"Memangnya kau pikir aku suka?" Aku menantang ucapannya."Lalu kenapa kau kembalikan uang itu padaku?""Dia menolaknya. Dia pikir aku meminjam pada rentenir lain.""Itu sama sekali bukan urusannya.""Entahlah. Mungkin semacam persaingan bisnis," jawabku seadanya."Jangan bodoh. Pria itu menyukaimu. Kau tidak sadar?" Daryan memandangku kesal.Aku menarik sudut bibir sembari mengusap sisa air mata."Memangnya kenapa kalau dia menyukaiku? Kau keberatan?" Aku berusaha memancing pengakuannya."Tentu saja aku keberatan.""Kenapa?"Dia terdiam. Tak langsung menjawab.Katakan Daryan. Katakan kalau kau cemburu dan tidak rela aku dekat dengan pria mana pun. "Kau masih bertanya? Pakai otakmu sedikit saja." Giginya merapat menahan geram. Aku kembali tersenyum. "Carilah pria baik-baik. Jangan hanya memikirkan materi. Tak selamanya uang membawa kebahagiaan," imbuhnya lagi, menasihati.Apa maksudnya ini? Kenapa dia malah menyuruhku mencari pria lain. Pria baik-baik seperti apa yang dia maksud? Ak
"Dia ke rumah?" tanyaku cemas. Merasa kalau Ren mulai ingin meneror anggota keluargaku yang lain."Iya, kak. Dia sendiri yang mengantar.""Kenapa kau terima? Aku bahkan belum membayar sepeser pun.""Kakak tenang saja. Aku yang akan membayarnya." Suara Adit terdengar bersemangat."Kau dapat uang dari mana? Jangan macam-macam, Dit. Atau kupukul kepalamu itu. Sekolah yang benar!" tegasku. Dia tertawa."Aku dapat pekerjaan, kak.""Pekerjaan?"*Lagi-lagi aku terpaksa menutup lapak dengan cepat. Singgah ke kamar kos sebentar, lalu keluar setelah pesanan ojek onlineku datang.Tas slingbagku terasa bergetar diiringi suara nada dering tanpa vokal. Aku yang berada di boncengan, meraih benda pipih itu dari dalam sana. Layar menyala dengan nama Daryan sedang memanggil.Aku tersenyum. Namun saat itu juga aku kembali memasukkan ponsel ke dalam tas. Aku lebih memilih mengabaikan. Tak ingin merasa kalau dia sedang rindu, lalu ingin mendengar suaraku.Motor jenis matic ini berhenti tepat di depan ruk
Aku menatap wajah Ren lamat-lamat. Mencoba mencerna kata demi kata yang baru saja dia ucapkan. Tak ingin lagi salah paham dengan bentuk perhatian yang ambigu ini. Baik Daryan ataupun Ren, sama-sama membuatku frustasi. Mengajakku terbang tinggi, namun seketika menghempasku lagi.Sialan betul mereka ini."Lepas!" Gigiku merapat memberi perintah."Pikirkan lagi. Aku mengenalmu lebih dulu. Jauh sebelum kau bertemu dengannya." Ren masih bersikeras, tak mau melepas."Bukan berarti kau berhak atas hidupku.""Kalau begitu beri aku hak itu.""Kau ikut-ikutan tidak waras, Ren." Aku merengek sembari menarik-narik lenganku.Ada apa dengannya? Apa barusan itu adalah sebuah pengakuan soal perasaannya? Tidak, tidak. Aku tak ingin mendengarnya. Pria ini tak bisa mempermainkan perasaanku begitu saja. Dia hanya ingin membeli dan memanfaatkanku dengan uangnya seperti malam itu.Dasar mata keranjang."Apa kau tidak tahu, aku meny....""Tidak!" Aku menyela sebelum Ren menyelesaikan ucapannya. Dia tertegun
Pagi-pagi sekali aku telah sampai di rumah. Ayah belum juga kembali. Adit menikmati sarapan bubur sum-sum dicampur candil yang aku beli di jalan tadi."Awas saja kalau kau berurusan dengan rentenir itu lagi!" perintahku."Tapi, Kak....""Tidak ada tapi-tapian. Kau tidak tahu bagaimana dia.""Tapi dia terlihat baik.""Adit!"Remaja dengan seragam putih abu-abu itu tertunduk diam sambil menghabiskan sarapannya. Lalu berangkat ke sekolah dengan motor kesayangannya.Sejak memutuskan untuk tinggal sendiri, aku tak pernah lagi berlama-lama di rumah ini. Ayah yang sejak diPHK dari pekerjaannya sebagai sekuriti pabrik, jadi sering menghabiskan waktu di rumah. Tak mau lagi keluar, atau mencari pekerjaan.Membuatku muak karena kerjanya hanya makan tidur saja. Mengutak-atik ponsel seolah benda itulah yang menghasilkan uang untuknya.Barulah setelah satu persatu para lintah darat datang, kami baru menyadari, bahwa memang dengan ponsel itulah ayah menghabiskan semua uangnya.Kini ayah sedang tak a
Aku memberanikan diri membuka mata. Perlahan, setelah merasakan dia menarik diri dari pagutannya. Mataku kembali mengerjab, menyaksikan dia yang kini masih mematung setelah melepaskanku.Aku tersenyum tipis, dengan kedua tangan masih melingkari pinggangnya. Menggigit bibir bawahku, merasa malu dengan apa yang baru saja kami lakukan."Ma_maaf," ucapnya melepaskan tangannya dari rambutku."Kenapa kau meminta maaf?" Aku masih menahan posisi tanganku agar dia tak menjauh.Dia mengusap wajahnya, melepaskan tanganku dan berbalik menjauh memunggungiku."Apa yang terjadi padamu, Yan?" Aku berjalan mendekati. Mencoba menyentuh pundaknya.Dia kembali berbalik, dengan gurat penyesalan di wajahnya. Benarkah apa yang barusan dia lakukan hanya karena khilaf seperti yang dia peringatkan tadi?"Aku minta maaf. Aku harus pulang." Dia bergegas menuju pintu. Duduk di lantai agar bisa memasang kaos kaki dan juga sepatu. Aku hanya berdiri mematung, menyaksikan sikap anehnya dengan mata yang mulai menghang
Sudah lebih dari seminggu sejak kejadian di ruko. Sampai hari ini Ren belum juga muncul untuk menagih seperti biasa. Segepok uang sudah diberikan kekasihku untuk melunasi semuanya. Hanya tinggal memberikannya saja.Daryan mengaku, malam itu dia memutuskan menginap karena hanya ingin mengahabiskan waku bersamaku. Sama sekali tak ada pertengkaran dengan ibunya seperti waktu itu. Hanya saja dia ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Bahwa dia takut hatiku berubah, mengingat Ren terus-terusan mencoba memasuki kehidupan seluruh keluargaku.Menghubungi rentenir itu jelas tak bisa. Hingga satu-satunya cara adalah kembali ke ruko agar bisa bertemu dengannya. Aku tak tahu apa ini ada hubungannya dengan penolakanku waktu itu. Dia jadi enggan tuk bertemu.Harusnya dia mengirim orang suruhannya saja. Dengan begitu aku tak perlu repot-repot seperti ini.*Usai menutup lapak, aku langsung menuju ruko. Hari sudah malam, kedai kopinya terlihat jauh lebih ramai dibanding siang. Aku melenggang masuk se
"Jangan macam-macam. Aku tidak takut padamu!" Aku menantang."Kalau tidak takut kenapa buru-buru?" Dia maju selangkah mendekatiku. Mataku membesar melihat tingkahnya."Berikan kuncinya!" Aku menjulurkan telapak tangan. Bersikap wajar agar dia tahu aku masih bisa melawan saat dia ingin berbuat yang aneh-aneh.Dia tersenyum tipis memandangi tanganku. Lalu tanpa aba-aba langsung menenggelamkannya dalam genggaman."Apa yang kau lakukan? Jangan kurang ajar!" Aku menarik paksa tanganku. Namun kejadian yang sama selalu terjadi.Ren tak membiarkanku begitu saja. Aku merasa seperti tikus yang terjebak, dan masuk dalam perangkapnya. Dia meremas kuat tanganku, lalu mengangkat tinggi hingga menyentuh wajahnya. Mataku langsung mendelik dengan sikap lancangnya."Aku sedang demam. Tak bisakah kau bersikap lembut sebentar saja?" Mataku berkedip-kedip mendengar rengekannya. Seperti anak kecil yang sedang mengadu pada ibunya.Entah kenapa aku membiarkan tanganku berada di pipi itu, lalu kugerakkan send
Dari kejauhan Daryan tersenyum ke arahku. Membawakan sekotak donat untuk kami nikmati bersama. Langit sedari tadi tampak mendung. Untungnya tak sampai berimbas pada penjulalan bubble drink-ku siang ini.Aku membuatkan 'strawberry boba' untuk Daryan, lalu duduk kembali menemaninya. Aneh saja melihat sikap anak orang kaya satu ini. Hidupnya terlalu datar. Di saat semua orang sibuk bekerja dan berpacu dengan waktu, dia hanya melenggang santai menemui siapa pun yang dia mau. Termasuk aku.Mulutku terasa gatal ingin menasihatinya. Namun mengingat sifat sensitifnya waktu itu, aku kembali mengurungkan niat. Kelak jika sudah berumah tangga, dia akan sadar. Bahwa pengangguran sepertinya hanya akan menjadi cemoohan semua orang. Pria yang tahunya hanya menghabiskan harta orang tua saja."Belum ada kabar dari ayahmu?" Pria dengan kaos lengan pendek dan celana jeans itu bertanya. Aku menggeleng."Tidak lapor polisi?""Buat apa? Untuk menangkapnya?" Aku berdecih. "Tidak menutup kemungkinan ayah jug