Shine ternganga saat Williem berdecak dan berbalik pergi. “Ah sial!” desisnya. "Setiap penandatanganan kontrak di perusahaan ini ada hukumnya dan itu ada dendanya yang dibayar menggunakan hitungan dollar.” “WHAAT!” teriak Shine. “Kau masuk ke sini dan itu artinya kau sudah diberi akses untuk masuk ke semua sistem yang ada. Kau punya ID sendiri dan itu harus kau jaga jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Hukumannya kurungan penjara kalau sampai ID itu disalahgunakan makanya setiap karyawan yang mengundurkan diri atau dipecat pasti akan menandatangani perjanjian bermaterai untuk tidak membocorkan rahasia prrusahaan." “Aku terjebak!!" Shine merutuki kebodohannya sendiri. "Bisa makan mie instan terus tiap malam di depan mini market." Shine ternganga. Zaf tersenyum lebar. “Jadi, kau tidak ada pilihan selain bekerja padaku kecuali kau punya uang untuk membayar dendanya.” Shine menjambak rambutnya sendiri. "Kerja sana yang benar, nanti kalau rajin aku kasih bonus, menginap semingg
"Fix, aku kena kutuk deh." Sasha memutar bola matanya, jengah. Diabaikannya ocehan Shine dan fokus menonton film Pride & Prejudice sambil mengunyah keripik kentang. "Bayangkan saja, dunia ini ya luasnya kebangetan tapi kenapa setan itu malah hidup di sini dan yang lebih parah lagi dia itu bos sinting yang tidak punya malu ngerjain bawahannya seperti orang yang gak punya kerjaan. Aku kan jadi pengen gampar dia terus, yah, paling gak supaya tuh setan gak kebanyakan tingkah. " "Kalau Bos sih bebas, Shine. Mau dia jalan sambil jungkir balik juga siapa yang larang." "Tapi kenapa harus dia yang jadi bosku." Shine duduk tegak. "Kejadian di pesawat itu sudah setahun yang lalu dan sekarang dia malah muncul menggangguku lagi." Sasha menoleh dengan malas. "Dia memang salah tapi kamu juga. Aku bisa membayangkan kalau dia malah senang bisa bertemu denganmu lagi." Shine mendelik. Minnie yang sejak tadi berada dipangkuannya memilih turun dan bergelung di bantal yang ada di bawah kakinya dan m
Shine tersentak bangun dari tidurnya setelah mendapatkan mimpi yang selalu terulang. Keringat membanjiri wajahnya dan napasnya naik turun tidak beraturan. Shine duduk dan menyisir rambutnya ke belakang. Tahu kalau itu bukanlah mimpi tapi kenangan di masa lalu yang tidak ingin diingatnya. Shine menoleh ke samping, melihat Sasha tertidur nyenyak lalu melihat jam menunjukkan pukul dua belas malam. Dia memutuskan untuk turun dari tempat tidur dan mengambil jaketnya lalu senter juga beberapa lembar uang ke dalam sakunya. Shine menyelinap keluar dan berjalan sendirian di jalan sepi perumahannya menuju ke minimarket depan sekedar untuk mencari angin. Kebiasaannya yang menyebalkan karena dia butuh sesuatu untuk menenangkan perasaannya yang kacau. "Rokoknya satu bungkus," ucapnya ke Amar, penjaga mini market malam ini. Amar menatapnya sejenak kemudian menggelengkan kepala. "Tidak." "Oh come on, Amar Dzon. Aku membutuhkannya saat ini. Hanya untuk malam ini saja." "Shine, aku tidak mau ka
"Bagaimana persiapan produk yang akan kita ikutkan dalam Event RITECH EXPO di Pekan Baru?" Zaf membalik beberapa berkas yang dibacanya sembari menunggu laporan Williem melalui line telpon tentang keikutsertaan perusahaannya dalam pameran teknologi terbesar yang diadakan Pemerintah untuk merayakan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional di Riau. "Aman. Semuanya sudah siap dan beberapa karyawan pemasaran kita sudah berada di sana." "Bagaimana dengan Alvi? Dia sudah stand By?" "Dia sudah berangkat setelah rapat menghebohkan kemarin," sindir Williem membuat Zaf menahan senyum. "Kau mendapatkan kehormatan untuk menjadi tamu undangan dalam bincang-bincang Teknologi yang akan diliput stasiun televisi. Freya sudah mengatakannya bukan?" Zaf membubuhkan tanda tangan di berkas yang sejak tadi di bacanya, mengangkat kepala nampak berpikir setelah melihat tanggal juga layar ponselnya yang menampilkan pesan seseorang. "Aku sudah mendapatkan undangan resminya. Kau saja yang wakilkan. Aku ada urusan
"Pak, saya tunggu di luar saja ya. Siapa tahu Bu Freya butuh teman."Shine nyengir saat Williem yang berdiri di sebelahnya di dalam lift menoleh dan mendengus. "Lebih baik kamu tunggu di ruangan saja dari pada di luar seperti ibu-ibu yang mengantar anaknya ke sekolah."Shite tersenyum. "Kalau begitu saya kembali ke ruangan ya,Pak?"Willem menatap Shine tajam. "Tidak!!"Shine manyun, memeluk berkas yang harus diperlihatkan ke bos Setan di dadanya."Rasanya aneh sekali," gumam Williem yang menatap ke depan membuat Shine heran. "Biasanya, kalau saya ajak asisten saya untuk menemui bos playboy itu, mereka akan langsung melesat ke toilet pada detik pertama keluar dari ruangan, sibuk sendiri membenarkan penampilan di dalam lift membuat saya jengah bukan main tapi kenapa sekarang keadaannya malah aneh." Williem menoleh. "Kamu malah anti bertemu dengannya. Kenapa?""Demi menghindari adegan kekerasan yang mungkin bisa terjadi Pak." Shine memperagakan gerakan menggaruk di depan Wiiliem yang mem
Shine keluar dari lobbi dengan helaan napas panjang. Rasanya hari ini berlalu dengan lambat sekali. Digenggamnya tali tas tangannya yang berisi beberapa berkas juga amplop akomodasi untuk berangkat besok pagi ke Riau bersama Pak Williem. Bersyukur kalau bos setannya itu tidak akan ikut dan dia bisa menikmati pameran dengan hati senang. Shine memutuskan berjalan ke arah halte bus yang berada di persimpangan jalan agak jauh dari area perusahaannya dengan berjalan kaki. Mencoba memikirkan bagaimana caranya dia bisa mendapatkan pisau kesayangannya kembali saat tiba-tiba dia berhenti karena teringat sesuatu. "Astaga, Shine idiot!" ujarnya seraya menepuk dahi "Kenapa bisa lupa sama kalung matahari itu." Shine melanjutkan langkah kakinya di sepanjang trotoar dengan gelengan kepala. Dia yakin kalung itu pasti punya Bos setannya yang bisa dia gunakan untuk barter nantinya. Kalung itu pasti berharga. Kalau dia tetap tidak mau mengembalikannya maka Shine akan langsung datang ke toko perhiasan
"Aku sanggup menghabiskan tiga bungkus nasi goreng ini sendirian," desah Shine dengan senyuman binar sambil mengunyah makanannya. Reflek, Arsen langsung menjauhkan nasi goreng di tangannya membuat Shine tertawa membahana. "Tenang-tenang, aku masih tahu diri." Arsen yang gemas langsung mengacak rambutnya sampai berantakan. "Baguslah. Aku sudah membelikanmu dua bungkus sendiri." Arsen menggelengkan kepala. "Melihat dari napsu makanmu yang gila-gilaan malam ini, aku yakin kamu sedang kesal." "Dua bungkus belum masuk dalam kategori gila," decaknya. "Aku memang sedang kesal. Pokoknya hari ini menyebalkan. Ah ralat—" Shine menoleh ke Arsen setelah merapikan rambutnya. "Setiap hari ketika melihat bos setan itu akan menjadi hari yang menyebalkan." Arsen mengunyah nasi goreng miliknya dalam diam lalu mengalihkan tatapannya ke langit. Setelah membeli tiga bungkus nasi goreng, keripik pedas di pedagang pingir jalan juga minuman dingin, Arsen melajukan mobilnya ke salah satu bangunan parkir ge
Shine bengong di dalam cabin pesawat yang membawanya ke Pekan baru sesaat setelah salah satu pramugari yang tadi melihat boarding pass miliknya membawanya ke kelas bisnis lalu menyuruhnya duduk di salah satu kursi nyaman yang ada di sana."Apa ini tidak salah?" tanya Shine dengan wajah bingung."Ada apa Bu?" Sang pramugari bertanya sopan."Seharusnya saya berada di penerbangan kelas ekonomi. Coba tolong di cek lagi siapa tahu ada kesalahan."Pramugari itu melihat lagi ke boarding pass miliknya. "Shine Aurora Friza?"Shine mengangguk. "Tiketnya memang sudah di upgrade dari kelas ekonomi ke kelas bisnis. Jadi tidak ada kesalahan dan ini tempat duduk Ibu Shine.""Hah?!" Shine ternganga. Apa mungkin Pak Williem yang menggantinya karena memang meskipun berada dalam satu pesawat yang sama tapi mereka berbeda kelas.Shine berdecak, dari pada pusing memikirkannya dan dia juga tidak dirugikan karena tidak harus mengeluarkan uang sepeserpun maka Shine pun mengiyakan dan duduk di sana."Mungkin