Yang mendukung Pak Jamal dan Juwita jatuh hati , cung!
"Boleh dibantu?" tanya Jamal sambil mengusap pundak Juwita. Dia mengulaskan senyuman dan memamerkan lesung pipi.Juwita yang mengantuk berat akhirnya mendapatkan kesadaran. Dia menarik napas dalam dan menoleh. "Iya, Mas?" tanyanya berusaha meraih semua energi untuk menahan kantuk."Boleh dibantu? Kamu kelihatan lelah, Juwita."Wanita itu menggeleng. "Mas Jamal istirahat aja. Biar aku selesaikan ini semua. Tinggal bilas doang, kok."Jamal mengangguk. "Aku temani di sini, ya. Gak papa, kan?" permisinya."Mas Jamal enggak istirahat aja? Kan, Mas Jamal kerja seharian. Besok juga masih kerja." Juwita bersikeras agar Jamal segera tidur."Besok kamu juga kerja. Sama aja. Lagian kamu hari ini juga udah susah payah buat masak. Sekali lagi terima kasih." Jamal menyandarkan dirinya di bar dapur dan bertumpu dengan sisi badannya. Dia menghadap ke Juwita.Juwita terkekeh. "Masaknya emang susah, sih. Apalagi baru belajar. Yang ada, mah, aku emang payah. Bener juga kalau dibilang aku tadi susah paya
Juwita mengulas senyumnya setelah menandatangani berkas terakhir yang dibawakan oleh Erika. Perkerjaannya untuk hari ini selesai. Dia juga bisa pulang cepat karena jam masih menunjukkan pukul dua siang."Mau jemput anak, Bu?" tanya Erika sambil merapikan kumpulan kertas di meja Juwita.Juwita mengangguk. "Seperti biasa.""Kapan-kapan anak Ibu dibawa ke sini, kek. Diajak main gitu ke tempat kerjanya Ibu."Juwita menurunkan kedua ujung bibirnya. "Hmm, alesan. Aslinya kamu pengin lihat anak saya yang ganteng, kan?"Erika terkekeh. Dia ketahuan ternyata. "Di foto aja ganteng. Apalagi kalau aslinya."Juwita mengangguk setuju. "Anak saya ganteng banget memang. Manis.""Sama bapaknya? Ganteng mana?"Alis Juwita terangkat. "Maksud kamu apaan, hah? Dua-duanya ganteng, lah."Erika memajukan bibir bawahnya. "Sekarang berani bucin, ya. Dulu aja diajak kencan sama model dan artis terkenal susahnya minta ampun."Juwita terkekeh. "Yang ini beda." Dia berbisik di telinga Erika.Tatapan wanita itu men
Akhir pekan benar-benar dihabiskan oleh Jevano di dalam rumah. Sejak pagi buta anak itu sudah mulai membersihkan halaman belakang rumah dan dilanjut depan rumah. Dia juga menata ulang pot-pot halaman depan dan belakang sekaligus membersihkan tanah yang berceceran di sekitarnya. Dengan teliti dia memotongi dedaunan yang layu dan menata bentuk pohon-pohon yang ada di sana. Bakat berkebunnya ini dia dapatkan dari Budhe Lia yang juga suka sekali memelihara tanaman di halaman depan dan samping rumahnya. Dia selesai dari semua acara bersih-bersihnya bahkan sebelum salah satu orang dari rumah utama keluarga Anggari datang untuk membantu bersih-bersih. Bahkan ayah dan bundanya pun belum terlihat juga.Juwita baru bangun dan keluar kamar saat Jevano masuk membawa sapu, gunting pemotong tanaman dan garpu sampah yang dia ambil dari halaman belakang. Wanita itu menajamkan matanya saat melihat anaknya berjalan ke pintu halaman belakang. "Jev?" sapanya agak ragu. Matanya menyipit.Jevano menoleh, t
Juwita telah berpakaian rapi meskipun hari ini adalah akhir pekan dan jadwalnya untuk menghabiskan waktu di rumah. Dia sekarang membawa beberapa barang di tas jinjing yang lumayan besar. Dia menaiki tangga, hendak menghampiri sang suami yang ada di ruang kerjanya untuk meminta izin keluar rumah.Pintu itu diketuk dan dibuka setelah beberapa saat."Aku pamit, Mas." Juwita menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Sebisa mungkin dia menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata sekarang."Kamu yakin, Juwita, mau pergi di akhir pekan ini?" tanya Jamal sambil menatap Juwita perhatian. Dia menjabat tangan istrinya dan mendapatkan ciuman di punggung tangannya dari wanita itu.Juwita mengangguk. "Hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku enggak tahu lagi harus bagaimana, Mas." Mata Juwita sudah berkaca-kaca. Untung saja dia hanya berias tipis, tidak full make up seperti saat akan pergi ke acara formal."Enggak coba bicara sama dia dulu?" Jamal hanya ingin meyakinkan keputusan yang Juwita buat. "Ka
BRRAKK!!Pintu itu terbuka dengan keras, membuat seorang wanita yang ada di dalam ruangan terlonjak kaget."Itu pintu rumah sakit bisa opname juga, Kak, kalau kamu bukanya kayak orang kelebihan tenaga!" Hellen mengelus dadanya yang sedang dipukul-pukul oleh jantungnya dari dalam. Tidak habis pikir dengan sahabatnya itu, sepagi ini sudah datang padahal janji mereka kemarin jam sembilan pagi. Masalahnya, ini belum pergantian shift. Mau apa wanita di hadapannya ini?"Sumppwaah! Suwebel gue!" Juwita menutup pintu dengan pelan dan melemparkan tas jinjingnya ke kasur yang ada di ruang periksa Hellen. Sekalian dia rebahkan tubuhnya juga di sana. Tidak peduli dengan baju modis miliknya.Hellen segera berlarian ke pintu masuk. Dia membukanya sedikit dan menyembulkan kepalanya, menoleh ke kanan dan ke kiri. Mungkin saja ada orang yang akan masuk. Dirasa aman, dia pun menutup pintu ruangannya dengan rapat, lalu menghadap ke sahabatnya yang sudah rebahan sambil menatap langit-langit rumah sakit.
Sudah pukul sepuluh malam. Jamal yang tadinya menyelesaikan laporan yang kemarin sempat tertunda karena pulang cepat pun memutuskan untuk mengecek keadaan anaknya. Dia membuka pintu kamar anak itu tapi yang dia temukan malah kamar yang kosong. Dia pun memutuskan untuk melangkah ke bawah. Mungkin saja anaknya sedang melihat film di ruang tengah. Tidak mungkin juga kalau anaknya tersebut pergi keluar rumah tanpa izin. Bukan Jevano sekali kalau begitu.Benar saja, saat sampai di tengah tangga, dia melihat anaknya ada di ruang tengah."Enggak tidur, Jev?" tanya Jamal, mendekati anaknya yang duduk di sofa. Posisi duduk pemuda itu agak melorot, menatap layar gawainya serius meski dia malah terlihat tanpa minat. Kakinya berada di atas sandaran."Bentar lagi. Besok masih libur,
"Hei." Pria berjaket kulit cokelat itu menyapa seorang wanita yang duduk sendirian di taman perumahan. Dia masih dengan senyuman pamer lesung pipi meski terlihat khawatir. "Hellen mana?" tanyanya lantas duduk di sebelah wanita itu, Juwita.Juwita tersenyum kecut. Dia menggeleng. "Enggak ikut. Dia habis jaga kemarin dan aku enggak tega lihat dia tepar sejak pulang dari jalan-jalan tadi.""Berarti kamu nyetir sendiri ke sini?" tanya pria itu, Jamal, memastikan.Juwita mengangguk lemah. Dia bisa menangkap nada tidak setuju dari suaminya.Helaan napas Jamal terdengar berat. "Lain kali jangan sendirian kayak gini, ya? Antisipasi aja kalau ada sesuatu yang enggak diinginkan kayak dulu."
Hari Ahad. Hari libur seperti ini seharusnya menjadi hari yang menyenangkan untuk para murid dan pekerja kantoran. Mereka bisa menghabiskan waktu untuk melakukan apa yang mereka mau dengan sepuasnya. Namun, berbeda lagi ceritanya dengan hari Ahad Jevano yang sangat membosankan dan sepi di rumah kali ini. Ya, setidaknya itu yang membuatnya malas sekali untuk beranjak di kasur. Setelah bangun pagi dan menyapu rumah, dia kembali ke kamar untuk membersihkan diri dan terlentang lebar di atas ranjang seperti bintang laut di lautan.Ketukan di pintu kamar Jevano terdengar jelas. "Jev, kamu enggak makan?" tanya sebuah suara dari balik pintu yang langsung mengundang dengkusan pemuda lima belas tahun itu."Ayah masak apa?" tanya Jevano balik. Dia malas sekali mau membuka pintu. Tapi, tak urung juga dia bergerak untuk menghadap ayahnya. Rasanya tidak pantas kalau bercakap tanpa berhadapan langsung. Apalagi yang berbicara adalah orang tuanya. "Maaf. Ayah masak apa?" ulangnya lagi setelah membuka