Zahra masih terdiam memandang sang suami dengan aneh. Menyadari dengan apa yang sudah dia ucapkan dan dia lakukan, Tama pun seketika menurunkan emosinya. "Ma… maksudku… maksudku kamu itu adalah menantu dari keluarga Kalingga. Keluarga ternama dan juga pengusaha sukses. Jadi tidak boleh ada seorangpun yang menjelekkanmu. Apa kamu paham?" ucap Tama masih dengan nada tinggi. Zahra mengangguk tapi sambil tersenyum. Dia menatap wajah Tama dengan tatapan yang menggoda. Dan hal itu berhasil membuat Tama menjadi salah tingkah."Kenapa melihatku seperti itu?" tanya laki-laki itu lagi."Tidak," jawab Zahra singkat, masih dengan bibir yang tersenyum."Kamu sudah gila!" umpat Tama. Laki-laki itu pun akhirnya melangkah pergi meninggalkan Zahra. Dia berjalan keluar menuju ke arah mobil."Hey Tuan, kenapa pergi? Kita belum melihat matahari terbenam," teriak Zahra."Aaaahhh," kesal gadis itu. Dia menghentak-hentakan kakinya lalu pergi mengikuti kemana sang suami pergi.*** Malam hari yang begitu t
Tama dan juga Zahra sedang duduk di dua kursi yang berhadapan. Posisi mereka hanya terhalang sebuah meja yang berisi dua buah makanan dan dua buah minuman. Pagi ini pasangan suami istri itu lebih memilih untuk melaksanakan sarapan di restoran hotel saja. Hari ini entah mengapa tapi Zahra merasa tidak bersemangat sekali. Tama tidak mempermasalahkan hal itu. Belakangan ini dia memang sedikit acuh pada Zahra. Dia sedang tidak ingin berdebat ataupun berkelahi dengan gadis itu. "Kamu kembalilah ke kamar. Aku harus pergi ke suatu tempat," ucap Tama setelah mereka selesai sarapan. Zahra menatap sang suami."Tuan mau kemana?" tanya gadis itu."Bukan urusanmu!" jawab Tama tegas seperti biasa.Awalnya Zahra merasa senang karena jika Tama pergi maka dirinya memiliki kesempatan untuk kembali bersantai dan tidur-tiduran di kamar. Akan tetapi dia ingat dengan pesan sang Ibu mertua yang mengatakan kepadanya untuk terus bersama dengan Tama. Dia harus menempel pada laki-laki itu kemanapun Tama akan
"Tama, aku sangat merindukanmu."Sebuah ucapan yang sungguh sangat mengejutkan baik bagi Tama maupun Zahra. Apalagi laki-laki itu juga merasakan kehangatan yang sejak dulu dia sangat rindukan dari dekapan Sonia. Zahra menoleh ke arah samping. Kedua matanya membulat sempurna saat dia melihat ada wanita lain yang sedang memeluk suaminya dari belakang. Gadis itu beralih menatap Tama yang hanya berdiri diam mematung. Banyak pertanyaan yang muncul di dalam pikiran Zahra, Kenapa Tama hanya diam saja? Apakah laki-laki itu menyukainya? Apakah suaminya itu memang masih memiliki rasa cinta untuk mantan kekasihnya itu?Tama menutup matanya sejenak. Membuang nafas berat seolah mengumpulkan semua tenaganya. Baru kali ini Zahra melihat laki-laki itu tak tegas akan suatu hal. Dan sejujurnya ada sedikit rasa kecewa di hati Zahra melihat sang suami bersikap seperti itu. Setelah kedua matanya kembali terbuka, Tama menggerakkan tangannya lalu memegang kedua tangan lembut Sonia yang saat itu melingkar
Beberapa tahun yang lalu."Wah, ini indah banget, Tama," ucap Sonia. Mata gadis itu berbinar dengan bibir yang tersenyum sangat lebar. Bagaimana tidak, sebuah cincin berkilauan permata dengan harga yang fantastis ada di depannya dan sebentar lagi akan menjadi miliknya. Sore itu Tama sengaja mengajak Sonia berjalan-jalan. Mereka berkeliling kota hanya untuk menikmati kebersamaan keduanya. Setelah lelah berkeliling, Tama pun mengajak sang kekasih pergi ke sebuah restoran outdoor dengan pemandangan puncak gunung yang sangat indah. Tempat itu sudah disewa oleh sang CEO dan sudah dihias sedemikian rupa agar menjadi tampak sangat romantis. Tama memang sudah merencanakan semua ini jauh-jauh hari. Hubungannya dengan Sonia yang baru menginjak tiga bulan lamanya nyatanya tidak menyurutkan semangat Tama untuk melamar gadis itu. Apalagi hubungannya dengan Sonia sudah mendapat restu dari sang Ibu. Memang tidak secara langsung juga. Saat Tama membawa Sonia ke rumahnya dan memperkenalkannya pada
Rumah sederhana yang berada di sebuah jalan kecil tampak sangat tenang. Semua lampu di dalam rumah sudah mati dan hanya satu ruangan kamar tidur saja yang masih terlihat menyala. Seorang gadis sedang berdiri di sisi jendela menatap ke arah luar memandang sepinya malam itu.Sebuah piyama berwarna hitam membalut tubuhnya yang langsing. Sedangkan rambut hitam panjangnya terikat menjadi satu di belakang, membuat leher jenjangnya tampak terekspos."Aku tidak percaya jika Tama sudah menikah," gumam gadis itu yang tidak lain adalah Sonia. Sonia Atmajaya, seorang gadis yang sangat cantik. Berusia 29 tahun, terpaut satu tahun lebih muda jika dibandingkan dengan Tama. Memiliki sifat yang sombong dan juga serakah. Sonia pertama kali bertemu dengan Tama di negara ini. Waktu itu, Sonia sedang asyik minum kopi di sebuah kafe dan dia melihat Tama yang baru saja selesai meeting dengan kliennya. Sosok Tama yang masih muda, tampan dan juga mapan, berhasil menarik perhatian gadis itu. Berbagai cara d
"Berani sekali wanita itu memeluk suamiku?" gerutu Zahra dalam hati."Tuan Tama juga, kenapa malah diam saja. Apa dia keenakan dipeluk mantan pacar?" lanjutnya. Wajah Zahra berubah menjadi kecut saat melihat adegan yang menjijikan itu. Seorang wanita tidak tahu malu, dengan beraninya memeluk seorang laki-laki yang memiliki status sebagai suami orang lain. Kedua tangan gadis itu mengepal. Untuk pertama kalinya setelah menikah, dirinya merasakan emosi kepada orang lain. Rasanya Zahra ingin sekali menjambak rambut wanita itu dan mendorongnya dari lantai 15."Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Tama. Laki-laki itu memang tidak membalas pelukan Sonia akan tetapi dia juga tidak menepisnya. Gadis itu mendongak dengan tangan yang masih melingkar di tubuh Tama."Tentu saja untuk menemuimu sayang. Apa lagi? Sudah aku katakan bukan kalau aku sangat merindukanmu," ucap Sonia tidak tahu malu. "Dan sudah aku katakan juga bukan, kalau aku sekarang sudah menikah," jawab Tama. Kali ini dia menggera
Tama dan juga Zahra sedang melakukan sarapan pagi bersama di restoran hotel. Seperti biasa mereka makan dalam diam. Tetapi kali ini ada yang lain dari Zahra. Tangannya memang bergerak menyendok makanan akan tetapi tatapan matanya seolah kosong. Dan hal itu tak luput dari pandangan Tama."Ada apa?" tanya laki-laki itu pada akhirnya. Zahra mengedip lalu menoleh ke arah sang suami.Dia masih tetap diam menatap Tama. "Apa aku harus katakan semuanya pada Tuan?" pikir Zahra."Tapi bagaimana jika dia tidak percaya dan malah menyalahkanku?" pikirnya lagi.Tama masih memandang sang istri. Dia menunggu jawaban dari gadis itu. Bukannya menjawab, Zahra malah menggelengkan kepalanya pelan lalu menunduk dan melanjutkan sarapannya.“Tidak ingin berbicara?” tanya Tama dingin. Pandangannya kembali beralih pada sarapan miliknya.“Tidak, bukan begitu,” jawab Zahra ragu.“Lalu?”“Itu… itu… saya hanya takut kalau saya bicara, Tuan tidak akan percaya. Dan malah akan berbalik marah lalu menghukum saya sepe
“Tama, apa kabar?” Seorang laki-laki dengan menggunakan jas lengkap berdiri lalu mengulurkan tangannya kepada CEO Kalingga tersebut. “Baik. Maaf aku datang terlambat,” jawab Tama. Setelah membalas uluran tangan laki-laki itu, dia pun duduk.Pagi itu Tama menghubungi salah satu temannya yang tinggal di negara tersebut. Namanya Doni. Sama hal nya dengan Tama, Doni juga menjalankan bisnis keluarga di sana. Hanya saja perusahaan milik keluarga Doni tidak sebesar Kalingga.“Sorry, aku mendadak menghubungi dan memintamu untuk bertemu,” ucap Tama.“It’s ok kawan. Santai. Lagipula aku memang tidak sibuk hari ini,” jawab Doni.Seorang pelayan pun mendekat untuk mencatat pesanan mereka. Setelah dirasa cukup, pelayan itu pun pamit untuk menyiapkan pesanan mereka.“Jadi, bagaimana pernikahanmu? Sorry, kemarin aku tidak sempat datang langsung. Perusahaanku ada sedikit masalah kemarin jadi aku tidak bisa meninggalkannya,” jelas sang teman. Dia merasa menyesal karena tidak bisa terbang ke negara s