Jevano langsung berbalik badan dan menggigit martabak yang ada di tangannya. Dia menggeleng-geleng tak karuan, berusaha menghapus pemandangan yang baru saja tertangkap oleh matanya. Namun sia-sia saja. Keburu masuk ke otak. Apa-apaan tadi ayahnya? Mengambil kesempatan dalam kesempitan. Yakin setelah ini dia pasti akan jadi kacang. Mana sekarang dia sudah sendiri di ruang tengah. Menyedihkan sekali. Dia pun menatap martabak yang ada di pangkuannya. Apa dia jatuh cinta dengan makanan saja, ya?"Enggak. Enggak. Percuma gue berusaha bangun otot kalau gue gak kontrol makan." Dia perang batin sendiri. Ya, karena batin ayah dan bundanya pasti sedang berperang sendiri di dapur sana.Jamal segera menggeser tubuhnya saat tahu Jevano sudah memalingkan diri. "Maaf sekali lagi, Juwita." Dia berbisik sambil melepaskan tangannya yang tadi menyentuh tangan Juwita.Juwita hanay terdiam dan masih memproses apa yang sedang terjadi. Kemudian dia mengangguk maklum. "Usaha biar Jevano enggak curiga, kan? E
Makan malam sudah siap di atas meja. Jevano yang menatanya. Bayangan mengerikan tentang nasi goreng dengan sosis yang dipotong besar-besar dan udang yang masih berkulit yang memenuhi kepalanya tadi lenyap seketika. Untung ayahnya datang tepat waktu. Paling tidak, penampilan nasi goreng yang telah dia tata itu tidak membuat selera makannya hilang. Semoga rasanya juga selamat.Pemuda itu duduk tenang di atas kursi yang biasa dia pakai di ruang makan. Dengan santai, dia mengeluarkan gawainya untuk menonton video terbaru unggahan boy group kesukaannya, NCT. Hitung-hitung untuk mengisi waktu luang sambil menunggu orang tuanya selesai membersihkan diri."Jangan dekat-dekat, Jevano. Kacamatamu mana?" tanya Jamal yang baru saja selesai mandi. Kini dia sudah memakai baju kasual ala rumahan. Dia duduk di kursinya."Hehehe. Di kamar," jawabnya enteng lalu meneruskan menonton."Bunda mana?" tanya pria itu lagi. Dia melihat tata hidangan yang disusun oleh anaknya. Bisa diacungi jempol juga kerja a
Dentingan alat makan terdengar samar dan sesekali memenuhi ruang keheningan. Keluarga kecil itu masih menikmati nasi goreng seafood karya kolaborasi itu. Jamal dan Jevano tampak khusyuk dengan isi piring mereka, menyisakan Juwita yang memutar otak untuk mencari topik pembicaraan yang bisa memecah kesunyian di antara mereka."Jev," panggil wanita itu kepada anaknya. Jevano hanya menggumam sambil mengunyah makanannya. "Akhir pekan mau ngapain?"Anaknya hanya mengedikkan bahu. Seperti tidak tertarik dengan tema yang dipilih bundanya."Kamu enggak ada janji sama temen kamu di sekolah atau apa gitu?" Seperti Juwita biasanya, dia akan terus mencoba untuk mengajak Jevano berbicara.Jevano menggeleng. "Baru juga masuk sekolah." Dingin dan datar. Seperti Jevano biasanya. "Mana ada temen?"Juwita melipat bibirnya. Dia ragu akan meneruskan percakapan ini. Dia baru ingat dan sadar kalau Jevano memasuki lingkungan yang baru. Sangat tidak mungkin kalau anaknya ini sudah mempunyai teman akrab. Dia ja
"Boleh dibantu?" tanya Jamal sambil mengusap pundak Juwita. Dia mengulaskan senyuman dan memamerkan lesung pipi.Juwita yang mengantuk berat akhirnya mendapatkan kesadaran. Dia menarik napas dalam dan menoleh. "Iya, Mas?" tanyanya berusaha meraih semua energi untuk menahan kantuk."Boleh dibantu? Kamu kelihatan lelah, Juwita."Wanita itu menggeleng. "Mas Jamal istirahat aja. Biar aku selesaikan ini semua. Tinggal bilas doang, kok."Jamal mengangguk. "Aku temani di sini, ya. Gak papa, kan?" permisinya."Mas Jamal enggak istirahat aja? Kan, Mas Jamal kerja seharian. Besok juga masih kerja." Juwita bersikeras agar Jamal segera tidur."Besok kamu juga kerja. Sama aja. Lagian kamu hari ini juga udah susah payah buat masak. Sekali lagi terima kasih." Jamal menyandarkan dirinya di bar dapur dan bertumpu dengan sisi badannya. Dia menghadap ke Juwita.Juwita terkekeh. "Masaknya emang susah, sih. Apalagi baru belajar. Yang ada, mah, aku emang payah. Bener juga kalau dibilang aku tadi susah paya
Juwita mengulas senyumnya setelah menandatangani berkas terakhir yang dibawakan oleh Erika. Perkerjaannya untuk hari ini selesai. Dia juga bisa pulang cepat karena jam masih menunjukkan pukul dua siang."Mau jemput anak, Bu?" tanya Erika sambil merapikan kumpulan kertas di meja Juwita.Juwita mengangguk. "Seperti biasa.""Kapan-kapan anak Ibu dibawa ke sini, kek. Diajak main gitu ke tempat kerjanya Ibu."Juwita menurunkan kedua ujung bibirnya. "Hmm, alesan. Aslinya kamu pengin lihat anak saya yang ganteng, kan?"Erika terkekeh. Dia ketahuan ternyata. "Di foto aja ganteng. Apalagi kalau aslinya."Juwita mengangguk setuju. "Anak saya ganteng banget memang. Manis.""Sama bapaknya? Ganteng mana?"Alis Juwita terangkat. "Maksud kamu apaan, hah? Dua-duanya ganteng, lah."Erika memajukan bibir bawahnya. "Sekarang berani bucin, ya. Dulu aja diajak kencan sama model dan artis terkenal susahnya minta ampun."Juwita terkekeh. "Yang ini beda." Dia berbisik di telinga Erika.Tatapan wanita itu men
Akhir pekan benar-benar dihabiskan oleh Jevano di dalam rumah. Sejak pagi buta anak itu sudah mulai membersihkan halaman belakang rumah dan dilanjut depan rumah. Dia juga menata ulang pot-pot halaman depan dan belakang sekaligus membersihkan tanah yang berceceran di sekitarnya. Dengan teliti dia memotongi dedaunan yang layu dan menata bentuk pohon-pohon yang ada di sana. Bakat berkebunnya ini dia dapatkan dari Budhe Lia yang juga suka sekali memelihara tanaman di halaman depan dan samping rumahnya. Dia selesai dari semua acara bersih-bersihnya bahkan sebelum salah satu orang dari rumah utama keluarga Anggari datang untuk membantu bersih-bersih. Bahkan ayah dan bundanya pun belum terlihat juga.Juwita baru bangun dan keluar kamar saat Jevano masuk membawa sapu, gunting pemotong tanaman dan garpu sampah yang dia ambil dari halaman belakang. Wanita itu menajamkan matanya saat melihat anaknya berjalan ke pintu halaman belakang. "Jev?" sapanya agak ragu. Matanya menyipit.Jevano menoleh, t
Juwita telah berpakaian rapi meskipun hari ini adalah akhir pekan dan jadwalnya untuk menghabiskan waktu di rumah. Dia sekarang membawa beberapa barang di tas jinjing yang lumayan besar. Dia menaiki tangga, hendak menghampiri sang suami yang ada di ruang kerjanya untuk meminta izin keluar rumah.Pintu itu diketuk dan dibuka setelah beberapa saat."Aku pamit, Mas." Juwita menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Sebisa mungkin dia menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata sekarang."Kamu yakin, Juwita, mau pergi di akhir pekan ini?" tanya Jamal sambil menatap Juwita perhatian. Dia menjabat tangan istrinya dan mendapatkan ciuman di punggung tangannya dari wanita itu.Juwita mengangguk. "Hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku enggak tahu lagi harus bagaimana, Mas." Mata Juwita sudah berkaca-kaca. Untung saja dia hanya berias tipis, tidak full make up seperti saat akan pergi ke acara formal."Enggak coba bicara sama dia dulu?" Jamal hanya ingin meyakinkan keputusan yang Juwita buat. "Ka
BRRAKK!!Pintu itu terbuka dengan keras, membuat seorang wanita yang ada di dalam ruangan terlonjak kaget."Itu pintu rumah sakit bisa opname juga, Kak, kalau kamu bukanya kayak orang kelebihan tenaga!" Hellen mengelus dadanya yang sedang dipukul-pukul oleh jantungnya dari dalam. Tidak habis pikir dengan sahabatnya itu, sepagi ini sudah datang padahal janji mereka kemarin jam sembilan pagi. Masalahnya, ini belum pergantian shift. Mau apa wanita di hadapannya ini?"Sumppwaah! Suwebel gue!" Juwita menutup pintu dengan pelan dan melemparkan tas jinjingnya ke kasur yang ada di ruang periksa Hellen. Sekalian dia rebahkan tubuhnya juga di sana. Tidak peduli dengan baju modis miliknya.Hellen segera berlarian ke pintu masuk. Dia membukanya sedikit dan menyembulkan kepalanya, menoleh ke kanan dan ke kiri. Mungkin saja ada orang yang akan masuk. Dirasa aman, dia pun menutup pintu ruangannya dengan rapat, lalu menghadap ke sahabatnya yang sudah rebahan sambil menatap langit-langit rumah sakit.