"Maaf Nona, tapi tolong terimalah kenyataan. Saya tahu ini semua berat untuk Anda ditinggal orang yang terkasih. Namun, tolong jangan membuat pihak lain ikut merasa berat dan kesusahan!"
Aku terdiam mendengar kalimat pria dengan jas berwarna putih ini. Sekarang semua mengetahui, tak ada yang mau berdiri di sisiku kecuali Fero. Tak ada yang mau meraih tanganku kecuali Fero.
"Sungguh saya tak berharap apa-apa darimu, ataupun dari-Nya, tapi bisakah aku meminta satu hal. Biarkan dia tetap di sini, biarkan aku bersama dengan Fero sedikit lebih lama," pintaku menengok ke arah Fero yang terbaring kaku.
Dokter di hadapanku ini terdengar menghela napas pasrah. Aku menengoknya, dia melangkah keluar pergi dari ruangan. "Saya hanya memberikan Anda waktu sedikit lebih lama, jika kemudian Anda meminta untuk waktu lebih lama, saya mohon maaf, itu tidak bisa saya lakukan!" tegasnya berhenti melangkah, ketika pintu terbuka.
Aku mengangguk sebagai tanda terima kasih atas waktu yang lebih lama ini, setelah itu, hanya ada bunyi pintu yang tertutup secara perlahan. Suasana diiringi keheningan. Kembali aku mendekat ke brankar Fero.
Meraih jari-jemarinya yang pucat, aku kecup punggung tangan itu, dan menggerakkan telapak tangannya untuk menempel pada pipi. Menutup mata untuk menghayati elusan telapak tangan kaku ini, dan mencoba mencari kehangatan di setiap gerakannya.
Fero ... aku tak tahu harus berkata apa. Satu hal yang kuingin untuk saat ini adalah, terus bersama denganmu. Membuka mata menatap wajahnya dengan ratapan pilu nan sayu, kukecup lagi telapak tangannya.
"Fero ... aku ingin menangis, tapi tak bisa. Aku tahu, setelah ini tak bisa lagi kita bertemu dan menggenggam tangan satu sama lain, mengelilingi pasar malam sambil bermanja. Namun, bolehkah aku meminta satu hal darimu. Datangi aku di mimpi ... jika boleh, lakukan setiap malam," lirihku menggerakkan kepala agar terlihat seperti dielus, sambil memejamkan mata.
Rasa sakit kembali terasa, tapi bukan pada fisik. Melainkan hati, seperti diremas dan dihancurkan, kemudian ditinggalkan tanpa ada perbaikan untuk bisa dipulihkan kembali. Mencoba memuaskan diri hanya dengan elusan pada pipi. Aku membuka mata.
"Untuk selanjutnya, aku tak akan berharap pada pria lain. Aku tak ingin ditinggalkan untuk kesekian kalinya oleh orang yang kusayang," sumpahku pelan, membuat janji yang langsung terucap dari lubuk hati.
Ceklek! Suara gagang pintu berputar, aku menengok ke asal suara. Melihat dokter itu kembali dengan beberapa suster di belakangnya. Mengukir senyum terpaksa, aku bangkit dari posisi elusannya, dan berjalan melewati dokter.
"Dok, tolong beritahukan pada kedua orang tua kekasih saya. Saya meminta maaf." Setelah mengatakan itu, langsung saja aku mempercepat langkah keluar rumah sakit. Pandanganku berkaca-kaca.
Memejamkan mata dengan cepat, berharap agar bulir cairan bening ini tidak turun. Namun, bukannya berhenti, tapi, semakin kencang ketika kembali berusaha untuk membuatnya tidak turun.
Membuka mata, dan kemudian berbelok ke lorong di samping kanan. Aku melihat sebuah pintu keluar. Menghentikan gerakan berlari, aku mulai berjalan dan menarik pintu kaca itu, lalu keluar dengan rasa sakit yang mengiringi setiap langkahku yang menjauh dari rumah sakit.
Berhenti di sebuah toko kaca yang transparan, aku melihat bayangan diriku dengan pakaian compang-camping. Persis sudah seperti gembel pinggir jalan. Memang inilah hidupku, begitu banyak celah yang tampil pada dunia, karena baru saja kehilangan alasan untuk terus bertahan.
Ingin aku tertawa melihat penampilan diriku yang tampil dalam cermin itu. Mengepalkan tangan dan menunduk, sambil kembali berjalan. "Aku memang tak pantas untuk hidup bukan, semua berkorban hanya demi aku. Padahal ... tak ingin kulanjutkan untaian benang takdir yang menjulur entah ke mana ini."
Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Berhenti melangkah, dan melirik ke arah mobil yang sedang melaju di jalanan. Sebentar lagi, mobil itu akan lewat dengan kecepatan tinggi. Menatap kedua telapak tangan sebentar, kemudian mengepalkannya.
"Fero ... tak lagi ada alasan untuk terus melanjutkan kehidupan ini. Harusnya, kau tak pernah berkorban untukku," gumamku pelan, melangkah ke jalanan di mana mobil akan lewat sebentar lagi.
"Awaaas!"
Teriakan dan teriakan terdengar menggema sampai ke telingaku, bahkan klakson dari mobil yang akan menabrakku. Kedua kakiku bergetar, merentangkan tangan dan mendongkak ke arah langit. "Maaf," lirihku dengan bulir cairan bening yang menumpuk di sudut mata.
"Tidaakk!" sesaat sebelum mobil itu menabrakku, sebuah tangan terulur menggenggam jari-jemari tangan kanan. Begitu aku menoleh, aku tersentak, bersamaan dengan sebuah tarikan dari tangan orang yang membenci keberadaanku.
Brakk! Dalam sekejab, tubuhku langsung berada di atas tubuh pria dengan posisi erotis. Aku terdiam tak bisa berkata-kata, tapi, kedua tanganku mengepal di atas dada pria ini dengan mata berkaca-kaca.
"Apa kau gila! Kenapa bisa-bisanya kau berdiri di tengah jalan seperti orang yang putus asa!" teriaknya dengan ekspresi wajah khawatir. Kepalan kedua tanganku semakin mengerat melihat responsnya itu.
Dia terlihat seperti orang yang khawatir dan takut kehilangan. Sebelumnya, jangankan untuk khawatir atau takut. Peduli saja tidak. "Kenapa ... kenapa kau menunjukkan ekspresi seperti itu?" tanyaku terbata-bata menahan tangis yang ingin keluar.
"Sial! Aku tak pernah mengkhawatirkan atau takut untuk kehilanganmu sedikitpun!" suaranya terdengar meninggi, sambil menggerakkan tangan untuk menyingkirkan tubuhku yang menindihnya dengan posisi erotis.
Tangan itu bergerak dengan lembut. Ekspresi wajah yang tadi tampil menghilang menjadi datar. Tubuhku yang terduduk di samping, dengan kepala yang mendongkak menatap ekspresi tajamnya itu benar-benar membuatku berpikir dua kali.
Tak mungkin orang sepertinya akan memasang wajah seperti itu. Bangkit dari posisi terduduk, aku kembali melangkah ke tengah jalan untuk memasang tubuh di tengah jalan, agar bisa ditabrak hingga tak lagi bernyawa. Namun, sebuah tangan kembali menarikku ke dalam pelukannya.
Kali ini, ekspresi marah, takut dan khawatir benar-benar bercampur di balik sorot mata tajamnya itu. "Apa kau gila! Aku sudah menyelamatkanmu dari kematian, tapi kau masih saja kembali ke depan sana untuk mati!" teriaknya menunjuk jari tepat di hadapanku.
"Sedari awal tak ada keinginan untuk diselamatkan! Kenapa juga harus diselamatkan? Aku ... aku tak lagi ingin menaruh harapan pada siapapun di dunia ini. Karena semuanya akan hancur, dan aku akan kembali sendirian," tuturku mendongkak ke arah langit malam yang terasa begitu gelap.Aku benar-benar tenggelam, tanpa ada keinginan untuk mengawasi gerakan dari pria tertua di keluarga, Nelions Herbert. Puas mendongkak ke arah langit, kini aku menoleh ke arah Nelions yang dipanggil Neon ini terdiam dengan mata berkaca-kaca ke arahku.Tangan kanannya menutup bibir. Aku mengangkat sebelah alis sembari memandangnya dengan mata berkaca-kaca. "Apa ekspresimu itu? Kaumengira aku Pengemis yang meminta perhatian untuk hidup? Aku tak memerlukan ekspresimu, karena yang kuperlukan saat ini adalah sebuah akhir dari cerita," sindirku bergetar.Kenapa dia menampilkan ekspresi seperti itu, ketika aku sudah tak lagi berharap apa-apa pada dunia? Kenapa harus sekarang, padahal sebelumnya aku terus berharap da
Aku terdiam mencerna kalimat ketus yang mengesalkan dari pria ini. Istri Kedua? Jatuh dari lantai dua dan terguling di tangga? Ini benar-benar berbeda dari apa yang sebelumnya terjadi padaku!Bukankah aku menabrakkan diri pada mobil, dan dibopong untuk dibawa ke mobil, oleh saudara yang enggan untuk mengakuiku itu. Begitu sampai di mobil, aku mengucapkan perpisahan terakhir, dan akhirnya semua menggelap. Aku sangat yakin akan hal itu!Berhenti mengedarkan pandangan, dan menatap pria asing di depanku ini. Aku mulai bertanya ; "Tunggu! Apa maksudnya saya istri kedua? Jatuh dari tangga pula." Alisku terangkat sebelah, ketika kalimat itu terucap. Pria tampan yang mulutnya luwes di hadapanku ini tersentak kecil, dia mengerutkan kening, kemudian menolehkan kepala menatap perempuan cantik bergaun merah gelap di sampingnya, seperti sedang bertanya melalui isyarat. Perempuan dengan gaun merah di sampingnya itu pun mengangkat kedua bahu, dan alis di saat bersamaan. Seperti jawaban tidak tahu d
Secara refleks, aku langsung menjawab panggilan itu dengan memiringkan kepala, dan menatap wajahnya. Fero terlihat sangat serius. Alisku terangkat sebelah. Suasana yang tadi hening, diisi oleh keseriusan yang terasa hangat. "Kamu ingat permainan Angklung yang pernah kita mainkan sama-sama waktu kelas 2 SMA?" tanyanya. Langsung saja aku mengangguk dengan senyum. "Aku tak akan pernah melupakan momen-momen itu," balasku menyembunyikan rasa gugup setiap melihat wajah tampan itu. Fero tersenyum, ujung telinganya memerah. Memang wajahnya tidak memerah, tapi ujung telinganya benar-benar memerah. Itu sebagai tanda, kalau dia malu. Sosok Fero memang hangat, tapi dia sangat susah ditebak. Namun, walau seperti itu, aku tetap mengetahui beberapa tingkahnya dengan respons dari gerakan yang sangat kuhafal sekali. Suasana terasa sangat canggung, tapi tetap ada sensasi hangat yang bisa terasa di sudut hati. "Aku gak tau harus bilang apa ... tapi aku ingin memberikan sesuatu." Fero kembali berbi
iba-tiba, entah dari mana, ada partikel-partikel kecil berwarna emas terbang di hadapanku menuju langit. Aku mengangkat sebelah kening melihat itu. Ketika melihat partikel-partikel itu. Sudut hatiku terasa berdenyut kencang dan sedih.Bersinar begitu kecil dengan dampak luar biasa, sama seperti Fero. Dia bagai pelita yang terus menerangi tanpa henti. Entah bagaimana harus aku deskripsikan laki-laki tampan pujaan hati itu. Di mata dan hatiku, dia akan terus menerus bersinar tanpa henti. Aku lalu teringat pada Angklung berjenis Pentatonis yang dia berikan tadi. Kalau tak salah ingat, ada dua jenis Angklung jika dibedakan dari nadanya. Pertama adalah jenis Angklung Pentatonis yang terdiri dari dua bambu di bagian dalamnya. Kedua, jenis Angklung Diatonis yang terdiri dari tiga bambu. Senyumku kemudian merekah, dan menoleh ke arah Fero berbaring. "Fe–ro?" panggilku dengan kening mengernyit sarat akan tanda tanya. Tak ada seorang pun di bekasnya dia berbaring tadi. Bangkit dari posisi re
Tubuhku yang tak bisa bergerak ini langsung tersentak, kala ada panel transparan atau hologram muncul begitu saja tanpa aba-aba, disertai sebuah dentingan bak lonceng. Panel di hadapanku ini menampilkan kalimat Loading, dengan angka persen yang semakin bertambah setiap detiknya. [Notifikasi! Menampilkan data biografi Majikan ....] Begitu angka persen yang berada di tengah lingkaran hologram mencapai angka seratus persen, kalimat baru dalam layar hologram muncul, menampilkan data-data seperti game. Nama : [Lania Herberts] Usia : [18 tahun]Item : [Angklung Kenangan]Skill : [Melodi Penghilang Kesedihan ; F-]STR : [10+]AGI : [4+]VIT : [10+]Level : [1]Rank : [F-] Ringkasan : [Memiliki potensi untuk menjadi karakter dengan skill Support (Pendukung), Hitter (Penyerang), Healer (Penyembuh), Mage (Penyihir Tinggi), Ranger (Penyerang Jarak Jauh).] "Apa ini?" tanyaku pelan, melihat dengan kening mengernyit ke arah hologram yang menampilkan kalimat-kalimat seperti dala
[Notifikasi! Jika Majikan tak kuat untuk melihatnya, diharapkan agar menutup mata dan tak melihat adegan yang begitu menyakitkan ini!] Aku menggelengkan kepala, tak bisa mengalihkan fokusku sedikitpun dari adegan kehancuran dunia yang seperti kiamat ini. Di saat meteor itu terpecah, terlihat seperti gelas yang jatuh secara perlahan. Begitu indah untuk dilewatkan. [Notifikasi! Sistem sudah memperingatkan!] Hanya mengangguk sebagai jawaban. Begitu pecahan-pecahan meteor di depan mataku ini menembus atmosfer, semuanya langsung jatuh dengan cepat karena tarikan gravitasi. Ribuan teriakan meminta tolong, maaf, penyesalan, marah, khawatir, takut, semuanya bercampur aduk dalam gema alunan di gendang telingaku, sebelum pecahan meteor ini merenggut nyawa mereka. Booomm! Dentuman keras terdengar di mana-mana pada saat yang bersamaan. Embusan angin yang lebih cepat dari topan bergerak ke setiap sudut mata angin tanpa berhenti sedikitpun. Abu merah yang lebih panas dari gunung merapi menya
Ghooarr! Teriakan Monster Dungeon yang berhasil menguasai satu tempat. "Four-Horned Dragon?" aku membaca kalimat yang tertulis dari Dungeon Monster itu berada. Artinya adalah Naga Empat Tanduk. Sesuai seperti tampilan Monster dengan jenis naga ini. Empat tanduk yang berada di atas kepala itu melindungi sesuatu yang dinamakan 'Core' atau 'Inti Kehidupan'. Aku tak menyentuhnya, tapi aku tau dari banyak Monster lain yang menyerangnya. Four-Horned Dragon, atau Naga Empat Tanduk itu benar-benar memiliki kulit yang lebih tebal dari baja. Ditambah, tampilan kulitnya bagai tanah yang tandus dialiri oleh lahar panas merah menyala. [Notifikasi! Tampilan sejarah sudah selesai, diharapkan Anda mampu memahami semua pemahaman di Planet Qeluav ini. Karena telah selesai, secara otomatis sistem mengirim jiwa Anda kembali ke tubuh 'Sofein Meqsesa Lachenfort'] [Notifikasi! Selamat tinggal!] Sebuah panel hologram tiba-tiba kembali muncul di hadapanku, dan seketika itu juga. Aku dalam bentuk roh atau
Judul : []Rank : [C-]Misi : [Buat para tamu undangan ikut merasakan kesedihan bersama Monster yang keluar dari Dungeon peringkat B plus, biarkan mereka mengetahui emosi kesedihan Anda!]Bonus : [400 Coin] [???]Gagal : [Mati]Batas Waktu : [-][Terima] [Tidak]*Jika Anda menolak akan ada penalti yang lebih berat dari pada kematian!"Hei! Apa yang kamu liat ke arah situ? Emangnya aku sedang berdiri di sana? Atau otakmu sudah oleng setelah jatuh dari lantai dua, ditambah mengguling-guling di tangga?" suara ketus dari pria yang menyandang status suamiku ini agak mengesalkan ya.Apa di matanya, aku ini itu mirip seperti Lumpia yang berguling-guling di atas tepung agar menjadi renyah untuk digigit? Tentu saja tidak, aku adalah Lania Herberts yang terjebak dalam tubuh Sofein Meqsesa Lachenfort ini. Andai kemarin aku tak bertemu dengan Fero di alam bawah sadar, mungkin sekarang akan berlari ke dapur dan meraih pisau untuk mengakhiri hidup yang baru saja di