"Tuan, laki-laki itu tewas," ucap Rey."APA? Bagaimana bisa?" Tama berdiri dari duduknya. Tampak jelas raut marah di wajah laki-laki itu. Dan itu sungguh membuat Zahra bergidik ngeri karena takut. Dia bahkan tidak berani berdiri dan terus berjongkok di samping kursi roda ibu dari Tama itu. Berbeda dengan Zahra, Ibu Naya sudah biasa melihat sang anak seperti itu. Dia hanya melirik sekilas melihat wajah Tama dan juga Rey secara bergantian."Ehm, Tuan…" Rey ragu untuk menjelaskan semuanya karena dia sadar di sana mereka tidak hanya sedang berdua saja. Ada dua wanita memperhatikan apa yang sedang mereka bicarakan.Mengerti dengan apa yang menjadi pikiran sang asisten, Tama pun langsung melangkah pergi diikuti oleh Rey menuju ke ruang kerjanya."Ada apa, Bu?" tanya Zahra dengan nada yang sedikit bergetar dan tubuh yang gemetar."Tidak ada apa-apa. Kamu tenang saja. Semuanya ada di dalam kendali Tama. Jadi kamu tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa," jawab Ibu Naya dengan tenang."Maksud Ibu
Tiga tahun yang lalu.Sebuah pagi yang sangat cerah dengan udara yang begitu sejuk. Hembusan angin sepoy-sepoy masuk menerobos sebuah jendela kamar yang sudah terbuka dari subuh hari. Seorang laki-laki dengan pakaian santainya duduk di sebuah sofa yang ada di ruangan tersebut. Matanya terus fokus menatap layar laptop yang terbuka di atas meja. Beberapa kali keningnya mengernyit menandakan jika dirinya menemukan sebuah kejanggalan disana. Lalu tangan kanannya menggerakan mouse dan terdengar bunyi klik beberapa kali. Sesekali laki-laki itu juga melihat ke arah ponselnya yang tergeletak di samping laptop tersebut. Pandangannya terus bolak-balik seolah dirinya sedang memeriksa kedua data dari kedua alat yang berbeda itu.“Banyak sekali masalah yang harus diselesaikan disini. Kenapa semua ini bisa lepas dari pandangan Rey?” gumam Tama. Laki-laki itu terus menatap kedua layar berbeda ukuran tersebut dengan teliti. Saat dirinya sedang mengetik sesuatu, sebuah panggilan di ponselnya terdeng
Suara ketukan di pintu kamar, menyadarkan Tama dari lamunan masa lalunya. Laki-laki itu melirik ke arah jam di dinding dan dia tahu siapa yang sudah berdiri di luar kamarnya. Dengan segera Tama mengambil tas berisi laptop dan semua peralatan kerja lainnya yang sudah disatukan di dalam sana."Maaf Tuan, sudah waktunya kita berangkat bekerja," ucap Rey sesaat setelah Tama membuka pintu kamarnya. Laki-laki itu mengangguk lalu berjalan mendahului sang asisten.Mereka berdua pun mulai berjalan menuruni anak tangga. Keduanya masih sama-sama diam. Tama sepertinya tidak begitu bersemangat untuk membahas kembali tentang penghianat itu. Saat mereka baru saja menginjakkan kaki di lantai utama, bertepatan dengan sang ibu yang masuk ke dalam rumah didorong oleh Zahra."Nak!" panggil Ibu Naya. Tama menoleh. Dia tersenyum lalu berjalan mendekati sang ibu. "Iya Bu," jawab Tama. Dia berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan sang ibu.Ibu Naya mengusap rambut sang anak dengan lembut. Dia memang
Setelah lelah berkeliling mall dan berbelanja beberapa jenis barang, Zahra pun akhirnya mendorong kursi roda Ibu Naya hendak menuju ke arah parkiran dimana mobil mereka berada. Kedua wanita itu tampak sangat bahagia sekali. Apalagi Zahra, setelah berhari-hari hidupnya terasa gelap karena ulah Tama kepadanya akan tetapi hari ini awan hitam itu seolah musnah. Kasih sayang Ibu Naya bak mentari yang memberikan banyak kehangatan ke dalam kehidupan gadis itu.Ibu Naya dan juga Zahra menunggu di lobi sementara sang sopir pergi ke arah parkiran untuk mengambil mobilnya. Cuaca yang saat itu cukup terik, membuat Ibu Naya lebih memilih untuk menunggu di sana. Tentu saja Zahra akan dengan setia selalu menemaninya. Dia sangat bersyukur karena jalan-jalan kali ini tidak menimbulkan insiden apapun.Sayangnya pemikiran Zahra tersebut salah. Setelah beberapa saat menunggu sang sopir mengambil mobil, suara teriakan seorang wanita membuyarkan Zahra dan juga Ibu Naya dari canda tawanya."Pantas saja sela
"Dia adalah anakku. Walaupun Zahra bekerja di mansionmu tapi dia adalah anakku. Aku masih memiliki hak penuh atas anakku. Dan kamu, tidak usah ikut campur.""Kami hanya menyuruh Zahra bekerja di mansion Tuan Tama untuk melunasi hutang kami. Ingat Nyonya! Hanya bekerja! Selebihnya Zahra masih menjadi milik orang tuanya. Dan sebagai orang tua sah nya, aku ingin Zahra terus mengirim kami uang setiap minggunya."Ucapan yang dilontarkan oleh Ibu Lita tadi siang nyatanya terus berputar di pikiran Ibu Naya. Hari sudah semakin larut akan tetapi dia masih terus saja memikirkan hal itu. Ibu Naya berpikir jika apa yang dikatakan oleh wanita kecut itu ada benarnya juga. Sebesar apapun dia menyayangi Zahra, gadis itu tetap saja bukan miliknya. Zahra masih milik kedua orang tuanya. Dan dirinya tidak memiliki hak apapun atas diri Zahra.Menyadari akan satu kenyataan tersebut membuat hati Ibu Naya sangat sakit. Selama ini dia selalu merasa nyaman jika sedang bersama dengan Zahra. Bersama gadis itu me
Pagi itu, Tama sudah bersiap duduk di kursi makannya. Menu sarapan sudah tersaji di piringnya dan Zahra tentu saja sudah berdiri tegak di sampingnya. Sudah lima menit berlalu akan tetapi laki-laki itu belum juga menyentuh makanannya sama sekali."Kenapa dia?" batin Zahra berbicara.Pandangan Tama terus tertuju pada layar ponsel di tangannya dan sesekali melihat ke arah kamar sang Ibu yang masih saja belum terbuka. Selang beberapa saat kemudian, Nufa keluar dari kamar Ibu Naya tapi hanya seorang diri. Wanita paruh baya itu berjalan mendekati sang atasan dengan pandangan yang menunduk."Ada apa? Dimana Ibu?" tanya Tama. "Maaf Tuan. Nyonya bilang kalau beliau tidak mau sarapan. Saya sudah membujuknya tapi beliau bilang katanya Tuan sudah tahu," jelas Nufa masih menunduk. Dia tidak berani menatap wajah Tama yang sudah dipastikan akan sangat marah setelah membawa kabar yang dia bawa ini. Tama mengernyit. Dia sempat berpikir sejenak, apa maksud kalimat terakhir dari sang Ibu? Dengan cepat
Sepanjang hari dari sejak pagi, Tama terus saja marah-marah. Semua pegawai terkena bentak sekecil apapun kesalahan yang mereka buat. Bahkan mereka yang tidak melakukan kesalahan pun, tetap ada saja yang membuatnya terkena omelan sang CEO.Rey yang setiap saat selalu ada di samping Tama adalah orang yang paling banyak terkena semprotan emosi laki-laki itu. Semua karyawan saling bertanya apa yang sedang terjadi pada orang nomor satu di perusahaan Kalingga tersebut. Karena tidak biasanya Tama bersikap seperti itu. Selalu saja ada masalah yang datang akan tetapi tak ada satupun yang bisa membuat sang CEO menjadi tak bisa mengontrol emosi seperti ini."Ada apa Tuan," tanya Rey saat mereka sudah masuk jam istirahat makan siang akan tetapi Tama masih terus fokus pada layar laptopnya."Kenapa?" tanya Tama tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun."Maaf jika saya terlalu ikut campur tapi hari ini anda terlihat sangat berbeda. Apa ada sesuatu yang sedang anda pikirkan?" tanya Rey lagi."Tidak
Suasana yang sebelumnya tenang dan membosankan tiba-tiba saja berubah menjadi panik. Rey yang seketika diminta untuk menjalankan mobilnya secepat yang dia bisa oleh Tama, langsung menginjak pedal gas mobil tersebut dengan dalam. Untungnya kondisi jalanan saat itu cukup lenggang dan tidak sampai membuat mereka kecelakaan.Rey masih belum tahu apa yang terjadi. Selepas Tama menerima panggilan telepon tadi, laki-laki itu langsung saja panik. Dia tidak bisa mendengar pembicaraan orang dari balik telepon itu karena volume ponsel Tama kecil. Sehingga apapun obrolan yang terjadi via ponsel tersebut, tidak akan terdengar oleh orang lain. Dan Rey juga tidak sempat bertanya ada apa karena Tama yang tanpa basa-basi langsung memerintah dengan cepat.Setelah melewati beberapa menit perjalanan akhirnya mobil mereka pun telah sampai di mansion. Tama langsung keluar dari dalam mobil bahkan sebelum kendaraan itu berhenti dengan sempurna. Rey yang melihat hal itu hanya bisa mengernyit bingung."Ada apa