KELUARGA BARU, PERUBAHAN BARU, AWAL LEMBARAN BARU DAN KEHIDUPAN BAHAGIA. "Sekarang Ibu tak perlu khawatir kesepian karena sudah memiliki Pak Hendi, begitupun dengan Pak Hendi sudah tak khawatir tidak ada apa-apa dengan putrinya. Karena rumahnya kan dekat. Insya Allah sebagai anak-anak dari Bu Nafis serta menantu, kami akan membantu sebisa mungkin," kata Mas Andri. "Terima kasih ya doanya, Le. Semoga memang ini membawa kebaikan untuk kita semua, pernikahan yang dilakukan di usia senja. Siapa yang menyangka jika kami akan berjodoh di usia setua ini, bahkan Nafis pun sudah memiliki cucu. Tapi memang pernikahan ini bukan pernikahan berdasarkan nafsu. Kami hanya ingin menghabiskan waktu tua bersama," ujar Pak Hendi. "Benar itu Pak Hendi, sekarang kau jangan memanggil Pak," kata Bu Nafis. "Lalu kami harus memanggil apa, Bu?" tanya Mbak Alif. "Apakah panggil Abah biar sama Seperti almarhum Abahmu?" pinta Bu Nafis. "Jangan Nafis! A
Rencana Dinda Untuk Menginap, Menghibur Anak Pak Hendi "Mbak Alif pun bahkan tidak sadar jika Safira dan Laras tidak ada di sana. Jika bukan kamu yang perhatian sampai sedetail itu, mungkin kedua anak itu akan kelaparan dan justru akan tambah membenci Ibu. Ambilah Dek, ambillah sepuasnya. Mbak sudah memasak kan lebih dari cukup jika hanya kau ambil untuk kedua anak itu," perintah Mbak Alif."Semoga ini awal yang baik," Dinda yang di balas anggukan Mbak Aif.Dinda pun menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Dia segera melanjutkan acara bungkus-bungkusnya, mengambilkan nasi dengan berbagai macam lauk dan berangkat ke rumah Pak Hendi, lewat belakang rumah untuk menuju ke sana. Terlihat pintu terkunci dengan rapat, DInda pun mengetuknya perlahan.'Tok tok tok'"Assalamualaikum," sapa Dinda."Assalamualaikum! Safira, Laras, Ini Mbak Dinda!" teriak Dinda dari luar."Waalaikum salam, iya Mbak," sahut suara seorang gadis dengan sahutan yang lirih.Dinda pun menghela napasnya, dia yakin seka
Kehidupan Lucu di Rumah Mertuaku"Apakah tadi ibu sudah kembali dari KUA, Mbak? Apakah mereka sudah sah menikah, Mbak?" tanya Safira."Sudah, Dek. Mereka sudah sah menikah. Taapi percayalah pada Mbak Dinda, bahwa meskipun mereka sudah menikah secara sah dalam agama dan negara, status Bu Nafis sekarang juga resmi menjadi Ibumu namun tak akan ada yang berubah. Mbak Dinda jamin itu," kata Dinda. Safira dan Laras menganggukkan kepalanya."Nah, sekarang mbak Dinda pulang dulu ya. Jangan lupa sholat magrib dan isya' nanti, kalian tidurlah dulu jika sudah mengantuk. Inysa' allah Mbak akan ke sini lagi. Namun, Mbak Dinda harus beres-beres dullu," jelas Dinda."Nanti kabari ya, Mbak," jawab Laras. Dinda menganggukkan kepalanya lalu pamit. Dinda berjalan perlahan sambil meninggalkan kedua anak itu di rumah di rumah Pak Hendi yang sepi. Dia bejalan pulang, jam hampir menunjukkan waktu ba'da ashar. Ternyata acara sudah berjalan cukup baik, bahkan acara sudah memasuki makan-makan."Loh, dari man
Batal Menginap Dan Ajakan Makan Malam Bersama"Sungguh lucu bukan kehidupan kita di rumah mertua ini?" ucapan dari Mbak Eva ini membuat Dinda langsung terdiam. Entah sampai kapan mereka akan hidup terus-terusan seperti ini. Dia hanya bisa berdoa sekarang agar tu pak Hendi bisa benar-benar membawa perubahan dalam keluarga sang suami. Pernikahan antara abu Nafis dan pak Hendi benar-benar merubah semuanya itulah harapan Mega dan Dinda sebagai seorang menantu yang tak pernah dianggap di keluarga mertua sendiri.Setelah sore acara selesai dan berlangsung di mana ada sesi khusus untuk foto-foto, tak ada foto Eva dan Dinda di antara banyak begitu banyaknya foto pernikahan Bu Nafis dan Pak Hendi. Bahkan yang membayari dan membiayai semua adalah Dinda, namun tak satupun foto wajah Dinda di album foto itu dan Dinda tidak mempermasalahkannya. Saat malam tiba, Dinda berpamitan kepada Hasan."Mas aku akan menginap di rumah Safira dan Laras untuk malam ini. Aku sudah berjanji tadi kepada mereka
Bu Nafis Yang Kembali Pagi Buta"Betul itu, Nduk. Papa ingin kita pergi mencari makan malam berempat. Yuk kita naik mobil," ajak Pak Hendi tiba-tiba menyahut dari belakang. Safira hanya tersenyum kecut."Nikmatilah, percaya sama Mbak Dinda semua akan berjalan dengan baik-baik saja, Safira. Kau sangat hebat, memang Bu Nafis saat ini statusnya adalah ibu tirimu tetapi kau tidak harus memperlakukannya seperti Ibu kandungmu. Perlakukan dia seperti orang tua yang pantas dihormati dan disayangi, itu saja. Jangan memaksa," Dinda berbisik."Iya Mbak," kata safira. Dinda pun tersenyum langsung berpamitan kepada pak Hendi juga Bu Nafis. "Pak Hendi, saya pulang dulu ya. Bu, aku pulang dulu," pamit Dinda. Mereka menganggukkan kepala, Dinda segera pulang dia tak sabar mengatakan apa yang terjadi hari ini kepada Hasan."Assalamualaikum," teriak Dinda masuk ke dalam ruangan. Hasan sudah ada di kamar."Waalaikumsalam, masuk, Dek," perintah Hasan. "Mbak Eva sama Mas Zain sudah tidur, Mas?" tanya Din
Bu Nafis dan Sisi Baiknya Yang Tersembunyi."Bu, Ibu sudah di sini?" tanya Dinda."Buta matamu?" jawab Bu Nafis dengan sewotnys.Dinda langsung mengelus dadanya mendengar jawaban sang ibu mertua yang terlalu menyakiti hatinya. Padahal menurutnya dia juga bertanya baik-baik, lihat Dinda terdiam justru membuat Bu Nafis tambah marah."Kau itu bagaimana? Mau rumah-rumah sendiri, jika seperti ini. Kamu belum bangun jika belum jam segini, lalu suamimu mau kau kasih makan apa? Setidaknya mbok ya sadar diri, kalau kau memang mau pisah rumah setidaknya kau harus bisa bangun lebih awal untuk menyiapkan semua keperluan Hasan. Apa kau tak tahu Hasan itu terbiasa sarapan sebelum ke kantor," omel bu Nafis.Semua ucapan Bu Nafis pagi hari ini yang sangat menyakitkan hatinya membuat Dinda hanya terdiam. Dia segera membantu apa yang bisa dia lakukan. Dinda pun iseng dia melihat ke arah ibunya."Bagaimana acara makan malam semalam, BU?" tanya Dinda membuka percakapan."Biasa saja."'Apakah Laras dan
PURA-PURA MISKIN DI DEPAN MERTUA "Duduklah, Pak. Itu makanannya sudah aku siapkan di meja kau juga harus makan sebelum berangkat bekerja lagi. Pagi hari itu semua perut harus diisi Jangan dibiarkan kosong nanti akan mudah kena masuk angin," perintah Bu Nafis. Sepanjang mereka sarapan pagi ini ditemani oleh celotehan Bu Nafis. Bahkan Bu Nafis membuatkan bekal sekolah untuk Safira dan bekal kuliah untuk Laras. Hal yang tak diduga oleh kedua anak pak Hendi, karena dia seringkali mendengar Bu Nafis marah-marah kepada Ifah maupun kepada Dinda. Tapi ternyata di balik sisi jahatnya terdapat sisi baiknya juga. Anak-anak Pak Hendi berangkat sekolah terlebih dahulu sedangkan pak Hendi berangkat bekerja siang hari karena dia hanya menemui beberapa orang saja hari ini. "Nanti jangan lupa dimakan bekalnya ya," perintah Bu Nafis. "Ya Bu Nafis," sahut Laras dan Safira bersamaan. Mereka lebih memilih memanggil Bu Nafi
BU NAFIS SYOK! MENANTUKU KAYA RAYA? APA IYA?"Hahaha! Kaya raya? Kaya raya dari mana? Sampeyan itu kok mengada-ngada sekali," sahut Bu Nafis."Kau benar-benar tidak tahu rupanya, Nafis," ujar Pak Hendi."Kenapa sih, Mas? Ada apa?" tanya Bu Nafis keheranan mendengar suaminya berkata seperti itu. Pak Hendi menghela nafas panjang."Kau salah menilai selama ini, Nafis. Dinda yang terlalu pintar menyembunyikan semuanya, entah kau yang terlalu polos tak tahu apa yang sebenarnya terjadi," gumam Pak Hendi."Sebenarnya ada apa toh, Mas? Aku ini bingung sekali lho dengan ucapanmu itu," sahutnya."Nafis kau itu selama ini salah menilai Dinda rupanya. Kau tak tahu dan tak mengenal menantumu sendiri. Dinda itu bukan berasal dari keluarga yang tidak punya, dia adalah orang yang cukup berada dan cukup terpandang di kotanya sana," jelas Pak Hendi bersungguh-sungguh."Dari mana sampean tahu? Kau kan tidak mengikuti mereka, Mas. Wong asals ampean tahu saja pas pernikahan itu sederhana sekali. Sampai-sa