Kabar duka atas meninggalnya Pak Hamzah sudah diberitakan Arya pada Pak Amir, tangan kanan Papanya. Saat sampai di rumah, kondisi sudah ramai orang yang menanti jenazah Pak Hamzah dan keluarga dari rumah sakit.
Begitu Arya dan keluarga sampai di rumah, Pak Amir segera menghampiri Mama Nur didampingi oleh Pak RT setempat. Menanyakan kembali kebenaran berita yang beredar, dan mengucapkan turut bela sungkawa. Arya menemui Bapak-bapak tersebut di teras rumah, sedangkan keluarga yang lain masuk dan merapikan rumah untuk menerima para pelayat.
Dibantu oleh karyawan Pak Hamzah yang lain, ruang tamu, ruang tengah telah digelari karpet untuk duduk. Para tamu diminta untuk masuk. Pak RT dan Pak Amir menemui Mama Nur dan keluarga di dalam.
“Kami turut berduka cita, Bu. Kami dengar Pak Hamzah sakit. Rencananya baru nanti sore kami bermaksud menjenguk beliau. Tapi ternyata belum sempat menjenguk, malah jadi melaya
Mama Nur masih duduk menyambut para tamu yang datang. Mbah Mur yang terlihat lelah dipersilakan untuk istirahat di kamar tamu yang ada di bawah. Mama Nur seolah tidak merasa lelah. Datangnya para tamu yang menceritakan kebaikan Pak Hamzah menjadi penghibur tersendiri baginya. “Ibu, saya sekeluarga berterima kasih sekali. Jika saja Pak Hamzah tidak membantu suami saya waktu itu dengan memberikan pekerjaan sebagai tukang angkut dan kirim di toko bangunan njenengan pasti anak saya sudah putus sekolah.” Seorang ibu menceritakan kebaikan Pak Hamzah di masa lalu pada Mama Nur. Mama Nur hanya tersenyum dan mengangguk-angguk menanggapinya. “Tidak sekali dua kali Pak Hamzah melebihkan upah suami saya. Dengan uang itu alhamdulillah kebutuhan sekolah anak kami terpenuhi,” lanjut ibu itu. “Pak Hamzah, juga sudah membantu keluarga kami dengan selalu membeli habis dagangan makanan kami jika sampai jam 10 pagi saya masih mangkal di depan toko beliau. Saya cuman dagang nasi pecel,” seorang ibu den
Nadhira menenangkan dirinya. Mengusap hingga kering matanya yang merah. Di ruang depan masih banyak tamu yang duduk-duduk ditemani keluarga yang laki-laki. Nadhira diam-diam menatap ke arah pintu luar. Dia melihat sosok Hanif yang sedang berbincang dengan tamu.Tiba-tiba Nadhira teringat bahwa dirinya dan Hanif sudah menikah secara agama. Bukankah itu artinya mereka kini telah menjadi suami istri. Apakah itu artinya nanti malam dia akan tidur bersama Hanif? Nadhira menggelengkan kepalanya dengan kuat. Mencoba mengusir pikiran buruknya.Angan Nadhira berkelana. Ia merasa belum siap jika harus melayani Hanif sebagai istri. Meskipun itu sudah menjadi kewajibannya, dan Hanif berhak memintanya. Ditambah lagi duka masih bergelayut di dalam hatinya. Nadhira masih terbayang sosok Papanya saat melihat ke setiap sudut rumah.‘Papa selalu menonton TV selepas shalat isya. Duduk di sofa ruang tengah ditemani mama yang bersender mesra di bahu Papa, aku dan kak Arya akan duduk di bawah bersandar pad
Hanif terjaga sejak sampai lewat tengah malam. Lama mendengarkan perbincangan para Bapak dan kakak iparnya lama-lama membuat Hanif mengantuk. Merasa lelah, Hanif berpamitan untuk masuk ke dalam rumah pada Kakak iparnya dan beberapa orang lain yang masih betah berbincang meskipun jam sudah menunjukkan hampir jam 2 dini hari. Tradisi melekan (terjaga sepanjang malam) memang masih ada di daerah ini. Pakde Agus sudah biasa melakukan hal ini di desa. Biasanya jika ada acara nikahan atau kematian, hampir bisa dipastikan Pakde Agus akan menemi pemilik hajat untuk melekan. Tirakat beliau menyebutnya. Tak jarang Pakde Agus bersendiri saja jika yang punya hajat tidak kuat menahan kantuk. “Orang jaman sekarang itu salah kaprah. Melekan itu harusnya diisi dengan doa dan dzikir. Meski tidak dilakukan terang-terangan, namun batin kita ini selalu menyebut asma-Nya. Tirakat melekan itu sejatinya untuk mendekatkan diri kita pada Yang Maha Esa. Tidak seperti jaman sekarang, melekan diisi dengan main
Hanif hanya bisa diam terpaku di depan kamar Nadhira saat Halimah, kakak iparnya dulu, menegurnya karena keluar dari kamar Nadhira. “Oh, anu.., Mbak. Itu..,” entah mengapa Hanif jadi gugup. Hanif berusaha mengatur napasnya sebentar sebelum menjelaskan duduk persoalannya. Namun belum sempat Hanif membuka mulut, Halimah sudah memotongnya. “Nif! Ditanya kok diam aja. Aku itu tanya kok kamu keluar dari kamar Nadhira jam segini?” bisikan Halimah itu terdengar menekan dan menuntut jawaban. “Maaf, Mbak. Apa Mbak belum dikasih tahu ibu sama Mbak Nur?” Ceklek! Pintu kamar Nadhira terbuka. Nadhira heran kenapa Hanif dan Halimah ada di depan kamarnya dan berbisik-bisik tidak jelas. “Ada apa ini, Bude?” tanya Nadhira sambil menatap bergantian ke arah Hanif dan Halimah. “Nad, kamu nggak apa-apa kan? Nggak diapa-apain?” tanya Halimah sambil meraba pundak dan tangan Nadhira. Lalu menatap tajam ke arah Hanif. “Maaf saya turun dulu. Mau ke masjid,” ucap Hanif buru-buru. Setelah pamit dengan s
“Kenapa kata-kata Mbak Halimah seolah menyudutkan Hanif dan Nadhira?” tuding Nur, kalap.“Sabar, Nur. Bukan begitu maksudku,” Halimah merasa kelabakan karena kedapatan mnggunjingkan Nadhira dan Hanif.“Mbak, nggak perlu membuat asumsi-asumsi yang menyudutkan seperti itu. kalau mbak penasaran, kan bisa tanya langsung sama saya. Kenapa harus bergunjing seperti ini?” keluh Nur.Halimah menggandeng lengan Nur ke arah dalam, karena merasa tidak enak dengan para pekerja Nur yang sedang menyiapkan makanan di dapur.“Maaf, Nur. Aku tidak bermaksud bergunjing. Kami juga mau mengatakan hal itu pada Ibu, tapi ibu masih belum selesai mengaji. Apa kam tahu, Hanif tadi malam ke kamar Nadhira? Apa kamu tidak curiga anak kamu diapa-apakan sama Hanif?”“Mbak, jangan menuduh yang bukan-bukan. Hanif itu laki-laki baik. Saya dan mas Hamzah punya hutang budi yang besar pada Hanif,” raut tidak suka tampak jelas di wajah Nur.“Apa maksud kamu Nur? kenapa kamu jadi punya hutang budi sama Hanif?” tanya Halima
“NADHIRA! Masih berani kamu berteriak pada Mama setelah semua yang kamu perbuat?! Apa kamu sadar keluarga kita ini hancur gara-gara kamu!” Arya dengan mata merah ikut menyalahkan Nadhira atas kehilangan yang mereka rasakan.“Kak, Nadhira tidak mau ikut Lik Hanif. Lebih baik Nadhira di sini saja. Nadhira malu, Kak,” jawab Nadhira dengan air mata yang masih mengair deras. Ditatapnya kakaknya dengan wajah memelas.“Kenapa baru sekarang malunya?! Saat kamu berbuat apa tidak terpikirkan akibatnya akan seperti ini, hah?!” dipegangnya tangan adiknya dengan kasar dan dihempaskannya.“Sakit, kak,” pekik Nadhira sambil memegang tangannya yang sakit.“Udahlah Nad, lebih baik kamu naik aja sekarang. Bereskan barang-barang kamu. Sebentar lagi Lik Hanif datang buat jemput kamu.” Arya mengakhiri pembicaraan meski masih dengan muka masam.Kesal, Nadhira segera beranjak dari duduknya dan pergi dari hadapan mama dan kakaknya yang masih tidak sudi melihat wajahnya.BRAAKKKDalam keadaan marah Nadhira me
Nadhira dan Hanif meninggalkan rumah dan berjalan menuju jalan besar. Beberapa tetangga menyapa mereka, tapi Nadhira memilih menghindar. Di jalan besar Hanif menghentikan taksi yang lewan dan meminta diantar ke terminal kota.Perjalanan yang lumayan panjang hari itu Hanif jalani. Lelah perjalanan berangkat belum juga hilang. Namun dia harus melakukan perjalanan kembali bersama Nadhira. Di dalam taksi itu Nadhira hanya termenung menatap ke luar jendela.“Nad, nanti di terminal mampir mushola dulu ya, Mas belum sempat sholat dhuhur tadi,” pelan Hanif mengajak bicara Nadhira.Nadhira menengok ke arah Hanif.‘Mas? Ah, iya Lik Hanif saat ini adalah suamiku. Sudah sewajarnya aku memanggilnya Mas,’ batin Nadhira.“Iya. Maaf yaa, Lik.. eh, Mas. Tadi belum sempat istirahat malah langsung pergi lagi,” kata Nadhira.“Nggak apa-apa, nanti istirahatnya bisa di rumah. Kamu juga belum makan kan? Mau mampir dulu ke rumah makan kah?” tanya Hanif.“Makan di terminal aja nggak apa, Li.. eh, Mas,” jawab
“Iya, anak kita. Janin dalam kandunganmu itu anak kita. Kan kita sudah menikah. Meski kita belum punya buku nikah. Nanti secepatnya aku urus. Mas ingin kamu tenang, karena kita nikah sah secara agama dan negara,” kata Hanif dengan tersenyum.“Lik, apa Lik sudah yakin mau terima anak ini?” ragu Nadhira.“Kok masih ‘Lik’ manggilnya. Waktu itu kan sudah sepakat mau manggil ‘Mas’,” Hanif mengalihkan pembicaraan.“Eh, iya Lik, eh, Mas.” Nadhira tersenyum.“Nah gitu dong, kan jadi cantik istrinya Mas. Mau makan dulu sebelum pulang?” tanya Hanif sambi tersenyum.“Mas, jawab dulu pertanyaanku tadi,” cegah Nadhir saat Hanif akan beranjak dari duduknya.“Nad, Mas sudah janji sama papa kamu bahwa Mas akan jaga kamu dan anak dalam kandungan kamu. Kamu sudah Mas nikahi di depan papa, Mama dan keluarga besar kita. Jadi tentu saja, anak itu akan jadi anak kita. Yuk sekarang kita makan dulu,”Ada perasaan lega bercampur gelisah di dalam hati Nadhira. Namun untuk saat ini ia memilih untuk percaya dan