"Inalilahi wainalilahi rojiun," ucap Paman Dude ketika sudah selesai menyentuh pergelangan tangan Rendi.Wanita muda berparas cantik itu menjerit histeris, menangis terisak-isak tak terima jika sang suami telah pergi untuk selama-lamanya.Dian memeluk jasad sang suami begitu erat di pangkuannya. Sambil mencium pipi suami yang amat di sayanginya untuk yang terakhir kali.Dian begitu syok tak terima jika sang suami yang amat dicintainya harus dinyatakan meninggal dunia. Akhirnya Dian pun tak kuasa, ia lemah dan jatuh pingsan. Tak percaya nasib suaminya begitu tragis, kalau saja hari ini tidak ada Sari si janda kembang itu mungkin Dian pun tak akan menjadi janda di tinggal mati.***Di tengah kerumunan tetangga dan kerabat dari Emak Jamilah yang sedang melayad rumah duka, terlihat Diandra yang masih terbujur kaku di atas ranjang. Wanita muda itu masih belum sadarkan diri, sedangkan sang nenek sudah berusaha agar cucu satu-satunya terbangun kembali. Wanita paruh baya itu mengusap pipiny
3 TAHUN BERLALUPOV DIANDRA.Air mataku pecah ketika aku memandang gerobak cilok yang sering Mas Rendi pakai untuk berjualan cilok keliling. Ada rasa menyesal di benakku ketika saat itu aku tinggalkan dia sendirian. Mungkin kalau aku tak meninggalkannya kala itu, aku akan mati bersama Mas Rendi atau mungkin Mas Rendi akan selamat bersama ku kalau aku tidak meninggalkannya sendirian pada saat itu.Mas, nyatanya sampai saat ini aku belum bisa melupakanmu, aku terlalu lemah tanpamu. Mas aku merindukanmu, apakah kau disana juga merindukanku. Rasanya aku ingin secepatnya menyusulmu ke alam sana. Kalau saja bunuh diri itu tidak dosa, maka akan aku lakukan. Kau pergi meninggalkan sejuta luka, kesiapan ku belum sempurna untuk kau tinggalkan begitu saja.Inilah yang membuatku hampir saja depresi, aku menyesali perkataan ku yang amat egois dan menyebalkan padamu. Ucapan yang keluar dari mulutku ini begitu kasar, kurang sopan bahkan tidak ada rasa hormat pada suami. Aku begitu menyasal Mas, dad
Byuur! Satu gelas air mendarat di wajahku, alangkah aku terkejut saat kulihat Emak sudah siap dengan tangan memegang gelas yang masih berisi air setengahnya lagi."Maaf Dian, Emak sudah lancang mengguyur dengan air ini, lantaran kamu susah sekali di bangunkan, jadi Emak terpaksa ambil air untuk menyemburkan pada mukamu," papar Emak penuh permohonan.Entah disengaja atau tidak, yang jelas memang aku kalau di bangunkan tidur suka susah dari dulu juga, pantas saja Mas Rendi waktu pertama kali menikah sering marah-marah tak jelas."Tidak apa Mak," kataku pasrah sambil mengelap wajah dengan selimut yang saat ini ku pakai."Emak minta tolong kamu hubungi Mang Odang, Emak mau ngojek. Kaki Emak pegal-pegal sekali Dian," ungkap Mak Jamilah sambil memijat kakinya.Aku terharu saat mendengar keluh kesah nenek tua itu, pasti kakinya sudah mulai lemah karena dimakan usia, makannya jadi pegal-pegal seperti itu."Baik Mak, aku Whatsap dulu ya," kataku sambil mengutak-ngatik benda pipih yang selalu
Tanganku bergetar memberikan lembaran uang pada pria yang amat tampan itu, kalau saja aku tau bukan dia yang akan muncul di warung ini, pasti aku mencari pinjeman dulu sama tetangga, sekarang tidak ada pilihan lain lagi deh, "Ini uangnya."Ada rasa takut juga kalau uangnya di tolak karena alasan jelek, sudah pasti aku malu, sudah seperti di tolak cinta rasanya pasti nyeri."Terimakasih Teh, apa gak sekalian aja sama nomor Whatsap nya?" goda Paisal.Untung matanya tidak meneliti uang ku berikan, alhasil aku terbebas dari rasa maluku dan rasa takutku akan di tolak."Paisal! Kamu jangan main-main dengan janda! Apalagi janda itu suaminya telah mati," tegur Bu Salma pada Paisal sekaligus menyindirku.Pantesan kata Emak mulutnya kayak tutup langseng bolong, eh ternyata bukan sekedar tutup langseng tapi sekalian sama tutup panci yang telah jelek."Paisal sana pergi kedalam, kalau sudah, ngapain masih ngobrol! Buang-buang waktu saja," gerutu Bu Salma.Aku pun yang masih terpaku dengan berat ha
Akhirnya aku pasrah dan duduk manis ku kursi depan, bersebelahan dengan Juragan Dingkul yang penampilannya sudah om-om berkumis baplang dan berkepala botak. Pokoknya serem sekali.Seiring lajunya mobil dengan kecepatan yang menurutku amat pelan. Pandangan Juragan Dingku terus saja melirik padaku, memang aku merasa tak nyaman dan gelisah. Ada rasa takut dan keringat pun bercucuran membasahi dahi."Pak Juragan, bisa gak kalau itu mata liatnya kesonoh. Bukan Lian ke saya terus, nanti kalau nabrak tronton 'kan berabe juga. Mana mobil juragan rusak dan aku bisa mati mendadak, aku tidak mau pokoknya aku gak mau mati sekarang, masih muda ini. Masih banyak cowok-cowok yang menungguku di luar sana," umpatku di sela rasa takutku."Neng Dian tenang saja, jangan takut begitu karena mati, 'kan di sebelah Neng Dian ada Abang.""Ih ogah situ lebih mirip malaikat pencabut nyawa, aye takut banget.""Masa iya si Neng, Abang mirip malaikat pencabut nyawa, kayaknya lebih mirip Raffi Ahmad deh.""Busyet R
"Juragan semakin hari semakin tampan dan juga kaya saja, memang dia juragan yang palih sempurna di kampung kita, tidak hanya baik dan juga gagah tapi juga ramah suka bagi-bagi uang," celoteh tetanggaku Pak Umar.Hampir saja kumis baplang juragan Dingkul beralih ke pada Ceu Saodah.Aku bingung harus melakukan apa, tubuhku masih terkurung di dalam mobil Juragan Dingkul, sedangkan Juragan Dingkul sudah keluar untuk menemui keramayan tetanggaku sama sekalian mau bagi-bagi uang, lantaran banyak sekali yang memujinya."Dasar orang aneh, di puji-puji saja langsung di bagi uang, giliran ngutak ke warung gak di perbolehkan. Manusia apa yang seperti itu," gumamku lirih masih berdiam diri di dalam mobil.Ketika semua tetangga sedang berkumpul karena akan di bagi uang oleh Juragan Dingkul, akhirnya aku punya peluang untuk bisa keluar dari perangkap mobil ini.Ku buka pintu mobil ini secara perlahan di barengi dengan sehati-hati mungkin, semoga saja mereka tidak ada yang melihatku bahkah tidak ada
"Misi!" seru seorang pria paruh baya bertubuh kekar dan berwajah seram serius, pokoknya kaya Kang Komar di preman pensiun deh."Iya Pak, ada apa? Atau mau beli cilok?"sahutku ramah terhadapnya."Mau beli cilok gimana! Ini tempat saya, kamu gak lihat saya pedagang juga, saya bawa gerobak juga ini!" ketusnya.Aku menelan saliva dengan susah payah, kala mendengar sentakannya, ku pikir bapak yang barusan akan membeli cilok."Ini lapak saya, biasanya saya dagang disini! Sana kamu pergi dan cari lapak lain saja," tegasnya sambil mengusirku.Aku mengusap dada yang terasa sesak ini. Lagi-lagi aku dapat semburan dari orang, kalau di rasa-rasa hari pertama berdagang kok apes banget sih, pagi kena semprot ibu-ibu, sekarang malah di semprot sama Bapak-bapak. Nanti sore apa lagi.Begini amat jadi pedagang kecil udah jam 10 siang tapi cilok ini belum laku satupun.Ada rasa mengeluh dengan semua ini, tapi mau gimana lagi aku harus menjadi wanita kuat, sama seperti Emak, walaupun Emak udah tua tapi wa
"Semuanya gara-gara Lo, gue yang jadi korban," lirih pria itu.Ku ulurkan tanganku untuk membantunya berdiri, "Nanti gue obati, sekarang Lo ikut gue dulu."Dia hanya menuruti keinginanku. Tak ada kata-kata lagi yang terucap diantara kami, akhirnya aku memapah pria yang tak ku kenal sama sekali untuk kembali ke gerobak cilok ku."Lo tunggu disini, nanti gue ambilkan obat merah sama kapas sama sekalian lebam lo gue lapin ya biar gak biru dan membengkak," kataku sambil mengambil barang untung disiapkan.Tak berselang lama, aku mengelap beberapa luka lebam di dahi dan juga bagian tubuh lain, gak parah juga sih, tapi kayaknya sakit.Tak terasa mata kami saling berpandangan, hampir saja jantungku terbang akan copot dari tempatnya."Nih lap sendiri, Lo pake acara Mandang gue segala lagi. Gue jadi teplek nih," ku lemparkan lap basah itu pada wajahnya."Gila Lo, cewe galaknya minta ampun. Kaya ibu tiri gaya Lo.""Suka-suka gue,lain Lo pake acara mandangin, emang sih gue ini cantik tapi Lo liha