Akhirnya SIM-ku keluar juga, aku kini pergi sekolah naik motor, tak lagi menyusahkan ayah atau sopir yang disediakan pemerintah. Naik motor juga lebih leluasa, lebih bebas, bisa singgah sesuka hati di penjual jajanan. Hari itu aku lagi mencuci motor di depan rumah, tiba-tiba HP-ku bunyi, ada panggilan video dari Bang Ucok."Tet, lagi ngapain kau, motor siapa itu?" tanya Bang Ucok begitu panggilan video tersambung."Lagi nyuci motor, ini motorku," jawabku."Motormu? di rumah ada dua motor, beli lagi kau?" tanya Bang Ucok."Ini motor hadiah," "Hadiah apa?""Hadiah ulang tahun,""Ya, ampun, Butet, sejak kapan kita rayakan ulang tahun?" tanya Bang Ucok. Wajahnya tampak kesal."Yang rayakan ulang tahun siapa?""Kan, ada hadiah karena ada perayaan, kok gak logis kau sekarang?""Yang ini beda, ada hadiah tak ada perayaan," jawabku."Ah, makin aneh saja kau, mana mamak?" tanya Bang Ucok lagi."Di kantor,""Ayah?""Itu," kataku seraya berlari menemui ayah yang lagi sibuk berkebun."Cok, apa
Nampak di layar HP lawan Bang Ucok juga sudah naik ring. Badannya kekar, jauh lebih kekar dari Bang Ucok, aku jadi takut sendiri.Saat pembawa acara menyebut nama Pahlevi Siregar, para pekerja ayah justru bersorak."Uucok, Uucok," kata mereka seraya mengacungkan kepalan tangan. Sedangkan Ayah tampak tegang menonton pertandingan tersebut.Pertarungan dimulai, Bang Ucok bergaya bagaikan pesilat. Tidak seperti pegulat di TV pada umumnya, Bang Ucok justru ambil kuda-kuda pencak silat. Saat kami kecil, ayah memeng pernah mengajarkan olahraga beladiri silat. Belum apa-apa, Bang Ucok sudah kena pukul, kulihat ayah sampai menegang dadanya, sedangkan para pekerja kami seperti layaknya menonton di arena saja, berteriak-teriak memberikan semangat, akan tetapi Bang Ucok terus saja terdesak, entah sudah berapa kali pukulan dan tendangan mengarah ke wajah dan perut Bang Ucok, sedangkan dia belum pernah memukul sekali pun. Aku mulai khawatir ketika pelipis kiri Bang Ucok berdarah. Ayah sudah tak s
PoV UcokSecara tak sengaja aku menonton video yang lewat di beranda FB, dalam video tersebut seorang petarung pulang ke negaranya disambut ribuan orang, dielu-elukan karena baru saja dinobatkan sebagai juara dunia. Entah kenapa aku ingin seperti itu. Selama ini aku tidak pernah punya cita-cita, untuk pertama kali aku punya cita-cita. Ingin jadi juara dunia. Saat keinginan itu kuutarakan pada Pak Ali Akhir, beliau sangat mendukung, aku langsung dibawa ke sebuah sasana. Seorang pelatih langsung ditugaskan melatihku.Aku juga ingin memperkenalkan beladiri khas Indonesia, yaitu pencak silat, jika Jepang' punya karete, China punya kungfu, Brazil punyaku jujitsu yang sudah mendunia. Aku ingin pencak silat mendunia.Aku hanya dilatih menerima pukulan, dilatih bertahan, hanya itu, karena aku punya pukulan mematikan. Tak sampai tiga bulan berlatih, aku mendapatkan pertarungan pertamaku. Masih pertarungan lokal, lawannya memang sudah petarung profesional, akan tetapi belum punya peringkat.
Rasakan sendiri? itu pesan yang mamak bilang lewat Butet, apakah memang aku sejahat itu? Padahal saat seperti ini aku butuh dukungan keluarga. Aku terpuruk. Tidak bisa kuliah, tidak bisa pulang, aku terus di rumah sakit. Hanya Karen yang selalu setia menemaniku.Hari itu pelatihku dan Pak Ali Akhir datang berkunjung ke rumah sakit."Setidaknya kamu berhasil menang, Cok, kamu memang cedera, tapi lawanmu juga cedera, sampai sekarang masih di rumah sakit' karena geger otak." kata pelatih tersebut."Gak usah khawatir, Cok, kami akan membiayai segala perobatanmu sampai sembuh," kata Pak Ali Akhir."Bukan masalah biaya, Pak, kata dokter aku akan pincang selamanya, tak bisa bertarung lagi," kataku kemudian.*Tidak benar itu, Cok, pengobatan sekarang sudah canggih, kamu masih bisa jalan, bahkan masih bisa bertarung lagi, paling lama delapan belas bulan, kamu sudah siap bertarung lagi, ingat itu, Cok, kamu menang, tinggal beberapa pertandingan lagi, kami akan bertarung di one pride, tampilan
PoV Butet Saat mamak sudah pasrah dengan apa yang terjadi sama Bang Ucok. Aku justru jadi khawatir. Seperti saat itu Bang Sandy datang lagi ke rumah. "Ucok mau bertarung lagi, lawannya orang Thailand," kata Bang Sandy begitu sampai di rumah, dia pun membuka laptopnya. Kamu menonton beramai-ramai. Mata Mamak tampak berkaca-kaca, ayah tampak gelisah. Pertarungan yang singkat saja, tak sampai satu menit sudah berakhir, tendangan kaki lawan Bang Ucok mendarat di betis Bang Ucok, bersamaan dengan pukulan Bang Ucok mendarat di rahang orang Thailand tersebut, keduanya terkapar. Bang Ucok tampak coba berdiri akan tetapi kaknya ternyata patah. Bang Ucok tetap menang karena lawannya pingsan. Mamak menjerit histeris melihat laki Bang Ucok. "Ya, Allah, anakku," kata Mamak. "Hubungi Torkis, Tet, pesan tiket, Ayah mau ke Jakarta besok," kata Ayah. "Jangan, Bang, ini saatnya kita harus memberikan pelajaran pada Ucok, biar dia urus masalahnya sendiri," kata Mamak. "Dek, kakinya patah itu,"
Kebiasaanku yang bicara' keras dan cenderung kasar' keluar, aku sampai lupa lawan bicaraku adalah Kapolres yang sangat dihormati dan sangat menghormati Ayah. Aku heran juga apakah Pak Ali Akhir pernah bicara' dengan ayah masalah Bang Ucok ini?"Butet, kamu belum mengerti, ini masalah laki-laki. Saya bukan melaga orang ya, saya hanya membantu abangmu meraihnya mimpinya," kata Pak Ali Akhir."Itu bukan membantu, Pak, tapi memperalat Abangku demi hobby bapak," kataku kemudian."Tidak seperti itu, Butet, Abangmu datang padaku, katanya dia ingin jadi petarung, aku hanya membantunya, seperti ayahmu membantu banyak orang," kata Polisi tersebut."Ayahku pasti tidak setuju," kataku lagi."Butet, aku tidak mungkin gegabah, sebelumnya ayahmu sudah menyerahkan Ucok padaku, Aku yang jadi orang tuanya di sini," kata Pak Ali Akhir.Kedua orang itu akhirnya pulang, Bang Ucok seperti orang lugu saja, diam saja dari tadi, padahal dulu Bang Ucok orang yang sangat kritis, jika berdebat argumennya selalu
PoV UcokPengobatan Ustadz Rizal dan ayahnya benar-benar ampuh. Kata dokter aku kemungkinan besar pincang seumur hidup, akan tetapi di tangan Ustadz tersebut, aku bisa sembuh. Jalanku sudah normal, akan tetapi masih sering terasa sakit' jika naik tangga. Di depan ustadz Rizal, aku merasa diri bukan apa-apa, perkataannya sering menohok, sebelas dua belas dengan Butet. Dua orang ini yang seringkali membuat aku tak bisa berargumen. Sedangkan ayah dan Mamak sendiri masih bisa aku adu argumen, akan tetapi dengan Butet dan ustadz ini aku merasa tak ada apa-apanya.Butet mau kuliah di sini, aku justru merasa makiin seperti adiknya, Karena alasannya kuliah di sini untuk menjagaku. Itu yang membuat aku merasa makin tertampar. Sedangkan aku dulu memilih kuliah di sini karena Salsabila. Tiba-tiba aku teringat Salsabila, orang yang banyak mengubah hidupku. Mengubah perjalanan hidupku. Dulu, aku digadang-gadang kuliah di mesir, lalu jadi pengurusan pesantren. Akan tetapi Salsabila bisa mengubahn
PoV ButetAku bimbang ke mana melanjutkan study, di ibukota kabupaten, aku sudah diterima, tanpa testing, lewat jalur SNMPTN. Akan tetapi aku justru merasa lolos karena aku anak wakil bupati. Dan perguruan tinggi di ibukota kabupaten kami itu baru satu-satunya perguruan tinggi negeri, yang tentu saja kalah jauh dengan perguruan tinggi negeri di kota besar. Sedangkan Mamak justru menyuruhku kuliah di Jakarta saja, daftar di universitas swasta. Kata mamak hanya aku yang bisa menjinakkan Bang Ucok. Dua Minggu di Jakarta aku belum juga mendaftar. Dan kulihat Bang Ucok justru sudah banyak perubahan. Bang Ucok juga banyak membantu orang, seperti ciri khasnya keluarga kami, hanya saja Bang Ucok selalu ingin jadi orang yang paling hebat. Sehingga seringkali salah jalan."Butet, bagaimana?" tanya mamak lewat telepon. Saat itu Bang Ucok lagi pergi kuliah, aku sendirian di rumah Bang Ucok."Belum daftar, Mak," "Lo, kenapa?""Kalau aku kuliah di sini, siapa yang jaga mamak, ayah, Cantik?" kat