MENANTU ATAU MERTUA DAKJAL?
“Hey Mantu Dakjal kau ya! Berani membentak Ibu Mertuamu sendiri!” teriak Ibu- ibu berbaju kolaborasi macan dan jilbab zebra.“Lihatkan, kalian bisa lihat sendiri sekarang, aku tak mengada- ada ya memang begitulah Dinda menantuku ini, huhuhu” isak bu Nafis.Dinda begitu muak melihat kelakuan Ibu mertuanya.“Dinda, maafkan Ibu Nak! Maafkan Ibu,” ujar bu Nafis dengan acting menangis.“Bu! Hentikan! Mengapa Ibu bersandiwara?” tanya Dinda berjalan mendekat menuju ibu mertuanya.“Heh berhenti menantu Dakjal! Tak akan ku biarkan kau menyiksa anggota- ku! Sini lawan aku!” tantang ibu- ibu lain.“Apa yang sebenarnya Ibu katakana pada mereka? Mengapa mereka begitu membenciku padahal sama sekali aku tak mengenal mereka!” seru Dinda.“Heh Dakjal!” seru ibu- ibu baju macan.“Namaku Dinda! Dasar norak baju corak kebun binatang!” sanggah Dinda tak kalah lantang.“Namaku Ibu Ningsih bukan kebun binatang! Bagaimana kami tak membenci menantu modelan seperti dirimu! Menantu yang tak tahu diri, lihatlah sekarang hidup Bu Nafis susah pasti ulahmu kan?” serang Ningis.“Hah? Ulahku?” tanya Dinda keheranan.“Ya, bayangkan sekarang Ibu Ningsih harus berjualan nasi di Kantin Rumah Sakit untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, kau tahu tidak dulu Ibu Ningsih ini salah satu sosialita paling kaya di antara kami! Tetapi semenjak Hasan menikah denganmu dia malah blangsak, tak hanya anaknya saja yang blangsak Ibunya juga!” bentak Ningsih.‘Prok..prok…’ Dinda bertepuk tangan.“Wah hebat sekali ya Ibu Ningsih ini! Apakah anda teman dari Bu Ningsih Tinampi kok bisa menerawang kehidupan orang? Salah pula terawangannya! Ibu tahu dari mana saya yang membuat blangsak hidup Mas Hasan?” sanggah Dinda sambil berdiri menantang bu Ningsih.“Kau tak sadar pernikahanmu dengan Hasan itu pembawa sial? Hah? Kau pura- pura bodoh atau tak tahu?” ejek bu Ningsih.“Apa maksud njenengan (kamu)?” tanya Dinda sambil berusaha menahan emosinya.“Oh jelas kau tak akan tahu dan tak pernah sadar diri karena kau menantu Dakjal! Apa Bu Nafis tak pernah mengatakannya padamu? Musibah datang silih berganti semenjak kau menikah dengan Hasan,” hardik bu Ningsih.“Sudah Bu cukup, sudah!” lerai bu Nafis dengan suara lemah gemulai.“Biar saja Bu Nafis, biar menantu Dakjal- mu ini tahu bagaimana jeritan hati mertuanya, Bu Nafis ini terlalu sabar menghadapi tipe menantu tak tahu diri seperti dia!” sahut ibu- ibu lainnya.“Sudah Bu, sudah, saya takut Dinda akan mengadukan pada Hasan lalu anak saya akan memarahi saya juga nanti,” kata bu Nafis.Dinda menggelengkan kepalanya perlahan.“Drama apa yang sedang Ibu mainkan?” seloroh Dinda.“Ujaran kebencian apa yang Ibu katakan pada semua orang? Mengapa mereka semua mengaggap aku menantu Dakjal? Apakah aku se- Dakjal itu Bu?” sambung Dinda.“Tunggu, tunggu di sini semua,” pinta Dinda.Dia segera keluar menuju mobil. Mengambil kue black forest bertuliskan selamat ulang tahun Ibu dengan kado yang telah di persiapkannya. Tak main- main satu tas merk Gosh seharga satu juta delapan ratus dengan sepatu merk sama seharga satu juta rupiah. Tak lupa juga Dinda membawa serta struk pembayaran di department store tadi sebagai bukti. Agar mertuanya tak mengatakan barang KW atau palsu.“Apakah ini yang di namakan menantu Dakjal?” teriak Dinda lantang.“Ibu- ibu tahu kan brand ini? Tak mungkin ada yang palsu, ini sekalian struk nota belanja saya, bisa di lihat di sana saya menggelontorkan uang berapa! Siapa yang Dakjal sebenarnya? Saya atau Mertua?” sindir Dinda.Suara dengung saling bisik memenuhi ruang tamu rumah. Dinda segera pergi masuk ke kamarnya. Hatinya sakit sekali menerima perlakuan teman- teman geng mertuanya.Kesabaran manusia tentulah ada batasannya begitupun Dinda. Dia segera mengambil HP dan memencet nomer kontak terakhir kali di hubungi.“Hallo Assalamualaikum,”Siapakah yang di hubungi Dinda?BERSAMBUNGJangan lupa follow akun sosmedku untuk melihat visual mereka Ig secilia_hariono Fb Secilia Abigail Hariono Tiktok Secilia Abigail Hariono
"Waalaikumsalam Dek, tumben telpon jam segini ada apa?" tanya Hasan heran.Tak biasanya Dinda menelpon di jam kerja. Mengapa suara Dinda serak dan parau? Ah pastilah dia bertengkar lagi dengan ibunya. Hasan menarik nafas panjang."Kau kenapa Dek?" Hasan mengulangi pertanyaannya lagi."Huhuhu, Mas marilah kita pindah, apa aku saja yang ngekos jika Mas keberatan pindah! Dinda tak masalah kok Mas asal tak tinggal satu atap dengan ibu lagi, dulu aku juga terbiasa hidup sendiri di Kos," dengan terbata- bata Dinda menyampaikannya."Kenapa lagi dengan Ibu, Dek? Apa kau tadi sudah membelikan Ibu hadiah atau roti, bagaimana belanjamu?" Hasan masih terus mencoba mengalihkan pembicaraan Dinda."Mas, tolonglah Dinda, rasanya Dinda tak kuat lagi sekarang... huhuhu" isak tangis Dinda makin menjadi."Tunggulah," ujar Hasan mematikan telpon tanpa mengucapkan salam.Hasan segera mengambil kunci mobil dan bergegas pulang."Her aku izin keluar sebentar ya, jika ada yang mencariku katakan suruh tunggu sa
“Apa maksud ini semua Dek?” tanya Hasan sambil menyerahkan kertas bukti struk pembelanjaan. “Kau lebih peduli pada struk itu Mas dari pada keadaan Istrimu sendiri?” tatap Dinda setengah tak percaya mendapati suaminya melakukan hal ini. Dinda pikir Hasan datang akan menenangkannya. Sebelumnya Dinda begitu bangga saat Hasan membela dirinya di hadapan ibu- ibu geng mertua. Lagi dia ternyata terlalu berharap pada Hasan. “Bukan itu maksudku,” Hasan menoleh sekelilingnya. Semua mata ibu- ibu menuju ke arahnya dan Dinda. Tak baik rasanya jika menanyakan masalah keuangan saat ini. “Maafkan aku, mari kita keluar dan menyelesaikan semuanya Dek! Agar tak ada kesalapahaman lagi, tenanglah Mas akan berada di posisimu selama kau benar,” ucap Hasan menenangkan perasaan Dinda. Dinda mengangguk patuh. Dia keluar dengan mengandeng lengan suaminya. Bukan untuk memamerkan kemesraan tetapi mencari sumber kekuatan. “Baiklah Ibu- ibu mari kita duduk dulu,” perintah Hasan. Mereka semua duduk melingkar
"Oh, itu ini, em Mas uang Dinda," jawab Dinda dengan gugup dan terbata- bata."Iya Mas Hasan tahu Dek itu uangmu, tapi yang Mas Hasan pertanyaka dari mana Dinda mendapatkan uang itu?" tanya Hasan sekali lagi."Kan dari jatah bulanan yang Mas Hasan berikan selama ini," ujar Dinda."Dek, Mas bukanlah orang yang kaya sehingga mampu memberikanmu uang puluhan juta dalam satu bulan, Mas hanya bisa memberikanmu uang satu juta rupiah perbulan, kita menikah baru dua bulan itu artinya hanya dua juta rupiah, di tambah dua ratus ribu yang Mas berikan tadi pagi totalnya jadi dua juta dua ratus ribu rupiah, sedangkan nota belanjamu berapa Dek? Empat juta tujuh ratus ribu Dek," kata Hasan.Dia menghela nafas panjang."Dek Mas hanya ingin kejujuranmu," sambung Hasan."Jangan takut Mas, uang itu halal, selama ini Dinda bekerja, maafkan Dinda yang tak jujur pada Mas Hasan," jawab Dinda sambil menunduk."Kerja? Kau kerja apa Dek?" Hasan bingung selama ini Dinda selalu di rumah tak pernah keluar tanpa i
"Tenanglah aku pernah ada di posisimu, kita sama- sama menantu di keluarga ini," kata Eva.Dinda menatap iparnya dengan pandangan heran."Makan dengan lauk sisa, hanya Ifah dan suami yang makan lauk enak, selalu di katakan benalu, mandul, pemalas, benar bukan? Ibarat makan aku sudah terlalu kenyang mengalami hal itu," ucap Eva agar Dinda yakin."Stttt! Belum selesai ketika teman- teman gengnya berkumpul selalu menjadi mertua terbaik, memperlakukan menantu spesial, dan lagi kita adalah menantu durhaka! Hahaha," tawa Eva membahana.'Prok... Prok...' Dinda bertepuk tangan."Hebat banget Mbak Eva bisa tahu, apakah ini artinya kita akan jadi Bestie?" tanya Dinda."Tentu, aku lima tahun hidup dengan Ibu Nafis mertuamu itu," ucap Eva."Mbak tolong! Please, mertuaku itu juga mertuamu," sanggah Dinda."Hahahaha, kalau bisa kau ambil aja! Pengen ku tukar tambah mertua tapi anaknya baik, gimana dong?" Kata Eva sambil menutup bagasi mobil tua milik Hasan yang selama ini di pinjamnya."Sudah nanti
"Aku... Aku tak merasa mengatakan sesuatu Mas," jawab Dinda tergagap."Yakin? Jangan samapi penialaian Mas Zain terhadapmu berubah ya!" ancam Zain.Dinda mengangguk pelan. Untung Eva datang dari belakang sambil membawa ember air dan kain pel. Dia heran mengapa suaminya duduk berhadapan dengan Dinda. Dia yakin pasti ada sesuatu yang tak beres."Ada apa ini? Masih sore lo masak iya sudah mau mengadakan acara rapat musyawarah mufakat?" ledek Eva."Bukan begitu Mi, ini lo Ibu di kamar nangis- nangis bercerita jika Dinda mengoloknya dengan kata- kata yang tak pantas lah pokoknya di sebutkan," jawab Zain.Eva melanjutkan kegiatannya mengepel lantai. Sedangkan Dinda hanya mampu duduk terdiam memandang ke lantai bawah."Halah sampean (kamu) itu kayak ndak hapal sama kelakuan Ibumu to Bi, bukannya apa- apa kalau seperti ini Abi yang salah! Dinda ini baru dalam keluarga sini, wajar kalau salah! Tapi Abi tak berhak langsung menghakiminya layaknya tersangka begitu, bagaimanapun Abi harus mengharg
"Iya Bu!" teriak Dinda kencang dan berlari.Dinda tergopoh- gopoh berlari meninggalkan cucian piring kotornya yang belum selesai di cuci. Dia seger berlari ke arah suara itu."Ada apa Bu?" tanya Dinda.Tak lama Mbak Eva juga keluar dari kamar dengan menggunakan jilbab yang asal- asalan terkejut dengan teriakan Ibu mertuanya."Kau itu benar- benar ya Din! Bodoh ndak ketulungan! Mengapa kau tak sesekali menggunakan otakmu agar bermanfaat!" teriak bu Nafis.Dinda masih plonga- plongo, dia tak mengetahui apa kesalahan yang telah dia perbuat. Dia memandang sekeliling ruang tamu masih rapi."Lolak lolok (tampang bodoh) kau masih tak mengerti apa salahmu?" bentak bu Nafis.Dinda menggelengkan kepalanya."Bodoh!" hardik bu Nafis."Astagfirulloh Bu! Mbok Njenengan nyebut (kamu istigfar), ada Fikri cucu Ibu lo, kok bahasanya seperti itu, tak baik! Bagaimana kalau Fikri menirukan ucapan Ibu?" tegur Eva.Fikri yang berdiri di depan Uti (panggilan untuk nenek singkatan dari Eyang Putri) hanya diam
"Eh... Oh! Hay!" kata Eva tergagap."Mbak Eva kenal dia?" tanya Dinda.Eva mengedipkan matanya perlahan memberikan kode pada Dinda."Ini Fikri ya Mbak?" tanya wanita itu."Eh, iya!" jawab Eva."Sudah besar ya! Hallo adek Fikri ingat sama Tante ndak? Dulu saat kau kecil Tante sering lo mengajakmu main, gendong kamu, duh gembulnya sekarang," wanita itu mengajak Fikri berinteraksi."No no! No no!" jerit Fikri."Maaf Nan, anaknya tak mau! Dia sedang rewel karena mengantuk jadi jangan di paksa" tegur Eva."Oh iya Mbak, mungkin dia sudah lupa kalik ya Mbak, karena kita tak bertemu lama, oh iya Ibu mana? Kemarin Ibu mengundangku untuk makan malam di sini, katanya syukuran kecil- kecilan sekalian karena beliau ulang tahun," ujar wanita itu."Oh beliau di dalam kamar sepertinya! Masuk dulu," perintah Mbak Eva.Dinda hanya diam berdiri mematung, keberadaannya sepertinya tak di anggap dan terlupakan. Wanita itu masuk ke dalam rumah tanpa peduli dengan Dinda."Mbak, siapa sih dia?" tanya Dinda me
"Mbak apa maksud Nanda?" tanya Dinda.Eva memandang wajah Dinda. Dia menganggap Dinda sudah sebagai adiknya sendiri walaupun sebenarnya mereka hanya saudara ipar. Bukan tanpa alasan Eva bersikap demikian, pernah tinggal selama hampir lima tahun dengan bu Nafis membuatnya sadar bahwa Dinda membutuhkan dukungan untuk kesehatan mental dan psikisnya sama seperti dia dulu."Dek, duduklah sini dulu," ajak Eva.Dinda duduk di dekat Eva."Kau percaya pada Mbak?" tanya Eva sambil memegang tangan Dinda.Dinda menganggukkan kepalanya."Baik, terimakasih ya Dek atas kepercayaan yang telah kamu berikan! Insyaallah Mbak akan menjaga dan tak menyia- nyiakan hal itu! Ingatlah perkataan Mbak ini sekarang sampai kau mati, mengerti?" tanya Eva."Ketika kamu berumah tangga, tutup telingamu, tutup matamu! Jangan pernah mau percaya apapun yang di katakan orang lain siapapun itu kecuali suamimu! Jangan pernah mencari tahu apa yang sebenarnya ingin kau ketahui karena itu akan membuat kita kecewa dan sakit ha