Faryn tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Sejak kejadian siang tadi di dalam kamar hotel, setelah Linggar melepaskan bibirnya, otaknya tidak berhenti memutar kembali semuanya. Degup jantungnya juga tidak berdetak normal seperti biasanya."Sial," gumam Faryn pelan.Wajah tertelungkup di atas meja belajar di kamarnya dengan bertumpu pada sebelah tangan. Bahkan saking terlalu fokus pada apa yang terjadi antara dirinya dan Linggar, ia mengabaikan panggilan Hakam."Kembalilah berdetak seperti biasanya, Bodoh," katanya kesal. Tangan lainnya memegang dada kiri. Ia tidak berpikir hal seperti ini akan ia alami. Dan, sialnya, yang dikatakan Linggar benar adanya.Ciuman itu membuat Faryn selalu mengingat pria itu.Suara ketukan di balik pintu menghentikan makiannya pada diri sendiri. Ditambah lagi dengan panggilan namanya dari suara yqng sudah sangat ia hapal betul."Faryn. Kamu ada waktu? Aku perlu bicara," panggil Hakam dengan lembut.Faryn diam, tidak memberikan jawaban apapun pada pangg
Hakam tersenyum mencemooh sekaligus miris mengingat diskusi mereka yang berakhir buruk. Tidak ada hasil yang memuaskan dari perbincangannya dengan Faryn malam itu. Yang ada hanya rasa kesal, marah, dan ... perasaan lain yang sulit dijelaskan."Masnya mau foto latar belakang apa?"Pertanyaan dari fotografer di tempat percetakan kilat ith mengalih pikiran Hakam. Kepalanya mendongak, lalu menjawab dengan tenang, "Biru, Mas."Fotografer itu segera menyiapkan kain latar berwarna biru. "Nggak sama calonnya, Mas, biar sekalian?" tanya lagi sambil mengatur cahaya lampu sorot supaya gambar yang dihasilkan memuaskan.Hakam menggeleng walaupun orang itu tidak melihatnya,"Nggak, Mas. Calon saya sudah foto lebih dulu di tempat lain."Lebih dulu dari mananya? Yang ada malah Faryn sama sekali tidak peduli dengan pernikahan mereka. Hanya Hakam sendirilah yang kelimpungan mengurus segalanya dari awal.Jika perempuan itu sengaja melakukannya agar Hakam menyerah, maka ia harus menelan pil pahit. Hakam t
Manik Mama Adelina melebar. Mulutnya terkatup rapat dan deru napasnya mulai cepat. Hakam dengan sugap mengangkat tangan Mama yang sedang memegangi gelas yang tadi diberikan oleh Hakam."Minun dulu, Ma," ujarnya. Sebelah tangannya mengelus punggung ibunya.Mama menurut. Beliau minum dengan cepat hingga isinya langsung habis tak bersisa."Kok ... kenapa menndadak begini?" tanya Mama cepat dengan nada panik begitu tetes terakhir dalam mulutnya sudah tertelan.Hakam menggaruk pipinya salah tingkah. Ia ragu untuk menjelaskan semuanya. Maka, ia ambil jalan tengah untuk memberitahukan ibu kandungnya."Ya, karena kan kami sudah tinggal bersama, Ma. Sementara di lingkungan rumah Faryn, memiliki peraturan di mana yang bisa tinggal bersama hanya yang sudah memiliki ikatan suami istri atau sanak keluarga. Dan Hakam nggak punya keduanya. Jadi," belum sempat Hakam menyelesaikan ucapannya, Mama mendahuluinya."Jadi, maksud kamu kalau ingin tinggal di sana, kamu harus membentuk ikatan suami istri den
"Pulang duluan, ya. Bye.""Mampir gym yok. Udah lama nggak ke sana.""Good night, Everybody!"Seruan itu menjadi kalimat terakhir yang Faryn dengar hari ini. Para staff karyawan HR sudah berkemas dan bergegas pulang ke rumah atau mampir ke tempat lain bersama teman-temannya.Faryn menunggu sampai karyawan terakhir di ruangan itu, selain dirinya, pergi. Setelah memastikan hanya tinggal dirinya seorang, ia membalas pesan dari Bahari yang masuk beberapa saat lalu.Sedikit terkejut saat mendapati Bahari mengetahui nomer pribadinya. Yah, namanya juga atasan. Dia bisa saja mendapatkan informasi apapun tentang karyawannya dengan mudah.Jemari Faryn sedikit bergetar saat mengetik setiap kata. Dirinya masih belum siap sepenuhnya bahwa sebentar lagi, tubuhnya akan dijamah oleh tangan kotor orang yang dibencinya.Namun, semua sudah terjadi. Keputusan sudah bulat. Tidak ada lagi jalan untuk mundur.Faryn menarik napas dalam dan mengembuskannya melalui mulut. Langkah kakinya membawanya pergi ke ka
Hakam mondar-mandir di ruang tengah. Jam dinding sudah menunjukan hampir tengah malam. Faryn masih belum juga pulang.. Sekali lagi, ia coba menghubungi pasangannya. Tetap tidak diangkat.Biasanya memang wabita itu pulang terlambat, tapi kali ini sudah sangat terlambat. Meski ia masih merasa kesal pada Faryn, tetap saja ada rasa khawatir padanya. Ia tidak bisa mengabaikannya.Saat suara sepatu berpadu dengan ubin di luar rumah, Hakam langsung bergerak cepat menuju pintu. Ia buak pintu rumah bahkan sebeljm Faryn memegang kenopnya."Kamu dari mana saja?" tanyanya cepat. Tatapan matanya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran.Faryn hanya menjawab pelan dengan nada lesu, "Lembur."Seelah itu, ia berlalu masuk melewati Hakam yang masih berdiri di ambang pintu. Pria itu mengekor dari belakang. Masih dengan banyak pertanyaan yang bersarang di benaknya.Melihat Faryn yang sudah bersiap masuk ke kamarnya, ia menahan tangan wanita itu. Lalu Hakam pun akhirnya kembali bertanya. "Nggak mungkin lem
Meski kejadian itu sudah berlangsung dua hari yang lalu, Faryn masih sedikit mengalami ketakutan saat harus kembali bekerja. Entah bisa dikatakan keberuntungan atau tidak, Bahari pergi keluar negeri selama dua minggu untuk urusan bisnis. Jadi, Faryn bisa menenangkan diri sebelum kembali mengulangi kejadian sebelumnya.Hakam sendiri juga sudah kembali tidur di sofa seperti biasanya. Hanya untuk satu malam itu saja mereka berbaring di ranjang yang sama. Dan tentu saja, hanya tidur biasa layaknya orang-orang pada umumnya."Faryn," panggil Hakam.Faryn menoleh. Lalu mengedikan dagu yang mengisyaratkan pertanyaan 'apa?' secara tak langsung."Hari ini ... kamu nggak perlu bekerja," ujarnya.Faryn mengerutkan dahinya dalam. "Kenapa?""Aku sudah meminta ijin sama Papa Bahari supaya mengijinkan kamu untuk satu hari ini."Merasa belum mendapatkan jawaban yang ia mau, Faryn memberikan atensi penuh pada pria yang berdiri di ambang pintu kamarnya. "Kamu nggak menjawab pertanyaan aku." Kedua tangan
Mereka hanya diantar oleh Papa Bram dan Mama Adelina yang masih terisak. Lalu kedua orang fua Hakam kembali pulang. Faryn yang saat itu sempat melihat ibu mertuanya masih sembab, merasa tidak enak hati.Pasalnya kebohongan Hakam sudah terlalu jauh ia rasa. Ditambah lagi, ia baru menyadarinya sekarang alasan sang mertua bersedih hati. Ia teringat dengan istri muda papa mertuanya.Mungkin saja Mama Adelina merasa ditipu dua kali oleh orang yang ia sayang. Kalau dalam kasus mereka sih memang Hakam berbohong."Kamu nggak masuk?"Saat itu mereka sempat makan siang bersama dan pulang saat menjelang sore. Hakam yang sudah merasa memiliki hak yang sama dengan Faryn, akhirnya memilih membuka pintu lebih dulu."Kamu nggak merasa bersalah sudah membohongi kedua orang tua kamu sampai sejauh ini?"Faryn tidak menoleh. Ia masih menatap ke arah jalanan di mana mobil yang dikendarai mertuanya baru saja berbelok. Hakam diam sebentar. Lalu ia berjalan menghampiri Faryn. Ia berdiri tepat di samping pere
Faryn membiarkan Hakam berbaring di samping seperti beberapa hari yang lalu. Setidaknya hanya itu yang bisa lakukan sebagai seorang istri untuk sekarang."Hakam?"Yang dipanggil hanya menyahut dengan dehaman tanpa berbalik ke adah Faryn. Sepertinya suaminya itu tengah marah karena permintaannya ditolak. Ya wajar saja sih. Memangnya ada suami di luaran sana yang tidak akan tersingung dan marah saat kebutuhannya ditolak oleh sang istri?"Sudah berapa lama?" tanyanyaHakam yang tidak mengerti maksud pertanyaan Faryn, menoleh melalui pundaknya. "Apanya?"Faryn menjelaskan maksud pertanyaannya dengan nada tenang dan datar. "Sudah berapa lama kamu nggak menyentuh wanita?"Karena masih belum yakin memahami pertanyaan itu sepenuhnya, Hakam akhirnya membalik punggungnya dengan posisi terlentang menghadap langit-langit. "Tadi pagi kan aku baru saja menyentuh kamu."Yang dimaksud oleh Hakam sangat berbeda dengan maksud pertanyaan Faryn. Yang ditangkap oleh otaknya, menyentuh dalam artian harfiah