"Pulang jam berapa nanti?" tanya Angel sambil menggigit roti yang ada di tangannya. Sementara Bram yang sedang meneguk secangkir kopi hanya menjawab datar. "Belum tahu. Hari ini kamu mau ke mana? Arisan lagi?"
"Iya. Biasalah perempuan.""Jangan menghambur-hamburkan uang. Kamu tahu kan kita banyak hutang? Perusahaan keuangannya belum stabil."Kita? Itu kan kamu yang hutang! Bukan aku! Aku tidak ada urusannya dengan hutang perusahaanmu yang hampir bangkrut!" Jawab Angel kesal. Sejak ketemu Kenanga bulan lalu, Angel menganggap bahwa Bram tiba-tiba menjadi pelit dan perhitungan. Padahal, sebelumnya ia sangat loyal. Apapun permintaan Angel pasti dituruti. Tapi sekarang? Sering sekali mengoceh dan memintanya untuk berhemat! Padahal, bukan Kenanga penyebabnya melainkan jatuh tempo pembayaran hutang pada perusahaan Saga semakin dekat tapi Bram belum juga menemukan titik cerah dalam menghadapi utang piutang. Kerjasamanya dengan perusahaan lain pun tak b"Ini buat adik-adikmu, Ra." Kenanga menyerahkan beberapa plastik berisikan ayam goreng. Meskipun usia Kenanga terpaut jauh dengan Rara dan Ajeng, mereka teman yang cukup mengasikkan. Rara si pintar yang sedikit pemalu dan Ajeng si cerdas dan selalu terlihat ceria."Makasih, Kak. Kak Nanga sudah terlalu baik sama Rara.""Itu karena kamu anak baik!" Kenanga mengusap lembut kepala Rara seolah-olah dia adalah adik perempuannya. Wajar jika Kenanga seperti itu karena dia adalah anak satu-satunya di keluarganya."Makasih, Kak." Rara tersenyum lembut lalu menoleh ke arah pintu restoran untuk melihat Ajeng sudah kembali dari toilet atau belum. Hampir sepuluh menit gadis itu ke kamar kecil sampai sekarang tidak juga kembali."Kakak nyusul Ajeng dulu ya ke kamar mandi. Kamu tunggu di sini."Rara mengangguk mantab dan Kenanga berjalan dengan cepat sambil sesekali melihat jam di tangan kirinya. Sudah pukul satu, Arga pasti sudah sa
Kenanga melenguh panjang begitu merasakan ada setitik cahaya mentari pagi menyusup ke kamarnya."Good morning, Honey," sapa Saga mengelus pipi Kenanga yang kemerahan. Pria itu bangun terlebih dahulu dan menyandarkan diri smbil membaca laporan yang ada di tangannya."Hmmm? Jam berapa sekarang?""Jam 7. Kau lapar?""What?" Kenanga yang kaget langsung beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu tanpa menyadari bahwa tak ada sehelai benang pun yang menempel di tubuhnya. "Aku harus menyiapkan sarapan untuk Arga!""Dengan tubuh telanjang begitu?" Saga terkekeh melihat tingkah konyol suaminya. Dia pasti sudah sangat kelelahan hingga tak sadar bahwa Kenanga tak memakai baju."Ya Tuhan!" Kenanga menepuk jidatnya dan buru-buru membuka lemari pakaian."Arga sudah berangkat. Pak Man membuatkan sarapan dan bekal makan siang untuknya."Kenanga yang baru saja akan memakai celana dal
"Ajeng ikut ya, Ma!" sela Ajeng ketika meliha Dewi, Yunita dan Halima bersiap menggerebek suami mereka di sebuah hotel bintang lima yang ada di pusat ibukota. Ajeng ingin sekali mengabadikan pemandangan itu dan mengirimkannya kepada Kenanga sebagai hadiah atas kebaikannya selama ini."Anak kecil gak usah ikut-ikutan! Di rumah saja belajar!""Tapi ini hari Minggu, Ma! Ajeng bosen belajar terus!""Kalau bosan ajak main adikmu!" balas Dewi melihat ke anak-anak Halima yang masih balita karena setiap setahun sekali dia pasti melahirkan. Untung saja kekayaan Santoso masih cukup untuk menghidupi keluarga mereka sampai sepuluh turunan. Meskipun begitu, tetap Dewi tak rela harta anak cucunya digunakan oleh perempuan sundal!"Kan udah ada baby sitter, Ma. Ya, Ma ... Ajeng boleh ikut, ya."Semelas apapun Ajeng berakting, Dewi tetap bersikeras tidak membolehkan anak bungsunya ikut. Bukan konsumsi anak kecil! Lahir di keluarg
Dua Minggu kemudian setelah kejadian di hotel ....Bram yang sedang mondar-mandir di rumahnya merasa tertekan dan stress karena semua kerjasama bisnisnya tak ada yang berjalan lancar. Dia bahkan tertipu sahabatnya sendiri dan melarikan sisa-sisa uangnya yang dipinjam dari perusahaan Sagara. Kepalanya seolah-olah mau pecah menjadi kepingan-kepingan. Belum lagi istrinya, Angel yang sudah dua Minggu tidak pulang. Katanya, ada arisan bersama teman-temannya di Bali dan mengharuskan mereka menginap di sana."Bikinkan saya kopi, Bi!" teriak Bram kepada pembantu yang baru dipekerjakannya. Tak mungkin kan laki-laki yang sudah sibuk seharian di kantor harus membereskan rumah yang berantakan?"Oya, Pak. Tadi ada yang ngirimin surat," kata Bibi meletakkan kopi di depan Bram."Surat? Ini kan hari Minggu. Dari tukang pos?""Bukan, Pak. Kurir biasa.""Di mana suratnya, Bi?""Saya taruh di meja
Tadinya Angel sama sekali tak curiga ketika Bram mengajak ke acara pesta ulangtahun perusahaan PT. Emas Prakoso. Dia telah berdandan semaksimal mungkin dengan dress warna hitam dengan dada yang terbuka dan belahan gaun yang sampai ke paha. Semua mata tertuju padanya dan decak kagum diantara direktir-direktut berperut gendut yang ada di ballroom tak mungkin bisa didustakan. Tapi siapa sangka di sanalah Bram menjual Angel, istrinya sendiri kepada pemilik PT. Emas Prakoso yaitu Imam Prakoso? Kini Angel tahu apa yang dimaksud kata-kata suaminya tempo hari. "Dan kau akan membantuku mendapat uang dari investor-investor itu.""Sialan kamu, Bram! Aku tidak mengira kamu akan menjualku pada tua bangka ini!" umpat Angel yang melihat Imam Prakoso, pria berusia enam puluhan mulai melucuti pakaiannya. Perutnya buncit, bulu-bulu kemaluannya sudah memutih dan kulitnya mengendur. Benar-benar lalaki tua yang bau tanah!"Malam ini kau milikku, Sayang! Suamimu telah mengambil
"Berteriklah, Sayang. Aku sangat menyukai teriakanmu," bisiknya tepat di telinga Kenanga. Terdengar mesra, suaranya yang macho membuat perempuan manapun yang mendengarnya pasti merinding. Suara yang jantan!Kenanga yang jantungnya hampir copot mengenali betul suara siapa itu. Suara yang sering bilang cinta padanya, suara yang memanjakannya, menenangkannya saat kecemasan melanda. Ia berbalik dan langsung meninju perut suaminya. Saga mengaduh pura-pura kesakitan."Ya, Tuhan! Aku hampir saja mati kena serangan jantung!"Lelaki itu menempelkan jari telunjuk di atas bibir Nanga yang dipoles lipstick berwarna peach. "Jangan bicara tentang kematian, Nga. Aku ingin hidup bersamamu sampai seribu tahun lagi.""Memangnya aku vampir?""Kalau kau vampir aku manusia serigalanya.""Kenapa kamu ada di sini? Tidak makan siang?"Saga melingkarkan tangan di pinggul Kenanga dan menghapus jarak diantara mereka. "M
"Ini semua salahmu karena tidak becus ngurus perusahaan!" gerutu Angel menyeret koper miliknya karena rumahnya sudah disita pihak bank. Semua aset milik Bram ludes tak tersisa. Bahkan, barang-barang brand Angel ikut disita. Dan kini mereka hanya lontang Lantung di jalanan."Bagaimana kalau kita tinggal di rumah orangtuamu?" tanya Bram yang mulutnya sudah seperti cerobong kereta api. Asapnya tak pernah berhenti."Kamu kan tahu hubunganku dengan mama papa tidak baik. Yang ada mereka justru akan mencibirku!""Itu salahmu sendiri karena tidak pernah mendatangi mereka!"Tanpa Bram bilang begitu tentu saja tahu Angel itu salahnya. Setiap kali keluarganya butuh bantuan Angel selalu menolak dengan berbagai macam alasan."Bagaimana dengan saudara-saudaramu?"Bram tak menjawab. Semua harta warisan telah dibagi dan telah mendapatkan jatahnya masing-masing. Saat perusahaannya pailit Bram sudah
"Pak, sudah saatnya pergi untuk makan siang," ucap Juned ketika selesai membacakan jadwal untuk bosnya hari ini. Tentu saja Saga tahu jam berapa karena sejak tadi ia selalu memandangi jam yang bertengger dengan gagah di lengannya."Hanya makan siang dengan pak Abas, kan?""Ya. Sekaligus membicarakan kerjasama untuk proyek kita selanjutnya, Pak."Pria yang hari ini sengaja tidak mencukur bulu-bulu halus di wajahnya itu mendesah panjang sambil mengendorkan dasi yang sejak pagi mengikat lehernya dan membuat pengap. "Batalkan saja acara makan siangnya. Bilang kalau aku ada urusan mendadak.""Tapi ini proyek penting, Pak."Saga mendesah lagi dan menatap Juned tanpa berkata apa-apa lalu berdiri dan berjalan ke luar ruangan."Tunggu saya, Pak!" teriak Juned tahu akan ke mana tujuan bosnya itu.***"Nga, suami kamu orang mana? Kenalin dong ke kita-kita. Jangan diumpetin!" tanya Heni