeli mie instan di warung Bu Parmi. Mungkin cukup untuk mengganjal perutnya hingga besok pagi.Hanin keluar dari kontrakan menuju warung yang letaknya selang tiga rumah saja. Sampai di sana, ternyata banyak pria yang tengah menikmati kopi dan ada juga yang sambil bermain catur. Hanin berusaha abai saat sebagian pria di sana memandangnya dengan tatapan mesum."Bu, mie instannya satu," ucapnya pada pemilik warung yang tengah menonton acara televisi."Mie goreng atau mie kuah, Neng?""Mie kuah saja."Setelah membayar satu bungkus mie instan, Hanin berpamitan pada Bapak-Bapak di sana. Namun, saat kakinya telah menginjak teras kontrakan, suara seseorang yang rupanya mengikuti Hanin, membuat wanita itu spontan membalikkan badan."Astaghfirullah, Pak Yudi, saya kira siapa!""Maaf Neng Hanin, bapak tidak sengaja," ujarnya dengan cengiran. Matanya sibuk mengamati sekitar, takut ada yang melihat dirinya berada di kontrakan Hanin."Ada apa, Pak Yudi? Ini sudah malam, tidak baik Bapak berada di sini, takut jadi fitnah.""Saya hanya ingin mengajak Neng Hanin makan nasi goreng di ujung gang sana. Kalau hanya makan mie instan, mana bisa kenyang." Pak Yudi bicara sepelan mungkin."Terima kasih atas ajakannya, tapi tidak usah, Pak. Bagi saya satu bungkus mie instan sudah membuat perut kenyang.""Ayolah Neng Hanin, sekalian ada yang ingin Bapak bicarakan," bujuk Pak Yudi tak ingin menyerah. Sudah lama ia menantikan untuk bisa jalan berdua dengan Hanin. Kebetulan malam ini istrinya memberi izin untuk nongkrong di warung Bu Parmi. Begitu melihat Hanin, pria itu langsung mengikuti wanita itu."Sebaiknya bicara besok saja, Pak. Saya tidak ingin istri bapak melihat kita mengobrol berdua.""Istri bapak jam segini sudah tidur, Neng. Ayolah, cuma sebentar.""Maaf tidak bi--""Bapak! Ternyata kamu di sini!"Hanin dan Pak Yudi refleks melihat ke sumber suara. Keduanya sama-sama terbelalak kaget melihat Bu Resti yang sudah berkacak pinggang."I-ibu, bukannya sudah tidur?" Pak Yudi begitu gugup. Ia kira istrinya tidak akan menyusul mencarinya."Bagus ya, Pak. Bilangnya mau ngopi di warung Bu Parmi, ternyata malah mojok di rumah janda!""Anu, Bu. I-itu Bapak lagi tanya sama Neng Hanin, siapa tahu ada lowongan di Restoran tempat dia kerja buat anak kita," ujar Pak Yudi beralasan. Jangan sampai istrinya tahu kalau dia sempat mengajak Hanin makan nasi goreng bersama."Alah, alasan! Kamu juga Hanin, jangan sok cantik pake godain suami orang segala! Kalau sekali lagi ketahuan kamu ngobrol sama suami saya, jangan harap kamu masih bisa tinggal di kompleks ini!""Saya tidak menggoda Pak Yudi, Bu. Justru tadi--""Sudah-sudah, Hanin tidak perlu banyak bicara. Ibu, ayok kita pulang, urusan Bapak sudah selesai. Sepertinya Hanin memang tidak bisa membantu anak kita." Pak Yudi memotong pembicaraan sebelum Hanin menceritakan yang sebenarnya. Pria itu lantas menghampiri sang istri yang masih berkacak pinggang."Awas kamu kalau saya lihat sekali lagi menggoda Bapak-Bapak di sini! Saya pastikan kamu diusir sama istri-istri mereka!"Bu Resti memberi ancaman sebelum tangannya dicekal oleh Pak Yudi dan menyeretnya pulang. Masih terdengar gerutuan wanita itu yang masih kesal akan tingkah suaminya yang berani menemui Hanin di kontrakannya.Hanin sendiri hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah suami istri itu. Baginya sudah biasa mengalami hal seperti ini, terlebih hampir semua warga kompleks tahu kalau dia seorang janda.Hanin membuka pintu, lalu masuk dan menguncinya. Berjaga-jaga takut ada orang iseng yang kembali menyambangi kediamannya.🌺Hanin baru saja turun dari angkutan umum tepat di depan Restoran tempatnya bekerja. Ia mencari uang pecahan lima ribu, kemudian memberikannya pada sopir angkot. Setelah memastikan dompetnya aman, Hanin menyebrangi jalan menuju sekolah tempat putrinya menuntut ilmu. Hampir setiap hari ia melakukan itu. Mengamati putrinya diam-diam dari kejauhan, hingga rasa rindunya pada sang putri bisa terobati.Hanin melihat sebuah mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Anggun keluar dari sana lalu membukakan pintu untuk Arsilla.Setelah memastikan Arsilla masuk, Anggun kembali menghampiri mobilnya, tetapi ia kurang waspada. Di saat Anggun membuka pintu mobil, seorang pengendara motor menarik tas yang ia slempangkan di bahunya, sehingga Anggun ikut tertarik ke belakang.Hanin yang melihat itu refkeks berlari untuk menahan tubuh Anggun agar tidak terjatuh, tetapi sayang ia terlambat. Anggun ikut terseret beberapa meter karena berusaha mempertahankan tasnya, hingga akhirnya wanita itu jatuh tersungkur di aspal."Astaghfirullah, Mbak!"Hanin gegas menghampiri Anggun yang berusaha bangun sambil meringis menahan sakit. Tak lupa ia meminta pertolongan pada orang sekitar agar mau membantunya membopong Anggun.Beberapa orang berdatangan menghampiri dua wanita itu untuk membantu."Pak, tolong antar ke rumah sakit segera!" seru Hanin pada salah satu orang di sana."Pakai apa, Mbak?""Pakai mobil saya saja. Bapak bisa menyetir, 'kan?" Kali ini Anggun yang berbicara. Ia menunjuk mobilnya yang terparkir di depan gerbang sekolah."Bisa, Bu. Mari saya antar."Beberapa orang membantu membawa Anggun ke mobilnya, termasuk Hanin yang masih mengkhawatirkan keadaan wanita itu.Setengah jam perjalanan, mereka sampai di rumah sakit, dan langsung memanggil perawat agar membawa brankar untuk Anggun. Wanita itu digiring ke arah IGD oleh dua orang perawat dan Hanin yang masih mengekor di belakang."Mbak saudaranya?" tanya salah satu perawat."Bukan, Sus. Saya hanya kebetulan berada di tempat kejadian dan membawa Mbak itu ke sini.""Silakan tunggu di luar dulu ya, Mbak. Kami akan melakukan penanganan pada pasien."Hanin mengangguk, lalu duduk di kursi tunggu yang tidak jauh dari ruang IGD. Ia membuka tasnya untuk mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Tita bahwa kemungkinan dia akan telat masuk kerja.Hanin masih fokus mengetik pesan saat tiba-tiba saja suara yang begitu ia hafal menegurnya."Mbak."Hanin mendongak. Mata mereka kembali beradu tatap dengan riak keterkejutan yang sama kentara di antara keduanya.Pria berstelan jas Dokter itu seketika memasang tampang tidak suka saat melihat siapa yang tengah duduk di hadapannya."Jadi, kamu yang menolong calon istri saya?"Bersambung."Jadi kamu yang menolong calon istri saya?""I-iya, Mas. Tadi aku kebetulan lewat dan melihat Mbak-nya terjatuh karena diserempet motor," terang Hanin berusaha bersikap sebiasa mungkin. Pria di depannya selalu menunjukkan wajah tidak suka, membuat Hanin sangat tidak nyaman."Terima kasih. Sekarang pergilah, kamu sudah tidak dibutuhkan di sini.""Oh, iya. Kalau begitu, aku permisi."Hanin menganggukkan kepala pada Adam, tetapi pria itu tidak menanggapinya sedikit pun. Dengan langkah tergesa, Hanin keluar dari rumah sakit menuju ke tempat kerja. Ia sudah bisa membayangkan kalau hari ini akan mendapat teguran karena keterlambatannya.Benar saja, baru sampai ia langsung dipanggil ke ruang atasannya dan mendapat peringatan. Hanin masih bisa bernapas lega karena ia masih diizinkan untuk bekerja di sana, tidak sampai dipecat seperti apa yang ia takutkan.Hanin kembali menekuni pekerjaannya dengan semangat. Meskipun sempat terpikir bagai
"Silla!""Ayah!" Arsilla turun dari bangku tempat dia duduk, lalu berlari ke arah sang Ayah yang sudah merentangkan tangan. Tangannya langsung bergelayut manja pada leher Adam, sedangkan bibirnya mengerucut lucu."Kok Ayah yang jemput? Mama Anggun mana?""Mama Anggun lagi ada urusan, Sayang. Makanya hari ini Ayah yang jemput. Maaf, ya, bikin kamu nunggu lama," ucap Adam seraya mengecup pipi sang putri. Arsilla mengangguk mengerti. Tiba-tiba matanya berbinar, lalu menoleh ke arah Hanin yang masih duduk di tempatnya tadi."Tante, sini!" Silla melambaikan tangan ke arah Hanin."Silla kenalin sama Ayah," ucapnya kemudian.Hanin bangkit dari duduk, kemudian dengan langkah pelan menghampiri Ayah dan Anak itu. Ia berusaha abai akan tatapan Adam yang mengisyaratkan kemarahan."Ayah, ini Tante Hanin. Dia yang nemenin Silla nunggu jemputan," terang Silla sambil menunjuk Hanin yang sudah berdiri berhadapan denga
"Nin, tolong antarkan ke meja nomor lima, ya. Aku mau ke toilet sebentar."Tita menyerahkan nampan berisi makanan pesanan salah satu pelanggan. Gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu memegangi perutnya yang terasa melilit. Hanin mengambil nampan itu sambil tersenyum kecil melihat tingkah sahabatnya. Tadi pagi ia sudah memperingati Tita agar tidak menambahkan sambal yang terlalu banyak dalam bubur yang dimakan gadis itu. Akan tetapi Tita tetap memaksa dengan alasan kurang mantap kalau sambalnya hanya sedikit.Hanin menghela napas kasar. Beruntung masih ada Tita yang bersedia memberinya tumpangan untuk sementara di rumah gadis itu. Hanin berjanji akan segera mencari kontrakan baru setelah ia mendapat gaji bulan ini.Teringat pesanan yang harus ia bawa ke meja pelanggan, Hanin bergegas menuju meja nomor lima seperti yang disebutkan Tita.Namun, wajah Hanin langsung pias saat melihat orang yang kini tengah menunggu pesanannya. Wanita itu ti
"Mbak, ayok turun!"Anggun menoleh ke bangku belakang. Hanin yang sedari tadi tidak nyaman berada di antara sepasang kekasih itu, tersenyum canggung seraya menganggukkan kepala. Sedangkan Adam tetap dengan sikap datarnya. Andai bukan atas permintaan Anggun, pria itu pasti sudah menolak kehadiran Hanin kembali di rumah. Kalau saja Anggun tahu siapa wanita yang tengah ia tolong, mungkin wanita itu akan berpikir dua kali ketika akan menawarkan pekerjaan di rumah calon suaminya.Adam keluar lebih dulu. Pria itu membukakan pintu untuk Anggun. Sedangkan Hanin memalingkan wajah ke samping saat melihat hal manis yang dulu sering dilakukan Adam padanya, kini pria itu berikan untuk wanita lain."Ayah!"Arsilla yang kebetulan tengah bermain dengan pengasuhnya di teras rumah, berlari ke arah tiga orang yang baru keluar dari mobil. Dengan sekali tangkap, tubuh mungilnya sudah berada dalam gendongan Adam."Sayang sudah makan?" Anggun yang melihat keakr
Makan malam sudah siap. Setelah melaksanakan sholat isya, Hanin menemui Adam yang ia kira berada di ruang tamu, tetapi ternyata tidak ada. Pikiran Hanin tertuju pada satu tempat, tetapi ia tidak ingin lancang mendekati kamar pria itu.Akhirnya, Hanin memutuskan menemui Mbak Ratih yang sedang berada di kamar Silla.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Mbak Ratih keluar sambil membawa tempat minum milik Arsilla."Ada apa, Mbak Hanin?""Itu, Mbak. Makan malam sudah siap," ujarnya gugup."Ya tinggal kasih tahu Pak Adam saja. Biasanya jam segini beliau berada di kamarnya," terang Ratih."Saya enggak berani kalau harus ke kamar Pak Adam. Gimana kalau Mbak saja yang memberitahu dia.""Loh, itu, kan tugas kamu, Nin. Ketuk saja pintunya terus bilang kalau makan malam sudah siap, enggak perlu masuk kamarnya juga kali." Ratih tertawa renyah melihat kegugupan Hanin. Ia pikir Hanin bersikap seperti itu karena belum terbiasa.
Hari ini Hanin dibuat sibuk membantu Anggun mendekor ruang tamu untuk acara ulang tahun Arsilla. Ia begitu bersemangat mempersiapkan segala sesuatunya untuk sang putri. Bahkan Hanin sudah menyiapkan kado yang ia beli kemarin dari toko mainan. Beruntung Tita mau memberinya pinjaman hingga Hanin bisa membelikan sesuatu untuk Arsilla di hari istimewanya."Nin, tolong buatkan dua gelas jus untuk Pak Adam juga Bu Anggun. Mereka ada di ruang keluarga," titah Ratih menghampiri Hanin yang tengah mencuci sayuran yang akan dimasak untuk makan malam."Iya, Mbak, nanti saya buatkan."Ratih kembali ke ruang tamu menemani Arsilla yang tengah mencoba meniup balon yang tersedia di sana.Hanin pun bergegas membuatkan jus untuk sang majikan yang pasti kelelahan setelah menyulap ruang tamu menjadi bak istana dongeng seperti keinginan Arsilla.Setelah selesai, Hanin bergegas menuju ruang keluarga, tetapi langkahnya terhenti saat melihat dua orang yang sedang
"Adam? Sejak kapan kamu berada di sana, Nak?"Lestari begitu gugup, pun dengan Hanin yang segera bergeser menjauhi mantan mertuanya. Tatapan Adam begitu tajam, menelisik dua wanita itu sampai mereka merasa dikuliti."Apa maksud ucapan Mama tadi? Kenapa Mama harus minta maaf sama dia?" tunjuk Adam dengan dagunya ke arah Hanin."Mama tadi enggak sengaja nabrak dia, jadi Mama minta maaf." Lestari berusaha menjelaskan meskipun ia ragu Adam akan mempercayainya."Cuma karena nabrak, terus minta maaf sampai harus pelukan begitu? Bahkan Mama sampai nangis. Benar-benar enggak masuk akal," timpal Adam seraya menggelengkan kepalanya."Mama nangis karena kaget melihat Hanin bisa berada di sini. Sudah lama Mama enggak bertemu sama dia."Adam tertawa sumbang mendengar penjelasan sang Mama. "Aku enggak habis pikir. Mama tahu, 'kan siapa dia? Mama tahu, 'kan apa yang sudah dia lakukan empat tahun lalu? Tapi dari dulu sampai sekarang, aku lihat M
"Mbak Hanin, saya bisa minta tolong?"Hanin yang sedang membereskan barang belanjaan, dikejutkan oleh Ratih yang terlihat sangat cemas. Wanita itu sudah berpakaian rapi seperti akan bepergian."Minta tolong apa, Mbak?""Tolong jaga Silla, Dia sekarang ada di kamarnya. Saya harus segera pulang kampung, Ibu jatuh di kamar mandi dan dilarikan ke rumah sakit," terang Ratih dengan gelisah. Wanita itu mendengar kabar dari saudaranya yang menelepon tadi pagi saat di sekolah."Iya, Mbak. Enggak usah khawatir, saya akan menjaga Silla. Tapi apa Pak Adam tahu kalau Mbak Ratih mau pulang kampung?""Sudah, tadi saya sudah menghubungi Pak Adam dan beliau mengizinkan," jawabnya seraya mengambil ponsel dari dalam tas yang sudah ia bawa."Bisa sebutkan nomor Mbak Hanin? Nanti aku kirim nomor ponsel Pak Adam agar Mbak bisa menghubunginya kalau terjadi sesuatu pada Silla.""Bisa, Mbak." Hanin pun mengambil ponselnya di meja, kemu