Pagi-pagi, Intan sudah rapi dengan tas punggungnya. Dia bertekad hendak keluar rumah, sekaligus mencicil mengambil buku-buku di kosan yang masih tertinggal. Dia hanya pamit sementara tinggal di rumah Bude-nya karena ingin peningkatan gizi menjelang ujian.
“Mau kemana, kamu?”
Intan menghentikan langkahnya, tatkala menyadari siapa yang bertanya padanya.
“Kosan Santi, Mas. Mau belajar!” jawab Intan sambil memejamkan matanya. Mulutnya terkatup rapat. Dia tahu, sebentar lagi Aditya bakal memberinya ceramah panjang lebar.
“Nggak bisa apa belajarnya dirumah? Belajar bersama kebanyakan ngobrol!” kata Aditya kesal. Kenapa Intan tak juga paham maksudnya. Dia minta gadis itu belajar di rumah, agar konsentrasi. Tidak kebanyakan bergosip yang tak penting dengan teman-temannya. Ujung-ujungnya, remidial.
“Lho, justru jaman sekarang ini harus dipupuk rasa kebersamaan dan kerja sama. Kalau terb
Beruntung, tak lama petugas pengawas ujian yang di depan segera mendekat sambil membawakan lembar kertas lembar jawaban untuk Intan.Sayangnya, dosen muda itu bukannya beranjak dari hadapan Intan, namun malah masih terus berdiri di sana.Keringat di dahi Intan mulai bercucuran. Bukan karena tidak bisa mengerjakan soal ujian. Tetapi gara-gara dosen muda itu malah berdiri di depannya. Tatapan sesekali pura-pura ngawas. Namun tak jarang curi pandang pada Intan.Perlahan tapi pasti, konsetrasi Intan mulai terganggu. Dia tak dapat fokus lagi, meski hanya tinggal dua soal. Tatapan penuh senyum dari Huda, justru diartikan Intan sebagai tatapan intimidasi.Otak Intan sudah sulit untuk bekerja. Ingin rasanya menoleh ke kiri kanan untuk memastikan teman-temannya apakah bernasib sama, tapi tak ada nyali. Intan takut dikira berbuat curang.Soal nomer empat masih di depan mata. Telapak tangan Intan mulai basah dengan keringat. Diliriknya
Pagi ini Sarah kembali bekerja di kantornya yang lama. Beruntung dia punya dedikasi yang baik sebelumnya, sehingga begitu ada posisi, dia mendapatkan kesempatan pertama.Memang dia harus mengawali karir lagi dari nol. Tapi tak ada masalah. Yang penting baginya adalah keluar dari kebosanan di rumah.Menjadi pegawai baru, gajinya tak banyak. Hanya cukup untuk membayar ART yang bertugas mengawasi kedua orang tuanya, dan ART yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sebagai konsekuensi yang diusulkannya ke Dimas, jika dia bekerja. Sisanya masih cukup untuk perawatan dan membeli kebutuhan pribadi. Sementara, kebutuhan sehari-hari, Dimas sudah menanggungnya.Meskipun satu kantor dengan Aditya, sang mantan, ruang kerja Sarah dan Aditya tidak berada dalam satu lantai. Sehingga intensitas pertemuan keduanya juga minim. Paling hanya saat jam makan siang.Jam makan siang kala itu, adalah waktu yang dinanti oleh Sarah. Dia ingin menunjukkan pad
Aditya sengaja mengajak makan siang Farhan, kepala divisi di tempat Sarah bekerja. Kebetulan Aditya mengenalnya cukup dekat karena beberapa projek yang mengharuskan mendapat persetujuan dari tempat Farhan.Aditya punya misi untuk mencari tahu informasi tentang pekerjaan Sarah, agar kakaknya sedikit tenang.“Wah, Bro, denger-denger baru pulang dari Bandung?” tanya Aditya membuka pembicaraan.Suasana kantin saat jam makan siang cukup ramai. Aditya memilih tempat duduk di pojok agar dapat mendengarkan dengan serius hal yang ingin dia dengar dari Farhan.“Tahu darimana? Sarah cerita?” tanya Farhan menampakkan senyum menggoda.Tak mudah memang memiliki mantan pacar satu kantor. Meski Aditya tak pernah mengakui Sarah sebagai pacarnya. Semua orang tahu kalau dia dan Sarah cukup dekat. Kemana pun berdua kala itu. Tapi, apa mau dikata jika takdir berkata lain. Ternyata dia tak berjodoh dengan Sarah.
Mereka berdua hanya terdiam. Bahkan nyaris seperti orang yang tak tak pernah saling kenal. “Aku duluan,” kata Aditya datar sembari keluar dari lift. Berulang kali Aditya menghembuskan napasnya setelah lelaki itu duduk di meja kerjanya. Masih tak habis mengerti dengan penampilan Sarah yang dia lihat barusan. Baju yang dikenakan terlihat baru. Begitu juga penampilan lainnya. Wajahnya terlihat lebih bercahaya dan tidak kusam. Pikirannya bertanya-tanya. Apakah perusahaan Dimas sudah membaik, sehingga sudah punya cukup uang untuk meningkatkan penampilan Sarah. Padahal, bulan lalu dia masih terlihat sederhana dan kusam. Karena penasaran, Aditya segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya. [Kapan Sarah dinas lagi?] Aditya mengirimkan pesan ke kakaknya. Dia benar-benar harus menyelidiki. Kalau perubahan penampilan karena uang lebih dari Dimas, rasanya tak mungkin. Pasti Dimas pun akan ada perubahan. Buktinya ti
Sudah seminggu berlalu, Aditya masih memikirkan bagaimana cara mencari tahu apa yang terjadi dengan Sarah. Namun, Aditya belum punya nyali untuk menemui Sarah. Bertanya pada kolega yang lain jelas tak mungkin. Informasi dari Farhan memang cukup jelas, tapi dia tak mau berspekulasi dengan hal yang belum jelas.Hari itu, Aditya dan Intan berjalan memasuki lobi sebuah mall. Aditya sudah tidak tahan dengan rengekan Intan yang mengajaknya jalan-jalan sebagai hadiah lulus mata kuliahnya Huda, dosen yang sedang gencar mendekati Intan.“Mau kemana kita jadinya?” tanya Aditya dingin.“Nonton! Kan waktu itu belum jadi,” tagih Intan sambil tersenyum manja ke Aditya.Aditya membalasnya dengan tampak jijik. Ditariknya kedua sudut bibirnya ke samping.“Ih, kamu tuh ya, Mas! Nggak asyik!” Intan hendak memukul lengan Aditya.Serta merta Aditya menghindar, sehingga Intan hanya mampu memukul benda ko
Siang itu Dimas kembali datang ke kantor Aditya saat jam makan siang. Dua lelaki kakak beradik ini memang dekat sejak kecil meskipun perangai keduanya bertolak belakang. Dimas yang lebih santai, suka bercanda dan lebih banyak empati. Sementara, Aditya cenderung serius, datar dan apa adanya. “Mas, aku rasa di kantorku nggak ada dinas sesering itu. Apalagi di akhir pekan.” Aditya memberanikan diri untuk bicara. Kedua kakak beradik ini sedang duduk di salah satu tempat makan di luar kantor. Karena tak ada pekerjaan mendesak, Aditya berani untuk keluar dari kantor saat jam istirahat. “Maksud kamu, dia membohongiku?” tanya Dimas. Di depan pria itu tersaji sepiring gado-gado dan segelas es teh manis. Sementara, di hadapan Aditya tersaji nasi rawon yang kuahnya masih mengepul. Aditya menghela nafas. “Aku nggak bilang gitu, Mas. Cuma aku lihat penampilan Sarah sekarang sudah sangat berubah. Apa kamu memberin
Sudah seminggu Intan memiliki laptop baru. Tetapi dia masih malas memakainya. “Kenapa laptop barunya nggak dipakai?” tegur Aditya. “Dataku ada di laptop lama semua, Mas,” ujar Intan beralasan. Laptop barunya masih manis dalam tas laptop. Seketika wajah Aditya memerah. Dia mengacak rambutnya dengan kasar. “Percuma beli laptop mahal-mahal,” ujarnya. Lelaki itu lalu meminta Intan minggir dari kursi belajarnya. Dengan kesal dia buka laptop yang baru dibelinya beberapa waktu lalu. Sebuah hardisk portable segera dicolok pada laptop lama milik Intan. Semua data dipindah ke hardisk itu. Sementara Intan hanya duduk di sisi ranjang sambil bersedekap. Matanya sesekali melirik ke layar monitor yang terlihat lambat memindai datanya. Lelaki itu sesekali mengurut kepalanya. Tak habis pikir dia dengan cara pikir istrinya. Sudah dibelikan barang baru, memakainya saja seolah tak bersemangat
“Adit, Sarah, ada apa?” tanya Dimas sambil menatap tajam keduanya yang sedang berdiri di samping meja makan. Dimas masih berdiri di tangga. Matanya masih memerah karena baru bangun dari tidur dan tak mendapati istrinya di sampingnya. Kini dia malah melihat Sarah dan Aditya berdua di ruang makan. Beruntung Intan buru-buru mendekat. Sehingga dapat menyelamatkan Aditya dari prasangka. Aditya cemas kalau kakaknya berfikir dia hanya berduaan dengan Sarah di ruang makan. Aditya membuang muka. Lalu ia pergi meninggalkan Sarah menuju ke kamarnya. Intan pun menatap suaminya kebingungan. Tadi dia kebetulan keluar kamar karena mau melihat Aditya yang sedang memindahkan datanya ke laptop baru miliknya. Nggak enak kalau suaminya mengerjakan punya dia, sementara enak-enakan di kamar. Sementara Dimas terbangun karena hendak ke toilet. Menyadari Sarah tidak di kamar, dia ingin mengecek ke lantai bawah. “Ayo kita pulang, Mas. Aku