Kresek yang sudah terkoyak karena desakan dari dalam dan juga efek terbakar semakin memperjelas perwujudan ular besar yang ada di dalamnya. Ekor hewan tersebut menyembul mencari tempat untuk menjalar.Namun kalah cepat dengan gerakan Pak Kiai yang mengambil galah dan memukulkannya ke ekor tersebut. Tentu saja dengan bantuan lafaz doa. Terbukti ekor tersebut gosong dan terpotong.“Qul a’uuzu birabbil-falaq. Min syarri maa khalaq. Wa min syarri gsiqin izaa waqab ....”“Pak Kiai, saya masuk melihat istri dulu.”“Silakan, Mas! Ini juga sudah hancur,” balas pria bersorban putih ini sambil merapikan sisa yang belum belum terbakar dengan galah.Gito lekas melangkah masuk menuju musala. Sementara di dalam, Dinda yang masih sedikit menahan nyeri berusaha meremas perut dengan melafalkan doa dibantu Bu Teti.Saat Gito masuk, bersamaan dengan sobeknya baju bagian perut Dinda. Secara mengejutkan, robekan itu menguak kulit di bawahnya. Dari dalam menyembul sebuah bulatan berbulu kasar hitam legam b
“Assalammu'alaikum, Bu. Tolong bukain pintu. Kuncinya tertinggal.”Dari teras terdengar suara Gito sambil mengetuk pintu. Dinda yang merasa itu bukan suara sang suami, spontan menggeleng untuk mencegah sang mertua membuka pintu.“Ibu tau, Nduk. Itu pasti jin itu. Kita baca doa agar Allah lindungi kita.”“Bu, bukain pintunya. Buru-buru ini, disuruh Pak Kiai.”Bu Teti tetap bergeming dengan mulut sibuk melafazkan doa. Dinda memandang ibu mertuanya dengan hati remuk redam. Kenikmatan sesat yang didapat telah menjerumuskan ia dan keluarganya dalam situasi pelik ini. Air mata kembali mengalir dari kedua sudut mata wanita muda yang terbaring kaku ini.“Sayang, tolong kasih tau ibu. Mas disuruh Pak Kiai untuk temuin kamu. Penting!”Dinda tersenyum tipis, ia bisa membedakan intonasi nada bicara Gito dengan Mustafa. Situasi dengan tubuh layaknya terpasung seperti ini membuat jengkel hatinya. Mau berkomunikasi pun tak bisa.Mustafa, aku tau ini kamu. Pergilah! Jangan ganggu aku lagi, ucap Dinda
“Penting mana, Bu RT yang nyata-nyata sehat dengan keselamatan menantu Ibu?”Gito bertanya tanpa memalingkan wajah, terdengar dari intonasinya, ia sangat kecewa dengan tindakan sang ibu yang gegabah.“Sia-sia aku dengan Kiai ke rumah memusnahkan semua barang pemberian jin. Justru Dinda yang akan disembuhkan telah ilang dibawa jin. Ya Allah! Harus gimana lagi?”tanya pria berambut cepat ini ke arah penyesalan diri.“Mas Gito, Bu Teti, ambil wudu lagi, yuk. Biar pikiran lebih jernih lalu kita kumpul berdoa lagi di musala,” ucap Pak Kiai yang menghampiri keduanya.Akhirnya, Gito mengajak ibunya mengambil wudu lalu menuju musala. Pak Kiai telah menunggu mereka dengan berzikir. Saat keduanya telah siap, Pak Kiai segera meminta Gito untuk mengumandangkan azan untuk pelaksanaan salat Asar.•••¤•°•¤•••Sementara itu di dunia lainSaat Dinda memasuki dunia ini seketika musnah pakaian yang dikenakan. Mustafa yang menyadari hal tersebut segera menyelimuti tubuh wanita tercintanya. Kemudian sosok
TEKA-TEKI MULAI TERJAWAB“Memang berat di hati dan pikiran. Jangankan Ibu, aku pun jauh lebih terpuruk lagi. Percayalah, Bu! Pertolongan Allah akan segera datang jika kita bersabar, yakin dan percaya hanya pada-Nya.”Bu Teti menunduk lalu mulai beristighfar. Ia tak ingin terburu nafsu lagi. Rasa sedih dan galau karena harus terpisah lagi dengan Dinda membuatnya mata gelap. Ia tak ingin mengacaukan usaha mereka lagi.“Mas, Ibu ... panaas! Kepalaku pusiiing!”Suara Dinda terdengar seperti orang kehabisan napas.“Sayang, baca istighfar dan Surat An-Nas,” sahut Gito mencoba menenangkan istrinya sambil mengetuk dan mengelus dinding. Pria ini merasa terenyuh dengan nasib yang harus dialami sang istri. Hatinya hanya tertuju pada kekuatan Sang Pencipta saja dan tak ingin tergoyahkan oleh apa pun. Justru ibunya saja yang sering terbawa emosi dan tak berpikir panjang. “Mari Bu Teti dan Mas Gito, kita baca Yasin sebanyak tiga kali lanjut selawat Nabi,” ucap Pak Kiai sambil menggeser letak duduk
“Sayang, masih di sini?” tanya Gito sembari menempelkan salah satu telinganya ke dinding.Bu Teti meraba dinding dari atas ke bawah, tapi tak didapati apa pun selain permukaannya yang rata.“Nduk, kamu di mana?”Baik Bu Teti maupun Gito kebingungan di bawah pengawasan Pak Kiai yang tersenyum penuh arti.“Tua bangka! Keluarin aku dari sini!”Tiba-tiba terdengar suara dari arah toples.Benda tersebut tampak bergeser hampir menyentuh bibir bufet. Gito segera berlari menyelematkan benda tersebut sebelum jatuh.“Alhamdulillah!”Gito berseru sembari mengusap tetesan keringat yang menetes di dahi.Pria ini sempat panik saat mengetahui toples sudah bergeser akan jatuh. Kedua tangan kekarnya mencengkeram benda bening berbahan dasar kaca tersebut lalu mengangkat sejajar dengan kepala.“Hai, Jin! Meski aku tak bisa liat wujudnya, tapi bau kasturi telah mewakili keberadaanmu. Jangan lagi ganggu istriku! Cari dari bangsamu.”“Hahaha ... Dinda lebih mencintaiku. Dia akan tetap jadi permasuriku.”Gito
“Hei, Pak Tua! Dan bisa kupastikan, bacaan ngajiku lebih merdu dari Gito.”“Insyaallah lebih bagus tapi belum tentu lebih salih,” jawab Pak Kiai yang membuat Mustafa bertambah gusar karena merasa diremehkan.Ia yang ingin selalu terlihat sempurna di mata sang pujaan hati merasa kalah mental lewat kata-kata pria bersorban putih tersebut.“Tahu dari mana bacaan ngajiku?” tanya Gito lirih kepada sang istri dan Dinda pun hanya bisa menggeleng.“Ia tinggal di dekat rumah Mas dan selalu masuk rumah mengawasi gerak-gerik kalian berdua. Tentu saja akan melihat dan mendengar sendiri saat kalian salat atau mengaji,” sahut Pak Kiai seketika.“Kamu takut bersaing, Gito?”Tawa mengejek Mustafa bergema seantero ruangan membuat sakit telinga.Gito hanya tersenyum simpul menanggapi pertanyaan konyol dari jin Timur Tengah ini. Pria berambut cepak ini segera mendekat ke etalase dan tepat di hadapan toples—tempat Mustafa terkurung—ia menempelkan mulut.“Allohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyum, laa t
“Bu, kardus di atas etalase aku pake wadah, ya?”“Pakai aja, Le! Nduk, tolong kamu ambilkan tali rafia di laci bufet ruang tengah.”“Ya, Bu,” balas Dinda yang kemudian bergegas melangkah ke bufet mengambil kedua benda tersebut.Gito mengangkat kardus berisi dua toples lalu melangkah ke arah meja makan. Kedua sisi tutup kardus dirapatkan. Dinda segera menghampiri sang suami dan membantu menggunting tali rafia yang diperlukan. Akhirnya kardus sudah rapi, meskipun sempat ada insiden pemberontakan kecil dari toples berisi Mustafa. Namun, dapat diatasi segera oleh Pak Kiai dengan tersenyum. Pria tua berjenggot putih ini mengetok toples dengan membaca doa, Mustafa langsung minta ampun.“Masyaallah rapi banget. Mas Gito dan Mbak Dinda membungkus toples kayak mau dikirim jauh. Terima kasih sekali atas bantuannya.”“Kami yang harusnya berterima kasih kepada Kiai. Semoga kebaikan Pak Kiai dibalas oleh Allah dengan banyak berkah.”“Aamiin. Terima kasih, Bu Teti.”Berempat melangkah menuju ruang
Mustafa merasa Dinda adalah calon permasurinya dan kini sedang memacu gairah bersama pria selain dirinya. Ia yang cemburu buta makin tak terkendali.Kedua tangan terkepal lalu diangkat ke arah meja makan dan tak berhasil mengeluarkan kekuatan yang diinginkan. Sosok ini mencoba kembali, tapi tak berhasil juga.“Brengsek! Ini pasti ulah si Tua Bangka. Kekuatanku hangus oleh ilmu dia. Bedebah!” Sosok tinggi besar ini sekali lagi mencoba mengangkat tangan dengan mengatur napas lalu mengerahkan tenaga dalam dan gagal kembali. Kedua mata besar yang merah tampak membara bagai api dalam sekam.Bola mata melotot seakan-akan mau keluar. Embusan napas memburu berakhir dengan dengusan panjang.Mustafa pun lenyap dengan meninggalkan aroma kasturi yang menguar teramat tajam.Aroma tersebut memenuhi semua sudut rumah, hingga membuat rasa sesak di dada. Bu Teti yang berada di ruang tamu sampai terbayuk-batuk lalu segera membuka pintu depan. Wanita separuh baya ini menghidupkan seluruh kipas yang ada