Share

BUKAN SELERA MERTUA

“Tapi Bu, aku sudah menikah dengan Dinda! Tak mungkin Hasan tega menduakannya,” jelas Hasan.

“Siapa suruh kau memilih Dinda? Dia bukan selera Ibu!” bentak Bu Nafis.

“Bukankah Ibu dulu juga merestui? Bahkan Ibu yang menyuruh Hasan cepat menikahi Dinda,”

“Ya karena Ibu dulu salah sangka, rumah gedong itu Ibu pikir milik Dinda ternyata bukan, apalagi Ibu kira Dinda dulu tetap kerja nyatanya keluar, kesini hanya bawa mobil buntut!” jelas bu Nafis.

“Hasan Bu yang melarangnya bekerja,”

“Sudah-sudah, selera Ibu punya mantu PNS seperti ini, bagaimana mau kan?” bujuk bu Nafis.

“Istigfar Bu!” perintah Hasan sambil meninggalkan ibunya.

Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, jam di mana Dinda selalu bangun untuk sholat tahajud.

‘Tring...tring’ notif alarm HP Hasan berbunyi berkali kali.

Dinda menoleh, dia melihat Hasan masih tertidur lelap, pasti dia lelah setelah pulang bekerja harus membantu Dinda mengemasi madumongso jualan bu Nafis. Dinda sudah melarangnya tetapi Hasan ingin membantu agar pekerjaan itu cepat selesai.

“Oh rupanya hari ini Ibu berulang tahun, mungkin aku harus membelikan Ibu sepatu dan tas sesuai dengan permintaannya,” gumam Dinda sambil mematikan notif alarm di HP Hasan.

Setelah selesai tahajud dan tilawah Dinda membangunkan suaminya untuk bersiap sholat subuh.

“Mas hari ini Ibu ulang tahun ya?” tanya Dinda.

“Tanggal berapa Dek ini?”

“Tuh tanggal lima April,” sahut Dinda.

“Astagfirulloh Mas lupa, benar hari ini Dek! Untung kau mengingatkannya,” ujar Hasan.

“Hehehe, sebenarnya tadi alarm HP Mas berbunyi, terus notifikasinya tulisan ulang tahun Ibu, begitu,” jawab Dinda dengan senyum cengengesan.

“Dek, Mas transfer uang dua ratus ribu belikanlah kue dan kado untuk Ibu ya, apa cukup?” tanya Hasan.

“Insyaallah cukup Mas, toh uang belanja dari Mas juga masih! Mas kan selalu memberi Dinda uang satu juta setiap bulan, sedangkan untuk makan dan lain-lain Dinda tak pernah keluar uang,” jelas Dinda.

“Jangan Dek! Itu uang nafkah yang Mas berikan untukmu! Gunakanlah itu untuk mencukupi kebutuhanmu sendiri, maafkan Mas ya belum bisa memberi nafkah dengan jumlah lebih banyak,” ujar Hasan sambil mencium kepala Dinda.

“Amin, Dinda sangat bersyukur memiliki suami seperti Mas, jangan pernah berubah ya,” pinta Dinda mengeratkan pelukannya.

Mereka segera melakukan sholat subuh berjamaah. Setelah sholat Dinda langsung keluar kamar untuk memulai rutinitas pekerjaan rumahnya. Dulu saat belum menikah semua pekerjaan seperti ini di lakukan oleh pembantu rumah Dinda, sekarang setelah menikah dan ikut suami Dinda harus belajar mencuci, bersih-bersih, dan kegiatan rumah tangga lainnya. Jika tidak tentulah mertuanya akan memakinya sepanjang hari.

“Bu, Ifah belum bangun?” tanya Dinda.

“Baru tidur! Dia kan sekolah masuk sore! Pagi juga harus endors barang, jangan samakan adik iparmu dengan dirimu,” jawab sengit bu Nafis.

Dengan cekatan Dinda langsung menyapu dapur dan mencuci piring dari pada menanggapi perkataan ibunya.

“Bu hari ini Dinda mau keluar, apa Ibu mau diantar sekalian ke Rumah Sakit? Kita kan bisa naik mobil,” tawar Dinda.

“Tak usah, nanti bensin habis Ibu suruh belikan lagi, tak naik motor saja!” tolak bu Nafis.

“Astagfirulloh Bu, ketimbang bensin Dinda juga ada uang untuk membelinya,” sahut Dinda.

“Itu bukan uangmu, itu duit Hasan anakku!’ sanggah bu Nafis.

Dinda langsung pergi meninggalkan mertuanya, bisa gila lama-lama dia bertahan di sana. Dinda segera berganti baju, dia bercermin di lemari.

“Pantas saja Ibu sering mengatakan bajuku lusuh, wong selama dua bulan ini aku memakai baju itu-itu saja! Cuci kering pakai, apalagi ketika boyongan ke sini kemarin aku hanya membawa beberapa potong baju, sepertinya aku harus membeli baju juga,” gumam Dinda dalam hati.

“Kebiasaan sering bicara sendiri!” tegur Hasan.

“Eh Mas Hasan, ini nih Mas baju Dinda sudah lusuh, pantas Ibu menyuruh membeli baju, apakah Dinda boleh membeli baju Mas?” izin Dinda.

“Belilah Dek, dengan uang bulananmu, apa kurang? Tadi Mas sudah transfer untuk beli roti dan hadiah untuk Ibu nanti,” jelas Hasan.

“Tidak Mas, lebih dari cukup! Yuk sarapan, Mas kan segera harus ke kantor, Ibu masak pecel Madiun endull sekali!” ajak Dinda.

Ya saat ini Dinda sadar penghasilan Hasan tidaklah banyak. Gaji Hasan hanya sekitar empat juta sampai enam juta perbulan. Dinda mendapatkan jatah satu juta, bu Nafis dua juta, satu juta untuk tabungan bersama, sisanya untuk keperluan Hasan. Pendapatan itu tentu kurang untuk mencukupi biaya hidup satu keluarga apalagi gaya hedon bu Nafis dengan geng-gengnya.

“Mas berangkat ya Dek, kau juga berangkat?” tanya Hasan.

Dinda mengangguk lalu mencium takzim tangan suaminya.

“Semangat ya Mas kerjanya, semoga berkah dan lancar rezekinya,” ujar Dinda tulus mendoakan.

Hasan masuk mobil dan melaju ke kantornya.

“Bu? Yakin tak mau bareng dengan Dinda?” tawar Dinda sekali lagi.

“Pergilah, Ibu nanti saja!”

Dinda segera pergi ke salah satu bakery terkenal di kota ini. Jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, Dinda pergi ke departemen store tersbesar di kotanya. Membeli beberapa baju untuk dirinya sendiri, sebuah tas dan sepatu senam untuk ibu mertuanya.

“Semua totalnya empat juta tujuh ratus ribu rupiah, Bu,” ujar kasir.

Tak perlu waktu lama Dinda membayar semua belanjaannya, jika di pikir lucu bukan? Uang nafkah yang di berikan Hasan selama dua bulan di tambah uang transferan tadi hanya bisa menutup separo tagihan belanja Dinda.

“Tak apalah, memang Mas Hasan saat ini sedang merintis semua wajar jika pendapatanku jauh lebih besar dari dia, yang penting dia selalu berada di pihakku! Walaupun terkadang terpaksa memilih Ibunya” kata Dinda dalam hati.

Saat pulang, Dinda mendapati rumah sudah ramai. Jantungnya berdetak keras takut ada apa-apa dengan mertuanya.

“Assalamualaikum! Ibuk!” teriak Dinda begitu turun dari mobil.

Dia langsung berlari menuju rumah yang terbuka pintunya, betapa terkejutnya Dinda melihat keadaan ruang tamu yang mendadak menjadi tempat pesta. Mereka mengadakan liwetan di ruang tamu.

“Kenapa sih Dinda kau berteriak?” tanya bu Nafis.

“Astagfirulloh Ibu, Dinda panik kenapa rumah ramai orang, Dinda pikir ibu kenapa-kenapa,” ujar Dinda.

“Itu ya Jeng mantunya?” tanya seorang ibu-ibu memakai baju motif macan dengan jilbab corak zebra.

“Eh..Oh iya Jeng,” jawab bu Nafis tergagap.

“Duh seleranya Hasan, masak menolak Nanda yang PNS demi wanita ini Bu? Mending kalau cantik wong ya sama saja secara fisik sama Nanda, malah menang Nanda ya Jeng karena dia PNS!” kata Ibu itu.

“Nanda?” tanya Dinda bingung.

Siapa Nanda? Mengapa orang-orang membandingkannya.

“Itukan selera Hasan Bu, bukan selera saya! Taulah mungkin di pelet mau sama dia!” sanggah bu Nafis.

“Pelet? Apa maksudnya Bu? Siapa Nanda itu?” tanya Dinda benar-benar bingung.

“Ih amit-amit ya Jeng sudahlah tak cantik fisik, hatinya juga busuk! Jeng Nafis ini sabar sekali lo ya jadi mertua, kalau saya punya menantu seperti itu sudah saya suruh cerai anaknya!” kata seorang ibu-ibu di pojokkan.

“Bener Jeng, apalagi sampai menyiksa ibu mertuanya! Eh Mbak sampean mbok sadar diri, sudahlah numpang kelakuan masih begitu! Inget Mbak bagaimanapun juga Bu Nafis itu mertuamu! Dia orang tua yang harus di hargai!”

“IBU! APA YANG IBU KATAKAN PADA MEREKA!” teriak Dinda yang sudah habis kesabarannya.

BERSAMBUNG.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Rohmah
sabar ya dinda
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status