"Bagaimana, Bas. Boleh 'kan Emak tinggal di rumahmu? Dari pada rumahmu enggak laku-laku. Enggak di tempati. Yang ada nanti malah rusak. Sayang kan, bangunan baru rusak begitu saja?""Ini siapa? Di mana Emak? Berikan ponsel ini padanya!" "Jelita. Masih ingat? Wanita yang kamu putuskan dan lebih memilih wanita lain."Jelita?Jelita adalah wanita masa laluku. Tepatnya mantan kekasihku. Aku menjalin hubungan dengannya sejak masih sekolah menengah. Hubungan cinta monyet itu berlanjut sampai sampai kami lulus. Jelita bekerja di sebuah perusahaan tekstil milik asing. Setiap bulan dia mendapat gaji tetap dan terbilang besar. Sedangkan aku masih pekerja serabutan dengan pendapatan tak tentu.Suatu hari, disaat Jelita ulang tahun, dia meminta sebuah hadiah yang harganya cukup menguras kantongku. Aku menolak dan memberi pilihan lain. Tapi dia marah dan tidak mau. Sampai ponsel pun di blokir. "Jangan heran jika aku ada di sini. Karena semua yang terjadi padamu selama ini, di bawah kendaliku. T
Seperti kesepakatanku dengan Isma. Aku menerima tawaran Jelita. Rumah yang kubangun dengan susah payah sampai mengorbankan waktu dan istri kujual padanya sesuai nominal yang kusebut.Uang hasil menjual rumah sebagian kupakai untuk membeli ruko dua lantai agar bisa kugunakan untuk tempat tinggal dan membuka usaha."Bagaimana, Dek? Apa kamu suka?" Kubuka pintu depan dan kami masuk ke dalamnya. Sebelumnya mulai dari kasur dan lainnya sudah kutata sedemikian rupa. Jadi, ketika anak dan istriku datang, semua sudah rapi. "Aku suka, Mas. Mudah-mudahan tempat ini berkah buat kita." Binar mata Isma terlihat sangat jelas.Perlahan aku membeli gerobak bakso dan berbagai perlemgkapan lainnya. Kebetulan, kalau sudah ada tempat, bos bakso langgananku mau mengajariku. Untuk bahan, aku mencatatnya di ponsel dan belanja pagi hari ditemani si bos bakso."Membuat bakso sangat mudah, Bas. Kita bermain dirasa. Dagingnya premium dan kuahnya yang kental serta aromanya bisa membuat orang lapar. Satu lagi,
"Bas, Emak sakit. Dia rindu padamu. Sejak kamu tak ada kabar, Emak sering melamun. Pulanglah, Bas!" Sebenarnya aku gengsi mengatakan ini pada Ibas. Tapi mau bagaimana lagi, aku juga tak tega melihat Emak terus-terusan melamun. Apa lagi dia sekarang sering sakit-sakitan. Males banget aku merawatnya. Dari pada merawat wanita yang kulitnya sedikit keriput itu, lebih baik aku main dengan teman-temanku.Ibas mengangkat kedua alis dan memejamkan mata sejenak. Kemudian menghempaskan napas. Dia menatapku dengan pandangan tidak suka. Aku sadar diri, karena aku memang sudah berbuat sesuatu yang membuat dia membenciku. Tapi aku cuek saja. "Apa urusanku? Bukankah bagi Emak anaknya cuma kamu?" Ibas terlihat sombong dan seoalah ingin mempermalukan aku di hadapan semua orang. Baru jualan bakso saja sombongnya sudah selangit. Sepertinya aku memang harus bisa membujuk Ibas untuk pulang. Dia sekarang kan sudah cukup sukses. Aku tidak menyangka kalau dalam waktu singkat dia bisa punya tempat sebagu
Perkataan Mas Romi membuatku tak bisa tidur dengan nyenyak. Balik kanan, balik kiti, terlentang, masih sama saja tak bisa lelap. "Kenapa enggak tidur,Mas? Ini sudah jam berapa?" Isma duduk setelah membuka mata dan menyadari mataku masih terbuka."Aku belum ngantuk." "Ada yang kamu pikirkan? Ceritalah, aku siap menjadi pendengar." Mata Isma masih sembab dan sesekali mulutnya menguap."Aku cuma kepikiran dengan omongan Mas Romi. Ucapannya begitu menusuk sampai ke dada.""Omongan yang mana?""Dia berkata seolah umur Emak tidak panjang lagi. Saat ini mungkin aku cuek dan memilih tak menemui Emak. Tapi, aku tak akan sanggup jika kehilangan selamanya." Aku diam dan memejamkan mata sejenak. Kutunggu respon istriku, tapi tak juga ada sahutan."Dek!" Aku membuka mata dan menolehnya. Ternyata wanita yang masih membersamaiku saat ini sudah tertidur pulas.Aku kembali larut dalam lamunan. Membayangkan bagaimana Emak menyuapiku makan ketika masih kecil. Merawat ketika aku terbaring lemah saat s
Mas Romi menarik krah kemejaku. Isma dan Emak menjerit diikuti pekikan tangisan Tegar.Mata Mas Romi membelalak seperti hendak menelanku. Pun denganku, aku siap bertarung dengannya. Jika kebaikan yang dia tunjukkan semu, tak ada alasan bagiku untuk memukulnya."Isma, kamu keluar bawa Tegar. Jangan biarkan dia menonton orang tuanya berantem." Emak menyerukan pada istriku.Isma pun keluar meski dari sudut mata ini kulihat dia terpaksa. Emak memegang tangan Mas Romi untuk melepasnya. Hingga wanita dengan rambut dua warna hitam dan putih itu jatuh ke lantai dan kepalanya terbentur ujung meja akibat sentakan dan dorongan tangan Mas Romi."Mak!" Aku berteriak sekencang mungkin.Entah kekuatan dari mana, aku yang tadinya terkunci oleh cengkraman tangan kakakku, kini bisa melepas dan mendorongnya. Aku segera melihat keadaan Emak. Kusentuh bagian leher dan nadi di lengannya. Emak masih bernapas. Aku menoleh pada Mas Romi. Seperti tak ada penyesalan sedikit pun di wajahnya. Kemudian beralih p
"Maksut Bapak apa bicara seperti itu?! Ini namanya pelecehan, Pak. Aku tidak suka Bapak mengatai Emak sebagia wanita jalang." Aku naik pitam. Yang tadinya begitu sungkan untuk bersikap, kini aku bahkan mengeraskan suara.Mana ada anak yang rela ibunya direndahkan oleh orang lain yang bahkan tidak mengenalnya."Ahahaha ..., Ibas, santai. Lalu apa yang lebih pantas?" Lelaki tua itu tertawa. Aku muak mendengar suaranya yang terus bergema."Bagaimana Bapak tahu kalau aku Ibas? Padahal kita baru pertama bertemu." "Bagaimana aku tidak tahu, Bas? Aku tahu dirimu sejak lahir. Gufron--bapakmu adalah teman baikku." Dia menatap ke arah lain meski masih bicara denganku."Aku heran, kenapa dulu Gufron mau menikahi ibumu. Padahal dia jelas-jelas tahu kalau dia hamil bukan karena kesalahannya.""Apa maksud anda bicara seperti itu?""Apakah ibumu tidak pernah bercerita? Oh, iya. Mungkin dia mengirimmu ke sini salah satunya kamu harus mendengar kisah ini." Dia diam sejenak. Menghela napas dan kembali
Suara Isma membuat aku dan Dani berlari ke lantai dua. Di ruangan itu Isma mendekap Tegar yang sedang menangis sampai matanya merah."Kenapa dengan Tegar?" Aku tak sabar ingin mendengar penjelasan istriku."Ini tadi Tegar jatuh dari ranjang ketika aku ingin mencopot dan membersihkan kotoran Emak, Mas." Suara isma bergetar dan tergugu."Tapi, dia tidak apa-apa kan?" Aku mengambil alih gendongannya. "Lain kali hati-hati dong. Jangan sampai ini terulang lagi. Kasihan kamu, Nak." Kuelus rambutnya yang basah oleh keringat."Sekali lagi maafkan aku, Mas. Aku bingung. Soalnya Emak ngomel terus kalau tidak segera dibersihkan. Sedangkan Tegar ingin segera minum susu. Aku enggak sanggup merawat Tegar dan Emak sendirian, Mas." Lagi-lagi Isma menjerit dan meremas kepalanya yang tertutup hijab."Oh, jadi kamu menyalahkan aku? Kamu enggak ikhlas merawat aku? Ngomong dong dari awal. Kalau begitu, lebih baik aku tinggal di panti jompo saja. Di sana ada yang merawatku. Sekalian kalian menjadi anak dan
Emak terus memutar roda itu sampai ke tepi jalan. Halaman yang belum terpasang pagar dan pintu gerbang dan sedikit menurun membuat kursi roda tersebut melesat dengan cepat. Aku dan Miko berusaha mengejarnya. Kami berteriak sekuat tenaga. Tapi, Emak terus saja melajukannya tanpa peduli dan menoleh padaku."Mak, tunggu, Mak! Awas, Mak!Bahaya." Rasanya otakku berhenti dalam sekejap. Aku tak bisa lagi berpikir positif. "Emak enggak mau orang-orang memasukkan Romi ke penjara. Emak enggak mau Romi menderita. Emak harus mencegahnya." Emak terus menyerukan kata itu. Bahkan sampai saat ini aku belum tahu kenapa Emak terus saja membela anak lelaki yang sering membuatnya malu."Mak ...! Awas ...!" Aku berteriak dengan begitu kencang. Tapi, laju truk dengan muatan berat tersebut sangat cepat menghantam tubuh Emak bersama kursi rodanya sampai terpental. Darah segar mengucur dari kepala, hidung, dan telinganya. Pun dengan kakinya banyak luka menganga di sana.Aku dan Miko tak lagi mengeluarkan