"Apa kamu menunggu tamu?" Tanya Putra dengan suara serak. "Seingatku tidak." Shine bangkit duduk, merapikan kaos dan rambutnya. "Aku lihat dulu siapa yang datang." "Aku ke toilet dulu," ucap Putra, Shine mengangguk dan tersenyum saat puncak kepalanya di kecup. Shine bergerak ke pintu sementara Putra ke kamar mandi dan saat membukanya, wajah Arsen dengan senyuman tipisnya yang terlihat. "Hai." "Hai," balas Shine. "Aku gak tahu kalau kamu mau datang." "Aku mengkhawatirkmu." Arsen memperhatikan penampilan Shine keseluruhan. "Kalian gak tidur bareng kan?" Shine tergelak, menggelengkan kepala dan meninju dada Arsen. "Itu bukan urusanmu!!" Lalu berbalik masuk diikuti Arsen. "Kami tadi sedang asyik menonton tv." "Itu akan menjadi urusanku kalau dia berani menyentuhmu!!" Shine memutar bola mata sementara Arsen duduk di sisi lain sofa, mengedarkan pandangan. "Mana dia?" "Kamar mandi." Arsen menyimpitkan mata. "Astaga, jangan berkelakuan seperti itu Arsen!" "Tapi tetap saja, kita haru
Napoli, Italia"Kita nampak seperti gay di sini," kekeh Zaf.Aldrick mendengus, mengedarkan pandangan ke area jalanan Naples yang ramai. "Menggelikan!"Di sekeliling mereka, banyak pasangan yang saling bergandengan tangan dan bercanda mesra seraya menunjuk lampu-lampu juga hiasan yang menggantung indah di sepanjang jalan.Zaf menyesap rokoknya, membiarkan asapnya menghilang terbawa angin malam, mengimbangi langkah kaki sahabatnya menuju pusat kota yang ramai dipadati pengunjung dan wisatawan karena saat ini tengah berlangsung Festival Maggio Dei Monumenti Napoli atau Festival kebudayaan yang memang diadakan satu tahun sekali. Belakang coat mahal mereka berkibar pelan seiring langkah kaki menuju kerumunan di depan akibat hembusan angin pantai menciptakan siluet mempesona di dinding bangunan tinggi di samping mereka.Mengabaikan cafe juga restoran yang menawarkan kenikmatan Pizza yang terkenal di Napoli, mereka membaur seakan kedatangan mereka semata untuk berjalan-jalan bukannya dua l
Mansion kediaman keluarga Alonzo "Apa yang membawa kalian sampai ke sini?" tanya Lucca dengan tatapan mengintimidasi, memandangi bergantian Aldrick dan Zafier namun manik matanya selalu lebih lama menatap Aldrick. "Ini sahabatku, Zafier Gaster. Aku menemaninya kemari untuk memastikan kalau di sini ada wanita bernama Abigail—" Aldrick terdiam sesaat mencoba menahan emosinya. "Sekaligus aku ingin berbicara denganmu masalah pribadi." Zafier masih merasakan nyeri di punggung akibat pukulan Lucca, berdiri di samping Aldrick dengan tatapan mengarah ke Abigail yang duduk di atas pangkuan Lucca di balik meja kayu panjang dengan ukiran rumit di sekitarnya di dalam salah satu ruangan luas yang ada di mansion. Saat terbangun, mereka berdua berada di dalam kamar yang pintunya tertutup dan dipaksa keluar berhadapan dengan Lucca keesokan siangnya. Sejak dia masuk, berdiri di depan mereka, Abigail memandanginya dalam diam dengan keryitan di dahi, mungkin mencoba mengingat, apa mereka pernah bert
Abigail menatapnya tidak percaya tapi dia jelas paham maksud Zaf. Dipandanginya pisau lipat itu dan dipeluknya dengan penuh perasaan. "Dia merindukanmu. Pulanglah," ucap Zaf tapi Abigail hanya diam. "Dia tidak akan kemana-mana!!" Desis Lucca, menarik lengan Abigail agar kembali ke sisinya. "Lucca biarkan mereka bicara sebentar dan kita bicara berdua," Aldrick nampak putus asa. Abigail tersentak dan menoleh ke Lucca. "Dia benar. Aku tidak akan ke mana-mana tapi biarkan aku bicara dengan Zafier. Ini tentang adikku, Shine Aurora." "Kembaranmu itu?" Tanya Lucca, Abigail mengangguk dan memeluk sebelah lengan Lucca. "Aku mohon." Zaf memperhatikan ekspresi Lucca yang berbeda saat berhadapan dengan Abigail. Seperti laki-laki petarung yang tidak bisa melawan matahari, kalah bertekuk lutut dan hanya bisa mengabdikan hidupnya. Entah apa yang dilakukan oleh Abigail sampai seseorang yang di luar sana memiliki julukan menakutkan, memiliki banyak musuh juga sekutu, memiliki Napoli dan daerah
Pasti sesuatu telah terjadi.Seharian ini Shine gelisah. Seharusnya hari ini berjalan sesuai dengan rencana mereka kemarin, Putra datang menjemput tapi ditunggu sampai malam pun laki-laki itu tidak muncul bahkan sama sekali tidak ada kabarnya. Shine sudah berkali-kali mencoba untuk menghubungi Putra tapi selalu terhubung dengan mailbox. Shine khawatir terjadi sesuatu sama kekasihnya."Arsen." Shine melintasi halaman rumahnya, menghampiri Arsen yang baru keluar dari mobilnya. "Aku sama sekali tidak bisa menghubunginya," ucapnya khawatir saat mereka berdiri berhadapan. "Aku takut terjadi sesuatu padanya.""Aku sudah mengutus seseorang untuk mencari alamatnya dan mendapatkannya. Lebih baik kita cek ke sana."Shine mengangguk, masuk ke dalam mobil yang pintunya dibuka Arsen dan segera melajukannya menuju ke alamat Putra. Untung saja traffic jalanan Jakarta saat malam tidak terlalu padat. Shine sudah berpikiran yang tidak-tidak. Duduk dengan tangan saling meremas dan menggigiti ujung kuku
"Kerja bagus." Putra tersenyum miring, menarik satu koper coklat yang disodorkan padanya. "Ini namanya keberuntungan karena wanita itu begitu mudah dibodohi. Awalnya aku pikir akan lama mendapatkan sesuatu yang berguna buat kalian tapi dia malah memberikannya dengan sangat mudah." "Kalau begitu kamu harus kembali ke tempat di mana kamu berasal untuk menghindari resiko apapun yang akan merugikan nantinya." Putra menyeringai, membuka kuncian kopernya dan tersenyum puas saat melihat uang dalam satuan dollar memenuhi koper itu dan menutupnya dengan bersemangat. "Tanpa anda beritahupun, aku akan melakukannya." Putra berdiri. "Kalau begitu aku pergi. Semoga anda bersenang-senang dengan apa yang aku berikan itu." Laki-laki yang duduk di sisi lain meja dengan gaya santai itu tersenyum sombong. "Itu urusanku. Anggap kita tidak pernah berurusan. Pergilah." Putra mengangguk, "Senang bekerja sama dengan anda." Lalu berbalik pergi keluar dari ruangan tertutup yang terjaga privasinya dengan
Shine berdiri diam menatap nanar pintu di depannya yang tidak juga terbuka meski dia sudah memencet belnya puluhan kali. Sudah satu jam dia berada di sana berharap bisa bertemu dengan Zaf untuk minta maaf atas ketololannya tapi tidak ada hasilnya. Shine berkali-kali mendatangi apartemen Zafier dan melakukan hal yang sama tapi pintu tetap tidak terbuka yang artinya Zafier belum pulang dari berliburnya. Rasa sesak mengganggunya sejak beberapa hari lalu. Dia patah hati, mengutuk Putra juga kebodohannya yang sangat fatal karena dibutakan oleh cinta dan mengacaukan semuanya hingga membuatnya perlahan-lahan merasakan penyesalan di dalam hatinya. "Zafier—" desah Shine, menyandarkan kepala di pintu dan menunduk ke bawah seraya bergumam, "Aku harap kau akan baik-baik saja." Ponsel di saku celananya berbunyi, Shine berdiri tegak. Saat dilihatnya siapa yang menelepon, Shine menghela napas dan mengangkatnya. "Aku akan segera menyusul." Setelah mendengar jawaban Arsen, Shine menutup ponselnya
"Aku agak lapar. Apa sebaiknya kita makan dulu?" Arsen menghempaskan tubuhnya di samping Shine yang termangu dengan kertasnya membuat Shine reflek berdiri dan berhadapan dengan Arsen yang nampak kaget melihat sikapnya. "Kenapa Shine?" Tanya Arsen. "Siapa yang membawaku ke rumah sakit saat pingsan tempo hari?" Arsen diam, tidak mengerti. "Aku—" "Katakan sejujurnya!! Bukan kamu kan yang pertama kali membawaku ke sana?" Sela Shine dengan emosi tinggi seraya mencengkram kertasnya. Arsen berdiri. "Memangnya kenapa Shine? Apa itu penting? Aku yang ada di sana menungguimu." "Ini penting Arsen." Shine menatap penuh arti. "Apa Zafier yang menolongku?" Arsen diam, tidak menjawab tapi Shine tahu kalau dia benar. Kertas di tangannya memperlihatkan dengan jelas tanda tangan Zafier. Shine terduduk di kursinya, menopang kepalanya dengan tangan yang sikunya dia sandarkan di paha. "Shine—" Shine menepis tangan Arsen yang tadi mau menyentuhnya dan menoleh dengan mata berkaca-kaca. "Sudah pulu