Share

Bab 3 Terima Kasih Orang Baik

"Ada apa, Nak?" tanyanya dengan muka bingung. 

"Maaf, Bu kalau kedatangan saya mengganggu, saya hanya mau menawarkan diri, siapa atau ada lowongan pekerjaan di rumah ini, saya siap mengerjakannya, Bu. Apapun itu. Saya butuh uang, Bu," ucapku dengan muka penuh harap. 

Wanita itu terdiam sejenak sambil menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Entah apa yang dipikirkan wanita itu tentang diriku. 

"Ada, Nak. Kebetulan Ibu butuh tukang cuci baju, pinggang Ibu sudah gak kuat nih. Jadi, kalau kamu mau, ayo masuk!" ucap wanita itu dengan ramah. 

Aku langsung tersenyum bahagia sambil menghela nafas lega karena setelah sekian lama, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan juga. Meskipun hanya sebagai buruh cuci, tetapi aku sudah sangat mensyukurinya. 

Kami pun berjalan memasuki rumah yang cukup luas itu. Rumah itu memang luas, tetapi nampak sepi. Tak ada seorang pun yang aku lihat dalam rumah itu selain wanita paruh baya tersebut. 

"Ini cuciannya, jangan terlalu disikat ya. Dan ini jangan disikat, cukup dikucek aja," jelas wanita itu sambil menunjuk beberapa tumpukan pakaian yang sudah dipisahkan. 

"Ibu gak suka pakai mesin cuci, lebih bersih aja kalau pakai tenaga langsung."

"Iya, Bu!" jawabku sambil menganggukkan kepala pertanda mengerti dengan ucapannya. 

"Ya udah, silakan dikerjakan. Saya mau memasak dulu," ucapnya dan langsung meninggalkan tempat itu. 

Aku hanya mengangguk dan segera mengerjakan apa yang diperintahkan tadi. Meskipun sedikit melelahkan, tetapi aku bisa menikmatinya. Bagaimana tidak, senyum anakku terus saja terbayang dan ini semua aku lakukan demi buah hatiku. 

Setelah selesai mencuci, tak lupa juga aku membersihkan rumah itu. Hatiku sangat senang karena sebentar lagi akan mendapatkan bayaran dari hasil kerja kerasku hari ini. Meskipun mungkin tidak seberapa, tetapi setidaknya bisa menutupi kekurangan. 

"Maaf, Bu. Semuanya sudah selesai," ucapku pada wanita itu. 

Wanita itupun langsung menoleh sambil tersenyum dan aku melihat ia mengeluarkan sebuah amplop dari dalam sakunya. 

"Ini bayarannya, terima kasih ya. Kalau kamu mau, besok kamu bisa datang ke sini lagi bantu-bantu Ibu," ucap wanita itu dengan ramah. 

Mataku langsung berbinar mendengar ucapan wanita itu. Aku tidak menyangka kalau beliau akan memanggilku untuk lanjut, setidaknya dengan cara seperti ini suatu saat aku bisa memiliki pegangan demi memenuhi kebutuhan anakku, Aira. 

"Wah, saya yang seharusnya berterima kasih banyak karena sudah mau menerima saya, Bu. Senang rasanya bekerja dengan Ibu," jawabku dengan antusias.

"Semangat terus ya."

"Terima kasih, Bu. Kalau begitu, saya permisi dulu."

Wanita itu hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan sambil tersenyum. Aku langsung melangkahkan kakiku keluar dari rumah itu dengan rasa gembira, meskipun aku belum mengetahui berapa gaji yang diberikan oleh wanita itu. 

"Hufft ... semoga saja ini cukup untuk kebutuhan Aira," gumamku saat sudah sampai di sebuah bangku panjang yang ada di pinggir jalan. 

Aku pun mulai membuka amplop itu dengan perlahan dan betapa terkejutnya aku saat melihat ada beberapa lembar uang biru di sana. Menurutku ini bahkan lebih dari cukup, tanpa disadari air mataku mengalir begitu saja di pipi. 

"Ya Tuhan ... terima kasih banyak, engkau telah mengirimkan orang baik untuk hamba. Semoga rezeki Ibu tadi makin berlimpah," ucapku sambil mendongakkan kepala menatap langit. 

Aku sangat bersyukur karena ibu tadi memberiku upah yang sama sekali tidak aku sangka. Padahal, pekerjaannya tidak begitu berat, namun ia memberiku upah yang maksimal, bahkan lebih dari cukup. Ya, tiga ratus ribu rupiah. Nominal yang sangat besar menurutku dan sebanding dengan uang bulanan yang diberikan Mas Rendy kepadaku.

Tak henti-hentinya aku berdoa dan mengucap kata syukur sambil memegangi uang itu.

"Terima kasih ya Allah. Engaku memberiku rezeki dengan jalan yang tak pernah aku duga sebelumnya. Ternyata, rencanamu jauh lebih baik dari rencanaku," ucapku dengan berderai air mata.

Bukan air mata kesedihan, tetapi air mata kebahagiaan karena dengan uang ini bisa menutupi kebutuhan anakku.

Tanpa menunggu waktu lama lagi, akupun bergegas menuju ke sebuah toko berbelanja keperluan Aira. Aku sengaja membeli dalam jumlah yang banyak agar bisa bertahan selama beberapa hari ke depannya. Masalah dapur, aku tidak peduli. Kalau uangku ada sisa, aku akan membeli seadanya saja. Saat ini yang paling penting hanya kebutuhan anakku saja.

"Uangnya masih ada segini, apa aku beli kebutuhan dapur? Bagaimana kalau tiba-tiba aku butuh uang lagi?" ucapku mempertimbangkan.

Hingga pada akhirnya, hatiku kembali terketuk, Aku kembali percaya dengan konsep rezeki. Aku pasrah dan percaya bahwa suatu saat aku akan mendapatkan rezeki lebih lagi. Setidaknya dengan berbelanja kebutuhan dapur, anggap saja sebagai sedekah.

"Gak apa-apa deh. Belanjain aja, semoga Allah menggantinya yang lebih baik," ucapku dan segera memasuki pasar lalu berbelanja kebutuhan rumah tangga.

***

Kini, aku sudah sampai di rumah dengan kedua tanganku membawa barang belanjaan. Sama sekali tidak ada yang membantuku membawanya. Jangankan membantu, menyambutku saja tidak. Mereka hanya menatapku dengan tatapan sinis dan membiarkan aku membawa barang belanjaan sebanyak itu masuk ke dapur. 

"Setelah itu kamu masak!" teriak ibu mertuaku dengan nada sinisnya. 

Aku hanya mengangguk seraya berkata, "Aira rewel gak, Bu?" 

Ya, aku memang langsung mengalihkan pembahasan agar masalahnya tidak melebar ke mana-mana. Jika aku menyanggah ucapan ibu mertuaku, itu pasti akan menjadi masalah besar bagi diriku di kemudian hari. 

"Nggak, buruan sana masak. Ibu sama Caca masih lapar," ucap ibu mertuaku dengan nada memaksa. 

"Bener, Mbak. Cepat masak, aku udah lapar banget nih. Tadi di kampus aku gak sempat jajan," celetuk seorang wanita muda yang merupakan adik iparku. 

Saat ini dia masih duduk di bangku kuliah dengan bantuan biaya dari Mas Rendy dan ibu mertuaku. Mungkin ini salah satu alasan yang membuat Mas Rendy memotong jatah bulananku. Sebagian besar ia juga menggunakan gajinya untuk memenuhi keperluan Caca. 

Aku hanya menghela nafas mendengar perintah mereka yang seolah-olah menganggapku pembantu di rumah ini. Kulangkahkan kakiku menuju dapur dengan rasa kesal. 

"Awas saja kalau aku sudah punya segalanya, aku yakin bisa lepas dari kalian," gumamku dengan kesal. 

Selama ini keberadaanku tidak pernah dianggap sebagai menantu dan kakak ipar, melainkan seorang pembantu. Bahkan aku sendiri yang mencuci pakaian mereka, membersihkan rumah, tetapi mereka tetap saja tidak menghargai kebaikan yang aku berikan pada mereka. 

Tetapi, mau bagaimana pun juga, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka bisa berbuat semena-mena denganku karena mereka menganggap kalau aku adalah orang yang tak punya yang hanya bergantung pada gaji suami. 

Setelah beberapa lama bergelut di dapur, akhirnya masakanku jadi juga. Perutku langsung keroncongan mencium aroma makanan itu yang terasa nikmat, kebetulan juga dari tadi aku belum makan siang. 

Aku pun menata makanan itu di atas meja dan memasukkan beberapa menu makanan ke dalam piring yang sedari tadi aku pegang. 

"Huh, lapar banget," gumamku sambil memasukkan makanan itu ke dalam piring. 

Dan disaat yang bersamaan pula, tiba-tiba ibu mertua dan adik iparku datang dan menatapku dengan kening berkerut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status