“Jalang itu menunjukkan wajah aslinya sekarang. Aku lega dia tidak lagi menjadi penghuni rumah ini.”Kaede masih melanjutkan omelannya sepanjang perjalanan ke rumah. Meski Karin dan Kaito sama sekali tidak menanggapi, ia masih terus tetap mengomel mencela Ayu.“Kau bawa ke kamar.” Kaede menyuruh sopir yang memapah Kaito ke dalam.Sopir itu mengangguk dan membawa Kaito masuk ke kamar. Kaito tadi tertidur di mobil, setelah tadi mengamuk saat dibawa ke klinik untuk merawat lukanya—yang ternyata tidak dalam, dan kini sudah tenang. Kaito hanya memandang sedikit bingung ke arah sekitar. Pengaruh alkohol mulai menghilang dari otaknya.“Kau seharusnya tidak usah ikut tadi. Akhirnya kau malah harus mendengar ucapan kasar dari wanita itu! Menjijikkan.” Kaede mengelus bahu Karin.“Kau tak perlu mendengarkannya. Sudah jelas Kaito tidak mungkin pergi mencarinya. Aku yakin dia merayu Kaito untuk datang padanya. Tidak tahu malu!” Kaede sama sekali tidak mendengar maupun ingin mempercayai penjelasan
“Kita harus bertemu.”“Kau siapa?” Hide mengernyit karena tidak mengenali suara maupun nomor yang menghubunginya itu. Hide jarang menyimpan nomor siapapun di ponselnya, karena malas. Itu termasuk tugas Inoue.“Astaga! Sakura. Aku tunanganmu!” Seruan kesal terdengar dari ujung lain.“Oh, ya. Aku ingat.” Hide akhirnya bisa mencocokkan wajah dan suara.“Syukurlah. Itu luar biasa,” sindir Sakura.“Dari mana kau mendapatkan nomorku?” Hide tidak ingat mereka bertukar nomor saat bertemu kemarin. Pertemuan mereka terlalu singkat dan padat.“Tentu saja dari data omiai yang diberikan orang tuaku, dan seharusnya milikku juga ada padamu!” Sakura terdengar gemas.“Oh, begitu rupanya.” Hide tidak mungkin tahu karena tidak pernah melihat data apapun dari Sakura—kecuali data keburukannya yang diberikan oleh Inoue kemarin.“Kau benar-benar tidak peduli padaku ya?” Sakura terdengar geli.“Tentu. Dan bukankah memang harusnya seperti itu?” Hide membalas santai.“Memang. Aku juga tidak peduli padamu, tapi
“Terima kasih.” Ayu mengucapkan terima kasih pada sopir taksi yang membantunya membawa Kyoko turun, lalu melambai padanya saat pergi.Ayu bersyukur mereka mendapat sopir taksi yang ramah, jadi tidak kesulitan membawa Kyoko turun.“Eh?” Ayu baru berbalik untuk membantunya, tapi ternyata Kyoko sudah berjalan terseok masuk. Apartemen Kyoko berada di lantai dasar, jadi masih mudah baginya untuk masuk.“Kau baik-baik saja?” tanya Ayu.“Ya, pulang saja.” Kyoko menyahut sambil menutup pintu. Ayu bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya. Kyoko akan menghempaskan diri di ranjang, dan tidur sampai besok pagi. Seperti biasa, Ayu akan membawa sup untuknya besok, untuk mengurangi sakit kepalanya.Setelah memastikan Kyoko aman, Ayu kemudian menyebrang, menuju apartemennya sendiri.Dengan hati-hati menghindari beberapa kubangan dan juga tanah lembek di halaman depan gedung apartemennya. Hujan yang turun siang tadi, meninggalkan banyak sisa air di halaman yang tidak rata.Ayu lalu menaiki tangga
Jeritan Ayu terhenti, dan memandang dengan takjub saat Hide menyambar leher Endo, mendorongnya ke belakang dengan satu tangan. Dalam kerumitan itu, Hide masih sempat menangkap tubuh Ayu yang nyaris terjatuh karena hilang keseimbangan. “Hide…” Ayu ingin bicara, ingin bertanya, tapi semua tertelan kelegaan. Air mata Ayu menetes tanpa disadarinya, sementara terus memandang Hide dengan tidak percaya. “Apa…” Pertanyaan Hide terhenti, saat melihat pipi Ayu yang memar dan pakaiannya yang robek. Tidak perlu bertanya apa yang terjadi. Bibir Hide menipis menahan emosi, sambil perlahan berdiri lebih tegak. “Kau bisa berdiri?” tanya Hide. Ayu mengangguk, dan menghapus air matanya. Tanpa perlu disuruh, Ayu bergeser ke belakang punggung Hide yang kini menghadap Endo. Pria itu sedang berdiri, sambil menggosok lehernya. Dorongan tangan Hide membuat lehernya terasa terhantam oleh besi. “Kau jangan ikut campur! Ini urusanku dengan…Hkk!” Endo tidak bisa menyelesaikan kalimat, karena Hide sudah ke
“Ini.”Ryu menyerahkan katana yang dibawanya sejak tadi, pada Hide yang baru saja turun dari mobil.“Nanti. Aku ingin bicara dulu.”Ryu mengangguk dan berjalan mengikutinya masuk ke dalam salah satu gedung kosong yang ada di pinggiran Tokyo itu. Gedung itu milik Shingi Fusaya tentunya. Gedung tua bekas pabrik yang telah kosong lima tahun lebih itu, akan dirobohkan bulan depan.“Siapa dia? Apa punya keluarga?” tanya Hide, saat Ryu sudah menjajari langkahnya.“Kouki Endo belum menikah. Anak kedua dari tiga bersaudara. Semua laki-laki. Kedua orang tuanya masih hidup tapi tinggal di Aomori. Mereka sangat jarang berhubungan. Tapi mereka orang biasa.” Ryu menyebut poin informasi yang ingin diketahui Hide.“Bagus. Mereka masih punya anak lain yang menggantikannya.”Nada datar Hide membuat Ryu merinding. Dia sudah berteman lama dengan Hide, tapi jelas masih tidak terbiasa dengan Hide mode berburu seperti ini.Mereka terus melangkah ke dalam, dan akhirnya Ryu yang ada di depan, karena dia yang
Ayu terbangun, tapi bangkit terlalu cepat.“Aahh…” Ayu meluruskan punggungnya. Ada rasa nyeri saat menunduk. Bantingan Endo masih menyisakan rasa sakit.Dan saat mengeluh itu pun, Ayu juga masih merasakan sakit. Pipinya bergerak saat membuka mulut. Memar itu masih menyakitkan.Ayu menghela napas, bersyukur dalam hati karena ini adalah hari sabtu. Dia tidak perlu memakai make up tebal untuk menutupi memar itu.Ayu mengernyit. Terniat dalam hatinya ingin melaporkan pada polisi apa yang dilakukan Endo, tapi hal itu akan sangat menghebohkan. Ayu tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi dari teman kantornya nanti. Yang terburuk akan ada yang menyebutnya janda gatal penggoda pria. Bayangan itu membuat Ayu tidak yakin jika pilihan melapor polisi itu tepat.Mungkin bukti penganiayaan di wajah dan punggungnya bisa memperberat tuduhan pada Endo—juga saksi dari pamannya, tapi Ayu tidak yakin sanggup menanggung keributan yang diakibatkan laporannya itu.Ayu menghela napas panjang, bingung memutus
“Boneka apa?” Ayu menghindar, dan itu langkah buruk.“Boneka kelinci yang ada di kamarmu. Aku yang membelinya untuk…”Macet. Hide masih tidak bisa membahasnya, dan Ayu juga langsung menyibukkan diri dengan mengunyah, tidak memandang Hide sama sekali. Pembahasan tentang kehilangan itu seperti gajah di dalam ruangan—ada dan terlihat jelas, tapi tidak untuk dibicarakan.“Tidak seharusnya boneka itu ada padamu.” Hide memutar dan hanya membahas hal yang ingin diketahuinya.“Aku membelinya sendiri. Itu bukan milikmu.” Ayu nekat.Ini karena ia tidak bisa menjelaskan proses perpindahan boneka itu. Terlalu salah. Ayu menilai apa yang dilakukannya hari itu terlalu salah, memeluk Hide seperti itu salah, karena perasaannya tidak lagi sama seperti saat mencari penghiburan saat kecil dulu. Saat itu dirinya terlalu lemah, dan ingin melupakannya sekarang.“Kau membelinya di mana?” tanya Hide, jelas akan mengejar sampai Ayu mengaku.“Shibuya.” Ayu menjawab secepat mungkin.“Kapan?”“Mmm… Sebulan lalu.
“Menurutku kau harus lapor polisi! Dan itu saja belum cukup. Bajingan itu pantas untuk di kebiri!” Kyoko tidak berusaha menyaring kalimat, dan tangannya memperagakan gerakan mematahkan sesuatu menjadi dua. Tidak perlu ditanya apa yang ingin dipatahkan oleh Kyoko, terutama setelah ia menyebut kata kebiri.“Rencanaku juga seperti itu, tapi aku malas jika sampai terjadi keributan besar,” kata Ayu, sambil menempelkan name tag ke pintu masuk, setelah mengantri beberapa lama.Hari Senin membuat antrian sedikit lebih panjang. Semua orang memilih jam yang sama untuk datang, yaitu lima menit sebelum jam kerja dimulai.“Tapi jijik sekali jika sampai dia masih berada di kantor ini bersamamu. Entah apa lagi yang dilakukan padamu nanti,” kata Kyoko, sambil bergidik.Ayu menghela nafas. Tentu saja sangat setuju dengan pendapat itu. Ayu tidak tahu bagaimana harus menghadapi pertemuannya dengan Endo setelah ini. Ayu bahkan tidak yakin bisa tahan bertemu dengannya. Membayangkan pertemuan dengan Endo s