Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (1)
"Atas nama Bapak Ivan? Ibu siapa ya?""Saya istrinya."Wanita di meja recepsiont itu terlihat agak gugup. Aku menghela napas, jadi hotel mewah bintang lima ini yang menjadi tempat kamu berkencan, Mas?"Maaf, kami tidak bisa memberitahu. Ini privasi pelanggan."Dia menangkupkan kedua tangan di depan dada dengan sikap sopan yang mengagumkan. Aku tersenyum."Jangan khawatir, Mbak. Saya datang atas permintaan suami saya. Dan saya tahu dengan siapa dia disini."Dan kini, aku berdiri di depan pintu kamarnya, sesaat menata hati. Sekuat tenaga kutahan debaran jantung yang menggi-la, dan berdoa semoga air mataku tidak tumpah di depannya.Pintu terbuka setelah aku menekan bel. Wajah lelaki yang sudah menjadi suamiku selama enam tahun lamanya itu menyembul dari balik pintu."Mana berkasnya?"Aku mengulurkan tas kerjanya yang tadi ketinggalan. Dia menghubungi lewat ponsel, memintaku mengantarkannya kesini karena meeting akan segera diadakan dua jam lagi di aula hotel."Makasih sayang. Kamu langsung pulang ya."Dia menahan pintu agar tak terbuka semua. Aku tersenyum, dengan sekali sen-tak, kudorong pintu hingga terbuka, lalu menutupnya kembali.Dan pemandangan yang kusaksikan, ternyata amat menyesakkan dada, kendati aku telah bersiap menghadapinya. Seorang wanita cantik berambut coklat, tengah berbaring dalam selimut di ranjang king size itu, sementara pakaian mereka berdua, bertebaran dilantai. Tak perlu dijelaskan apa yang sudah terjadi, yang pasti, di dalam sini, hatiku benar-benar meneteskan da-rah."Jadi dia wanita yang menjadi alasanmu berangkat dari rumah lebih awal? Dan ini sudah kedua kalinya, Mas. Apa kamu lupa perjanjian kita?"Mas Ivan, yang baru tampak jelas kalau hanya menggunakan pakaian dalam di balik kimononya, terdiam, memandangku lekat."Kalau kau lupa, biar kuingatkan sekali lagi. Jika terbukti kau berselingkuh untuk kedua kalinya, aku berhak menuntut cerai, dan …"Plok plok plok …Belum selesai aku bicara, wanita di atas kasur itu bangkit, membiarkan selimut yang menutupi dadanya jatuh, mempertontonkan assetnya yang mena-ntang."Bagus. Kau memang harus mundur. Bukankah itu yang kita inginkan Mas?"Mas Ivan menggelengkan kepala. Tatapan matanya lekat padaku."Nggak Aya. Kita akan bicarakan ini. Tunggu aku di rumah. Sabarlah."Aku tersenyum, meski dengan bibir bergetar."Jangan ajari aku untuk bersabar, Mas. Selama lima tahun ini, aku telah cukup bersabar bukan?"Mas Ivan tertegun. Dia mengulurkan tangan hendak menyentuhku. Refleks, aku mengelak."Ayara … ""Kamu sudah terlambat."***Aku menutup resleting koper dan menariknya ke pintu. Kutatap lagi seisi rumah ini dengan hati yang luruh, perlahan hancur berkeping-keping."Kita jadi pergi, Ma?"Suara Lucia, gadis kecil berusia lima tahun itu membuatku mengangkat kepala. Aku tersenyum, meraih tubuh mungilnya dalam dekapan."Tentu saja.""Kita mau kemana?"Dia mengurai pelukan dan memandangku."Ke suatu tempat, dimana tak ada lagi orang jahat yang bisa menyakiti kita."Gadis kecil itu mengulurkan tangan, mengusap mataku."Mata Mama basah lagi. Mama habis nangis?"Meski baru berusia lima tahun, suara Lucia amat jelas, sejelas ekspresi wajahnya yang ikut bersedih. Dia sangat peka, tahu kapan aku sedih dan kapan aku bahagia. Karenanya, aku amat berhati-hati saat di hadapannya, meski terkadang, pertahananku jebol juga.Aku tak menjawab pertanyaannya, melainkan kembali memeluknya erat-erat."Pasti Papa jahat lagi, kan?"Aku menggelengkan kepala."Tidak, tapi kita memang harus pergi. Cia ingat rumah kecil kita yang nggak jauh dari pantai itu? Yang ada ayunannya?"Matanya berbinar, "Ingat!""Kita akan tinggal disana.""Horeee!"Dia berseru gembira, berlari kesana kemari, sementara aku menatapnya pilu. Sebentar lagi, aku akan memisahkanmu dari Papamu, nak. Selamanya, kau hanya akan tahu bahwa akulah Ibumu.Meski, tak setetespun darahku mengalir dalam tubuhmu.***Lima tahun yang lalu.Aku meremas kertas hasil lab di tanganku dengan hati hancur. Aku tidak bisa punya anak! Hati perempuan mana yang tak akan merana?"Bukan tidak bisa, tapi kemungkinannya sangat kecil," ralat dokter.Sama saja. Itulah jawaban, kenapa hingga tahun pertama terlewati, aku tak kunjung hamil, padahal kami berdua sama-sama garang di atas ranjang.Suara mobil memasuki halaman yang akhirnya menghentikan tangisku. Kumasukkan hasil lab itu ke dalam tas setelah melipatnya kecil-kecil. Mas Ivan tidak boleh tahu."Ayara?"Suaranya memanggilku terdengar, lalu ada suara lain yang membuatku tertegun. Suara tangisan bayi!Aku keluar kamar, dan mendapati Mas Ivan berdiri sambil menggendong bayi yang masih merah. Bibirnya yang mungil membuka, mencari-cari puti-ng susu."Bayi … siapa?""Aya … maafkan aku. Tapi, bayi ini … anakku."Sebuah puk-ulan telak yang nyaris membuatku limbung. Disaat aku sedang bersedih karena vonis dokter, suamiku membawa anak hasil hubungan gelapnya dengan perempuan lain.Aku mundur selangkah."Kamu gila, Mas.""Tolong Aya, tolong rawat bayi ini. Ibunya membuangnya dan tak mau mengakuinya. Kasihani dia, Aya. Aku berjanji akan menebus kesalahanku padamu."Aku menatap mata hitamnya yang kelam."Sudah berapa lama, Mas? Dan sudah berapa kali kamu mengkhianatiku?""Ini yang pertama, Aya. Aku janji, jika aku mengulanginya sekali lagi, semua milikku akan menjadi milikmu."Aku terdiam sejenak, kuraih bayi itu dalam gendongan. Matanya yang jernih dan bulat menatapku dengan sisa-sisa air mata yang masih menggenang. Dia sudah berhenti menangis, tepat saat kedua tanganku menyentuh tubuhnya.Mas Ivan memandangku takjub."Dia menyukaimu."Aku mengangkat kepala dan tatapan kami kembali bertemu."Ulangi janjimu, Mas, kalau kau ingin aku menerima anak ini."Mas Ivan tampak menelan ludah."Ayara Sasmita, aku berjanji, jika aku mengkhianatimu kedua kalinya, semua milikku, akan menjadi milikmu."Aku tersenyum, kucium kening si bayi, yang langsung memejamkan mata saat bibirku menyentuh keningnya."Semua milikmu, termasuk anak ini."***Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (2)Perjanjian itu akhirnya benar-benar dibuat di kantor notaris, dengan disaksikan kedua orang tuaku dan kedua orang tuanya. Kutahan omongan miring dan cibiran mereka, yang mengatakan aku gila harta, sementara aku sendiri mandul. Ya, meski tak satupun tahu hasil lab yang kusembunyikan itu, satu tahun pernikahan tanpa tanda-tanda kehamilan, telah membuat keluarga Mas Ivan mengecapku mandul."Nggak masalah kalau Cahaya mandul, aku akan tetap mencintainya," Ujar Mas Ivan waktu itu.Tentu saja tak apa-apa. Perempuan mana yang mau menerima dan mengurus anak hasil hubungan gelapnya dengan perempuan lain? Sementara Mama mertua dan ipar-iparku, justru memandang bayi itu dengan pandangan ngeri."Sembarangan sekali Ivan cari perempuan. Harusnya kalau dia ingin anak dan Aya tak bisa memberi, dia bilang Mama. Lira belum menikah sampai sekarang, dan Mama yakin dia bersedia mengandung benih Ivan."Sungguh, Mama mertuaku menganggap anaknya seumpama hewan, yang boleh-bol
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (3)—--"Rumah sudah ada pembeli, tapi Ivan tidak mau keluar, Ay. Bahkan kini, dia mengajak Ibu dan calon istri barunya tinggal disana."Aku nyaris tertawa. Satu bulan sudah berlalu sejak hari aku meninggalkan rumah itu. Trisha sahabatku yang lain selain Angga, yang juga seorang pengacara memberi laporan. Aku memang menyerahkan semua pada Trisha. Salah satunya karena, aku tak ingin bertemu lagi dengan dia. Dan dia, juga tak boleh lagi bertemu dengan Lucia. "Kalau begitu, rubuhkan saja!"Trisha terbelalak."Aya', kamu serius? Rumah itu kalian bangun bersama. Aku yang jadi saksi bagaimana kamu bekerja keras mencari uang membantu Ivan, juga berhemat demi bisa membangun rumah itu.""Dan karena itu, aku tidak rela Mas Ivan mendiaminya bersama calon istri barunya.""Kalau dirubuhkan, kerugianmu cukup besar, sekitar delapan ratus juta.""Mungkin aku perlu tiga tahun untuk mengumpulkannya lagi. Tapi tak apa. Aku ingin tahu, apa calon istrinya masih mau jika tahu
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (4)___Pagi-pagi sekali, dua buah alat berat sudah berada di depan rumahku. Kompleks perumahan elit itu heboh. Dua orang polisi, dan aparat kompleks ikut pula ada disana. Kebetulan sekali, hari ini adalah hari minggu, dan aku bisa menyaksikan semua itu dengan tenang melalui layar ponsel. Trio Angga, Trisha dan Elena sahabatku sedang beraksi. Dan aku yakin kali ini Elena yang memegang kamera video, menyiarkannya langsung padaku.Trisha dan Angga, bersama dua aparat kompleks, memasuki halaman rumah, sementara dari dalam, Mas Ivan dan Mama mertuaku keluar. Juga Diska adik iparku, serta satu lagi wajah, yang mengingatkanku pada hari naas itu.Jadi, perempuan di kamar hotel waktu itu yang akan menjadi calon istri Mas Ivan? Mereka belum menikah tapi sudah tinggal satu rumah, dibawah persetujuan orang tua Mas Ivan. Hebat."Apa-apaan ini?"Mas Ivan meradang, sementara Mama mertuaku dan dua wanita lain memandang alat berat itu dengan wajah pucat."Rumah ini milik
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (5)PoV IVANUntuk terakhir kalinya, aku menatap rumah yang menaungiku enam tahun lamanya. Rumah yang dulu didalamnya penuh cinta, tapi kini menjadi sengketa."Bodoh! Kenapa kau ambil uang itu? Seharusnya biarkan saja rumah itu dirubuhkan. Mama yakin, Aya cuma mengancam."Dari jok belakang, Mama mengomel panjang pendek. Aku diam saja, berusaha tak peduli. Mama tak tahu siapa Ayara. Dia selalu saja membuatku terkejut. Dulu kukira, dia akan menolak mati-matian mengurus Cia, tapi sekarang, dia bahkan membawa kabur anakku. Ayara, perempuan api, nekad dan mudah terbakar dibalik sikap tenang menghanyutkan yang selama ini dia tampakkan. Aku telah salah perhitungan. Seharusnya, aku lebih berhati-hati."Tidak, Ma. Aya tidak sedang mengancam. Dia sungguh-sungguh.""Kalau begitu, biarkan saja hancur. Kalau rumah itu hancur, kalian sama-sama tak bisa memilikinya, itu lebih bagus. Mama jadi nggak sakit hati."Tidak. Rumah itu tak boleh hancur. Mama tak tahu arti rumah
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (6)Kami menapakkan kaki melintasi halaman yang di tumbuhi rumput swiss dengan hati-hati. Rumput hias berharga mahal, yang perawatannya rumit dan juga mahal ini, biasanya hanya tumbuh di halaman rumah orang kaya. Seperti disini, di halamannya yang luas, rumput ini tumbuh subur serupa permadani, pertanda ada tangan profesional yang merawatnya.Daun pintu yang berukir indah itu mengayun terbuka. Seorang wanita setengah baya menganggukkan kepala dan mempersilakan kami masuk. Aku menghela napas panjang, sebelum masuk setelah membuka alas kaki. Gita di sebelahku, menempel ketat. Berkali-kali dia bergumam memuji keindahan interior rumah ini.Enam tahun menikah dengan Ayara, aku baru enam kali datang saat lebaran. Mereka bukannya tak menerima, tapi aku yang rendah diri. Secara status sosial, keluargaku tak ada apa-apanya. Hanya saja aku berhasil menjadi manager operasional di sebuah perusahaan properti besar. Sesuatu yang membuatku berhasil menegakkan sedikit kepa
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (7)Dulu, semua baik-baik saja. Aku dan Mas Ivan menikah atas dasar cinta. Setidaknya itulah yang kurasakan. Entah, apakah aku kurang peka pada perasaannya yang tak sebesar cintaku, ataukah dia memang tipe lelaki yang mudah berpaling hati. Kami bertemu di acara reuni fakultas. Dia ternyata dua tingkat di atasku, tapi rasanya dulu, aku tak pernah mengenalnya. Maklum saja, aku bukan tipe gadis yang mudah bergaul. Sahabatku hanya tiga. Angga, Trisha dan Elena. Pertama sekali dia datang ke rumahku, esoknya dia langsung melamar. Karena itulah aku menerimanya. Kupikir, seperti itulah lelaki sejati.Tahun pertama yang kujalani manis bak gula, meski dibayangi rasa gelisah karena aku tak kunjung hamil. Dua bulan setelah menikah, Mas Ivan yang waktu itu hanya karyawan biasa, tiba-tiba diangkat menjadi manager operasional. Orang-orang bilang, itu rezeki menikah. Dia tampak semakin sayang padaku, meski berbarengan dengan itu, dia mulai sering pergi ke luar kota dengan
Jangan Ajari Aku Kata Sabar (8)"Saya Banyu, Banyu Biru."Aku mengulurkan tangan, menjabatnya sekilas. Jabatan tangannya mantap dan terasa hangat di telapak tanganku yang dingin oleh air laut. Masih dengan Cia dalam dekapan, aku berdiri."Saya berhutang nyawa padamu. Terima kasih banyak. Semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan."Aku mundur, berbalik dan setengah berlari menuju rumah. Mungkin aku kurang sopan karena tidak mempersilahkan dia ikut ke rumah sebagai ucapan terima kasih. Tapi, di rumah, kami hanya bertiga, perempuan semua, dan dengan statusku yang belum jelas seperti ini, rasanya tak enak bertemu dengan lelaki lain."Ya Allah, ini kenapa, Non?!"Mbak Atik terkejut melihat aku berlari pulang sambil menggendong Cia dalam keadaan basah kuyup dan kusut masai. Aku terdiam sesaat, berusaha menentramkan jantung yang terasa meledak akibat berlari sambil menggendong. Sementara Cia, memeluk leherku erat. Dia tahu bagaimana cemasnya aku tadi."Ayo sama Mbak, kita mandi. Biar Ma
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (9)Banyu Biru, dia seperti alien, yang dengan massif, menelusup masuk dan mendekat langsung ke sasaran. Cia, yang selama ini kehilangan sosok Ayah yang hobi bertualang, seperti mendapatkan penawar atas dahaganya. Usianya memang baru lima tahun. Biasanya di usia itu, gadis kecil sepertinya mencari figur lelaki idola dari Sang Papa."Om Banyu bawa apa?"Aku berdiri di balik gorden, menatap keluar, membiarkan pintu rumah terbuka hingga suaranya menelusup masuk. Di teras, Mbak Atik sedang menyapu. Disini kami harus rajin membersihkan lantai. Angin laut amat suka menerbangkan pasir-pasir halus hingga ke dalam rumah kalau kau membuka pintu. Tapi kali ini, kubiarkan pintu terbuka, ingin mendengar percakapan mereka."Ayo kita lihat!"Mbak Atik sibuk melirik-lirik ke dalam rumah, dan ketika mata kami bertemu, aku menyilangkan telunjuk di bibir, menyuruhnya diam."Wow!"Teriakan takjub Cia terdengar. Dari sini, aku dapat melihat Banyu menggelar tikar dari pandan, d